![]() |
| Kopi di Warung Gou, Desa Tebuwung, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, dengan suasana gelap dan sisa gerimis malam, aku menulis tentang bisnis dan ego. (SASTRANUSA) |
SASTRANUSA - Gerimis turun pelan di Warung Gou, Desa Tebuwung, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Aku duduk menghadap secangkir kopi hitam yang mulai mendingin karena angin malam baru saja lewat setelah hujan deras membasuh desa. Lampu kuning temaram menyorot gelas itu, dan bayangannya bergeser pelan seiring tetes air jatuh dari atap warung.
Pada suasana seperti ini, pikiran sering berjalan tanpa arah dan kemudian berhenti pada satu pertanyaan penting yang selama ini diam di kepala. Apakah orang membangun bisnis untuk bernilai atau untuk terlihat berhasil di mata orang lain. Aku menyesap kopi pelan, dan pertanyaan itu terasa seperti bayangan gerimis yang tidak segera pergi.
Kadang bisnis terlihat seperti arena, dan pemain di dalamnya bersaing bukan untuk bertahan hidup, melainkan untuk tampil sebagai pemenang. Beberapa orang ingin dikenal sebagai pemilik usaha, bukan sebagai pekerja keras yang membangun usaha itu dengan sabar. Pertanyaan itu terus berputar, dan semakin malam semakin terasa relevan.
Bisnis sebagai Jalan Membangun Nilai
Setiap bisnis seharusnya tumbuh dari kebutuhan dan keinginan untuk memberikan manfaat. Banyak orang mulai berjualan bukan karena ingin dipuji, namun karena ingin membantu orang lain mendapatkan solusi. Bisnis seperti itu biasanya lahir dari pengalaman, kerja keras, dan kesabaran yang panjang.
Ketika seseorang membangun nilai, maka proses menjadi bagian penting dari perjalanan. Dan strategi, perencanaan, serta eksekusi dilakukan dengan mempertimbangkan pelanggan, kualitas produk, serta keberlanjutan usaha. Kemudian perlahan pelanggan datang, dan kepercayaan tumbuh karena kualitas yang konsisten.
Aku ingat seorang penjual roti rumahan di desa lain yang memulai bisnisnya dengan modal sedikit dan keyakinan banyak. Ia tidak memikirkan branding mewah atau pengakuan publik ketika mulai membuat roti. Namun setiap pagi ada antrean karena orang datang untuk rasa, bukan citra yang ia tampilkan. Dari sana aku belajar bahwa nilai tidak perlu berteriak.
Ketika Ego Mengambil Alih Bisnis
Namun kenyataannya, tidak semua orang menginginkan bisnis untuk alasan yang sama. Ada yang memulai usaha sebagai panggung untuk menunjukkan status dan bukan sebagai ruang untuk melayani. Ketika ego terlalu besar, bisnis menjadi alat pamer. Kemudian keputusan diambil bukan berdasarkan kebutuhan pasar, tetapi berdasarkan bagaimana usaha terlihat oleh orang lain.
Dan akhirnya, banyak usaha berhenti di tengah jalan karena tenaga habis untuk mengejar pujian, bukan membangun fondasi yang kokoh. Aku pernah menyaksikan teman yang membuka usaha kafe dengan interior megah dan promosi gemerlap. Namun ia tidak mau belajar tentang laporan keuangan, pelayanan, atau ketekunan. Pada akhirnya, pelanggan datang hanya sekali, lalu pergi untuk tidak kembali.
Kadang ego mengelabui pemilik bisnis sehingga merasa sudah ahli sebelum belajar. Ego membuat seseorang ingin cepat dilihat berhasil tanpa mau merasakan proses jatuh bangun yang wajar. Nah, jika hal itu terjadi, bisnis menjadi rapuh meskipun tampak megah dari luar.
Membangun Usaha Bukan Membangun Sorotan
Aku kembali menatap kopi yang nyaris habis ini. Rasanya lebih pahit dari awal, dan itu mengingatkanku pada kenyataan bahwa proses yang panjang tidak selalu manis. Namun bisnis yang dibangun dengan nilai akan tumbuh lebih kuat dibanding bisnis yang dibangun hanya untuk pujian.
Kemudian seseorang harus berani bertanya jujur kepada diri sendiri. Apakah tujuan membangun usaha adalah memberikan manfaat atau sekadar ingin terlihat berbeda. Pertanyaan itu tidak mudah, namun sangat penting untuk dijawab sebelum melangkah terlalu jauh.
Jika bisnis dibangun dengan tujuan yang benar, maka waktu tidak menjadi musuh. Karena usaha yang memiliki fondasi nilai akan tetap hidup meskipun pujian hilang dan perhatian memudar. Lalu pada akhirnya, yang menentukan keberlanjutan usaha bukan tepuk tangan orang lain, tapi kualitas dan komitmen pemiliknya.
Menutup Malam dengan Kesadaran Baru
Gerimis mulai digantikan hujan yang semakin menjadi. Kendatpun demikian, suara kendaraan lewat tetap terdengar samar di jalan desa. Warung Gou mulai tenang, dan kopi terakhirku terasa hangat meski udara malam perlahan turun menjadi dingin. Namun pikiranku justru terasa lebih jelas.
Pada akhirnya bisnis bukan tentang seberapa cepat orang lain melihat keberhasilan, tetapi seberapa lama usaha itu mampu bertahan. Setiap pemilik bisnis memiliki pilihan untuk membangun nilai atau membangun pengakuan. Kemudian waktu akan menunjukkan siapa yang bertahan dan siapa yang hanya lewat seperti hujan yang turun sebentar lalu hilang.
Niatku setelah kopiku habis, akan pulang dengan putaran roda pelan, dengan pikiran ini yang masih tersimpan rapi. Namun hujan semakin lebat, dan tampaknya aku harus memesan lagi.
Terkait usaha, mungkin besok ada yang memulai bisnis baru, dan mungkin ada yang menyerah. Namun semoga setiap orang yang membaca tulisan ini memilih untuk membangun nilai, bukan sekadar membangun sorotan. Karena bisnis yang sejati tumbuh dalam proses, dalam kesabaran, dan dalam ketulusan untuk memberi manfaat, bukan hanya pengakuan.*(S/N)
