![]() |
| Segelas kopi ini menghantarkanku pada masa kuliah di UTM dulu. (SASTRANUSA) |
SASTRANUSA - Malam ini kopi hitam di beranda rumah (di Kaliagung, Gresik) terasa berbeda, seolah membawa kembali jejak masa lalu yang pernah membentuk jalanku. Aku menatap gelap dan lampu jauh yang berkelip, lalu pikiran perlahan kembali pada masa kuliah di Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Ada rasa hangat yang muncul, seperti undangan pelan untuk merenungi perjalanan yang tak pernah benar-benar selesai.
Waktu itu, kopi bukan sekadar minuman, melainkan penyambung percakapan, pertukaran gagasan, dan jembatan menuju pemahaman yang lebih luas tentang hidup dan manusia. Aku sering duduk di warung, perpustakaan terbuka, atau sudut kampus yang sunyi sambil berbincang tentang seni, politik, bahkan hal-hal abstrak yang tak semua orang mau mendengarnya. Kini, ketika semuanya hanya tersisa dalam ingatan, batinku perlahan menyadari bahwa tidak ada yang sebenarnya sia-sia.
Jejak Kopi dan Percakapan yang Menguatkan Hati
Pada masa itu, pertemuan sederhana di atas meja kopi sering menghadirkan obrolan yang tak terduga. Aku menemukan berbagai karakter yang beragam, mulai dari mereka yang penuh semangat hingga yang hanya ingin terlihat cerdas di hadapan orang lain. Namun tanpa kusadari, semua itu membentuk sudut pandangku tentang manusia.
Diam-diam aku pernah menganggap kebiasaan nongkrong itu hanya bagian dari kesenangan masa muda. Namun setelah waktu berlalu, aku mulai memahami bahwa setiap percakapan mengajarkan nilai tentang kesederhanaan, kedalaman, dan kejujuran dalam berhubungan. Perlahan, aku belajar membaca niat yang tersembunyi di balik senyum ataupun ajakan berteman.
Dalam perjalanan itu, aku menemukan hikmah paling sunyi: ketulusan bukan sesuatu yang bisa dipaksa, melainkan hadir sebagai anugerah yang hanya ditemukan oleh hati yang tajam. Kopi menjadi saksi segala perubahan dan pertumbuhan emosional yang pernah kurasakan. Di sanalah, secara perlahan aku belajar mengenali siapa yang layak dijaga dan siapa yang cukup disapa lalu dilepas.
Seni, Pengakuan, dan Luka yang Tak Terduga
Pada masa kuliah, langkahku di dunia seni cukup menggelegar dan mencuri perhatian banyak orang. Aku sering diminta berbagi, mengajar, atau memberi arahan, dan perlahan sejumlah orang mulai melihatku sebagai sosok yang bisa mereka jadikan rujukan. Saat itu, kebanggaan dan kepercayaan diri tumbuh bersamaan, seperti pohon yang kuat mencengkeram tanah.
Namun semakin dewasa aku melihat sesuatu yang lain: sebagian orang datang bukan karena rasa ingin belajar, melainkan demi keuntungan pribadi. Mereka menjadikan kedatangan itu sebagai tangga menuju pengakuan, bukan sebagai ruang pertumbuhan yang jujur. Pada akhirnya, aku merasakan pahitnya menyadari bahwa tidak semua lingkungan yang terlihat indah menyimpan niat baik.
Setelah melalui banyak peristiwa yang membuka mata, aku memilih menjaga jarak dan berhenti memberi ruang bagi mereka yang hanya datang untuk menaiki kepalaku. Sebuah keputusan yang terasa berat, namun tetap perlu dilakukan agar jiwa tidak terus terkikis. Luka itu masih terasa, tapi kini lebih menyerupai pengingat daripada penyesalan.
Keputusan Baru dan Jalan yang Sedang Kutempuh
Hari ini aku memilih sesuatu yang lebih tenang namun lebih jujur: fokus pada dunia yang sedang kubangun sendiri. Aku tidak lagi membuka pintu untuk siapa pun yang datang dengan embel-embel belajar, meski berniat baik sekalipun. Karena terkadang jarak adalah bentuk perlindungan terbaik dari kepalsuan yang pernah kusebut pertemanan.
Dalam beberapa bulan terakhir, aku membangun ruang digital melalui website pribadiku. Di sana, aku menulis bukan sekadar untuk dibaca, tetapi sebagai tempat merawat pikiranku sendiri. Dunia itu menjadi rumah baru bagi gagasan, perasaan, dan jejak perjalanan yang ingin tetap hidup.
Ketika memilih jalan ini, aku sadar hidup tidak selalu membutuhkan banyak orang. Yang diperlukan hanyalah arah yang jelas, hati yang stabil, dan kesediaan untuk melangkah meski sendirian. Maka menulislah yang kini kupegang sebagai jalan pulang, sebagai ruang menghidupkan kembali apa yang pernah redup.
Renungan Kopi Malam Ini
Begitulah renungan kopi malam ini, sederhana namun cukup kuat menggerakkan kesadaran yang sempat tidur. Aku mengingat betapa perjalanan tidak pernah sia-sia, meski pada awalnya terasa seperti waktu yang terbuang. Semua yang terjadi, baik manis maupun pahit, adalah bagian dari pembentukan diri.
Malam kembali hening, hanya suara angin yang bergerak pelan melewati pepohonan di halaman. Aku menyeruput kopi terakhir untuk malam ini, dan berjanji akan ngopi lagi besok. Sambil yakin bahwa ingatan seperti ini tidak hadir secara kebetulan, aku merasakan dalam-dalam kopi ini. Barangkali, kopi ini datang untuk mengingatkan bahwa hidup selalu meminta kita untuk memilih, dan kali ini aku memilih diriku sendiri.*(SN)
