![]() |
| Ilustrasi seorang penulis sedang ngopi di Warung Guo sambil merenungkan makna kaya dan miskin dalam kehidupan. (Ilustrasi dibuat dengan foto pribadi) |
SASTRANUSA - Ada saat-saat tertentu dalam hidup ketika kita berhenti sejenak, lalu bertanya dalam hati: Siapa yang pertama kali memberi label kaya dan miskin? Apakah benar bahwa perbedaan itu lahir dari takdir, atau sebenarnya hanya ciptaan pikiran manusia? Pertanyaan ini sering muncul ketika melihat jurang sosial yang semakin melebar, tetapi di sisi lain kita juga menyaksikan berbagai pelajaran yang lahir dari perbedaan tersebut.
Dalam renungan yang lebih dalam, terasa bahwa manusia tidak dilahirkan dengan status sosial apa pun. Seorang bayi yang lahir dari keluarga kaya maupun sederhana tetap memulai kehidupan dengan tangis pertama yang sama. Nafasnya, harapannya, dan kesempatan hidupnya datang dari sumber yang sama: Tuhan. Jika demikian, maka mungkin harta bukan ukuran kemuliaan, melainkan amanah yang harus dijaga dengan hati yang jernih.
Namun, seiring waktu berjalan, masyarakat mulai membangun dinding-dinding kategori. Ada yang disebut mampu, ada yang disebut kekurangan. Ada yang dihormati karena kepemilikan materi, sementara yang lain diabaikan hanya karena tidak memiliki banyak. Dari sinilah teori lahir: definisi, klasifikasi, dan batas-batas sosial yang kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Harta sebagai Amanah, Bukan Identitas
Dalam kehidupan yang fana, harta tidak pernah dimaksudkan menjadi penentu martabat manusia. Ia hanyalah barang titipan, yang sewaktu-waktu bisa diberikan, namun suatu hari bisa diambil kembali. Karena itu, manusia sejatinya bukan kaya atau miskin. Yang ada hanyalah mereka yang sedang menjaga amanah dalam bentuk materi, dan mereka yang sedang menjaga amanah dalam bentuk kesabaran.
Pemahaman ini perlahan mengubah cara memandang kehidupan. Tidak ada pemilik sejati, yang ada hanya penjaga sementara. Ketika seseorang menyadari hal ini, maka harta bukan lagi menjadi alasan untuk sombong, dan kekurangan bukan lagi alasan untuk merasa rendah. Semuanya kembali pada rasa syukur, pemanfaatan, dan kesadaran bahwa Tuhan menitipkan sesuatu bukan tanpa tujuan.
Kadang, amanah itu datang dalam bentuk jumlah yang besar, agar dapat memberi manfaat bagi orang banyak. Namun tak jarang, amanah itu hadir dalam bentuk kesederhanaan agar hati tetap lembut, tidak sombong, dan tetap merasakan makna cukup. Dua bentuk amanah ini berbeda, namun memiliki tujuan spiritual yang sama: mendewasakan manusia.
Manusia dan Penciptaan Kategori Sosial
Pada perjalanan sejarah, manusia menciptakan sistem, teori, dan struktur sosial untuk memahami kehidupan. Dari sinilah lahir konsep kelas: atas, menengah, dan bawah. Konsep ini kemudian mengakar kuat, hingga menjadi pola pikir kolektif yang sulit digugurkan. Padahal, teori itu lahir dari pandangan manusia sendiri, bukan dari langit.
Kategori itu kemudian menjadi jebakan. Saat seseorang dipandang berbeda karena hartanya, perlahan ia mulai menyamakan harga dirinya dengan nilai materi yang dimiliki. Yang kaya merasa perlu mempertahankan citra, sementara yang miskin merasa menjadi beban. Padahal Tuhan tidak pernah memberikan standar seperti itu.
Namun, ada hikmah di balik fenomena ini. Perbedaan sosial menumbuhkan empati, kepedulian, dan pengingat agar manusia tidak terjebak pada kepentingan diri sendiri. Kemiskinan mengajarkan kesabaran dan ketangguhan, sementara kekayaan menguji kerendahan hati dan keikhlasan berbagi. Keduanya adalah kelas pembelajaran kehidupan yang tidak bisa ditukar satu sama lain.
Belajar dari Perbedaan untuk Bijak Menjalani Hidup
Ketika seseorang mulai memahami bahwa kaya dan miskin hanyalah konsep buatan manusia, maka pandangannya terhadap kehidupan berubah. Ia tidak lagi menilai orang dari rumah yang ditempati, pakaian yang dikenakan, atau kendaraan yang dikendarai. Ia akan melihat jauh lebih dalam, pada amal, akhlak, dan cara seseorang memperlakukan sesamanya.
Pada titik itu, hidup menjadi lebih ringan. Tidak ada yang perlu dibanggakan selain kebaikan, dan tidak ada yang perlu dirisaukan selain lalainya diri terhadap amanah yang diberikan. Perlahan, kita mulai memahami bahwa hidup bukan kompetisi, melainkan perjalanan pulang menuju Sang Pemilik Kehidupan.
Perbedaan bukan untuk saling memisahkan, tetapi untuk saling melengkapi. Karena dalam setiap manusia, ada peran yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Itulah kenapa amanah harta dan amanah kesabaran diberikan pada orang yang berbeda, agar kehidupan berjalan dengan seimbang.
Kembali pada Kesadaran Hakiki
Pada akhirnya, mungkin kita tidak perlu lagi sibuk membandingkan diri satu sama lain. Tidak perlu lagi merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Karena semua manusia sedang menjalani amanah masing-masing, baik dalam bentuk kelapangan maupun kekurangan.
Jadi perlu diketahui, kehidupan bukan tentang siapa yang memiliki lebih banyak, tetapi siapa yang mampu menjaga amanah dengan hati yang bersih. Sebab ketika waktu telah selesai, semuanya akan kembali kepada Tuhan, dan yang tersisa hanyalah amal, niat, dan ketulusan yang pernah kita tanam di dunia.
Terlepas dari kaya dan miskin itu, semoga kita menjadi manusia yang tidak hanya menghitung apa yang dimiliki, tetapi mampu mensyukuri, dan memanfaatkan.*(S/N)
