Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca

Keputusan Terpaksa, Harus Cepat

Gelas kopi jaman dulu untuk merenungi perjalanan bisnis dan masa lalu di Gresik.
Ilustrasi proses merenung sambil menikmati kopi di sebuah warung sederhana di Gresik—menghadirkan kembali ingatan tentang langkah awal membangun bisnis dan perjuangan yang pernah dijalani. (SASTRANUSA)

SASTRANUSA - Ada masa ketika aku benar-benar percaya, bahwa kebersamaan adalah jalan paling mulia dalam membangun sesuatu. Aku mengira, jika hati disatukan demi tujuan baik, maka alam semesta pun ikut membuka ruang. Namun hidup tidak pernah berjalan lurus seperti rencana. Ada kenyataan yang tidak tercatat dalam strategi maupun harapan, dan di situlah pelajaran hadir dalam bentuk yang paling jujur.

Waktu berjalan, meninggalkan bekas yang tidak sekadar diingat, tetapi ikut mengubah cara berpikir dan cara berdiri. Apa yang dulu terasa sebagai kegagalan, kini justru terlihat seperti pintu pembuka. Setiap luka, setiap kecewa, dan setiap kehilangan orang yang pernah dianggap dekat, ternyata adalah bagian dari proses merapikan jalan. Proses yang pelan-pelan mengajari arti ketegasan, kemandirian, dan harga diri.

Kegagalan yang Mengajari Makna Akad dan Kejelasan

Satu tahun lalu, aku mencoba membangun sebuah ruang bersama. Saat itu, semangat masih utuh, harapan masih besar, dan visi tampak sederhana: saling bantu untuk tumbuh. Aku menggandeng banyak orang, merancang strategi dagang, dan membangun media kecil di Gresik sebagai tempat berbagi manfaat. Di atas kertas semuanya terlihat indah, tetapi dalam perjalanan, justru hal yang paling fundamental terabaikan: akad.

Tanpa kejelasan peran, batas, dan komitmen, kerja sama tidak berjalan di jalur yang seharusnya. Setiap orang membawa tafsir sendiri, dan dari situlah kesalahpahaman tumbuh. Aku mencoba memperbaiki keadaan, namun semakin dipertahankan, semakin kabur arah dan tujuan. Hingga akhirnya keputusan pahit harus diambil: membubarkan komunitas yang awalnya ingin berjalan membawa keberkahan.

Meski keputusan itu terasa berat, kini aku bersyukur telah mengambilnya. Karena setelah itu, aku mulai memahami bahwa kolaborasi bukan tentang banyaknya orang, melainkan tentang kesepahaman dan saling mengerti. Tidak semua yang terlihat baik di awal memiliki daya tahan dalam perjalanan yang panjang. Kadang, yang jatuh lebih dulu, justru menyelamatkan dari jatuh yang lebih dalam.

Menemukan Jalan Mandiri: Bisnis yang Tumbuh Perlahan

Setelah bubarnya komunitas itu, aku memilih bergerak sendiri. Awalnya ada rasa ragu, ada pertanyaan apakah langkah ini benar. Tetapi ketika dijalani dengan tenang, justru semuanya menjadi lebih jelas dan sederhana. Tidak ada lagi tarik-menarik visi, tidak ada lagi perdebatan kepentingan, tidak ada lagi energi yang hilang hanya untuk menjelaskan hal-hal dasar.

Bisnis produk kecil-kecilan yang kujalankan berkembang perlahan namun pasti. Setiap titik pasar, menjadi latihan kesabaran dan kedisiplinan. Lalu dari sana, keuntungan mulai datang, bukan karena kebetulan, melainkan karena konsistensi dan evaluasi tanpa henti. Kini, setelah satu tahun berjalan, pasar meluas dan menargetkan dua kecamatan baru. Dan itu bukan karena ambisi, melainkan karena kesiapan.

Di sisi lain, media yang dulu dibangun bersama juga kulanjutkan secara mandiri. Di antara mantan anggota, ada satu yang masih ingin menulis. Untuknya, kubuatkan ruang khusus agar ia tetap berkarya. Bukan sebagai bagian dari masa lalu, tetapi sebagai seseorang yang masih punya niat baik untuk melanjutkan perjalanan kata.

Saat Orang Menjauh, Allah Menghadirkan Kejernihan

Aku masih ingat masa paling sunyi setelah pembubaran itu. Teman-teman tetap tak gandeng hanya untuk sekadar ngopi. Aku mencoba menghubungi teman-teman yang jauh, yakni teman saat kuliah dulu. Namun semuanya menjauh.

Aku mencoba bercerita sesuai kejadian yang ada. Namun mereka menolak merespon, seolah-olah kegagalan adalah noda yang menurunkan nilai manusia. Saat itu aku belajar, ternyata tidak semua orang datang dengan ketulusan. Ada yang datang hanya selama tujuan mereka terpenuhi. Ada yang mendekat bukan untuk membangun, tetapi sekadar untuk memastikan mereka tidak tertinggal.

Namun perlahan aku memahami, bahwa kehilangan orang bukanlah kesedihan, melainkan penyaringan alami. Perjalanan yang benar memang selalu menyisakan sedikit orang, tetapi meninggalkan lebih banyak kedewasaan. Kini aku mengerti, bahwa bukan semua orang siap dengan proses. Banyak yang hanya siap dengan hasil.

Pada akhirnya, aku memilih untuk tidak marah dan tidak menyimpan dendam. Karena hidup bukan tentang siapa yang meninggalkan, tetapi tentang siapa yang bertahan, meski hanya diri sendiri.

Berdiri Tanpa Menginjak dan Tanpa Diinjak

Kini setelah satu tahun lebih berjalan, aku memandang perjalanan ini bukan sebagai cerita tentang gagal dan bangkit, tetapi tentang belajar dan tumbuh. Baik bisnis maupun media kini berjalan dengan ritme yang tenang. Ada harapan yang tetap terjaga, ada rencana yang terus disusun, dan ada langkah yang semakin mantap.

Pengalaman ini mengajarkan bahwa tidak semua hal harus dilakukan bersama. Terkadang, berdiri sendiri adalah cara terbaik untuk menjaga tujuan tetap murni.

Berkenaan dengan ilmu dan lainnya, aku bersikap: tidak ingin menginjak siapa pun untuk naik, dan juga tidak ingin kepalaku dijadikan pijakan. Jalan ini kupilih bukan untuk membuktikan sesuatu kepada siapa pun, tetapi untuk menghormati proses yang telah membentukku.

Dan jika nanti ada yang bertanya bagaimana aku sampai di titik ini, jawabannya sederhana: dengan kehilangan, kesabaran, dan keberanian untuk berjalan sendir*(S/N)

Baca Juga
Tag:
Posting Komentar