![]() |
| Gelas kopi hitam di Warung Gou, Desa Tebuwung, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Senyap siang terasa lebih dalam ditemani rasa yang sederhana namun jujur. (SASTRANUSA) |
SASTRANUSA - Aku duduk sambil menikmati kopi hitam yang aromanya perlahan bercampur dengan angin sore dari persawahan. Di depanku, gelas itu terlihat sederhana, tetapi selalu mampu mengantar pikiranku ke tempat yang aneh dan tak terduga. Pertanyaan muncul tiba-tiba di kepala: ketika semua orang ingin menjadi CEO, lalu siapa yang bekerja menjaga dunia tetap berjalan?
Aku kembali menyeruput kopi yang mulai mendingin dan memandangi jalan desa yang pelan namun tak pernah benar-benar sunyi. Sedangkan di ponselku, berjajar iklan pelatihan leadership, kelas cepat menjadi bos, dan motivasi karier menuju jabatan tertinggi. Melihat itu, benarkah Banyak orang mengejar peran pemimpin tanpa pernah benar-benar merasakan bagaimana rasanya ada di bawah?
Pertanyaan itu semakin tumbuh pelan namun dalam. Dunia serasa penuh mimpi tentang titel dan posisi, sedangkan ruang untuk bekerja sederhana tampak semakin sempit. Barangkali inilah kenyataan baru dari generasi yang memuja pencitraan.
Budaya Ingin Selalu di Puncak
Sekarang banyak orang menilai jabatan sebagai ukuran kehormatan hidup. Banyak konten motivasi memberi pesan bahwa bekerja di level dasar termasuk hal sia-sia, padahal banyak kisah besar dimulai dari hal kecil yang dilakoni dengan tekun. Persepsi itu perlahan membuat pekerjaan sederhana kehilangan martabatnya.
Kemudian muncul standar baru bahwa kesuksesan harus terlihat mewah, memiliki jabatan penting, serta foto meja kantor yang indah. Banyak orang ingin langsung memimpin tanpa melewati masa belajar yang panjang dan penuh tantangan. Padahal proses itu justru yang membentuk kedewasaan hidup seseorang.
Fenomena ini membuat struktur sosial mulai terasa berat sebelah. Banyak orang ingin menjadi bos, tetapi sedikit yang siap bekerja konsisten dan sabar dalam tugas teknis yang menopang kehidupan.
Nilai Pekerjaan Sederhana yang Sering Terlupakan
Di warung kopi tempat aku menulis ini, setiap kursi terisi oleh manusia yang bekerja dari pagi hingga petang. Banyak di antara mereka adalah petani, pedagang, atau tukang servis motor yang jarang muncul di panggung media sosial. Mereka bekerja bukan untuk gelar, tetapi untuk menjaga hidup tetap bernapas.
Kemudian aku menyadari satu hal yang terasa jelas: pekerjaan tidak pernah memiliki nilai berdasarkan gelar, tetapi pada manfaat yang diberikan bagi kehidupan. Banyak profesi terlihat sederhana, namun justru menjadi tulang punggung peradaban. Tanpa mereka, tidak ada yang berjalan sebagaimana mestinya.
Di dunia nyata, direktur tidak akan makan jika tidak ada petani. Kantor tidak akan bersih jika tidak ada petugas kebersihan. Kota tidak bergerak tanpa tukang ojek, sopir truk, montir, nelayan, dan pedagang kecil yang setia menjaga ritme ekonomi.
Ambisi, Realitas, dan Kekosongan Peran
'Jika semua orang mengejar posisi tertinggi', pertanyaan itu kembali bergema, 'lalu siapa yang akan menjalankan pekerjaan dasar?' Dunia tidak bisa hanya berisi pemimpin, karena sebuah struktur tetap membutuhkan tangan untuk bekerja, pikiran untuk menyusun strategi, dan hati untuk merawat proses.
Kemudian muncul kegelisahan sosial ketika posisi hanya dipandang sebagai simbol, bukan bagian dari sistem yang membutuhkan kerja nyata. Banyak orang ingin dihormati, tetapi jarang yang ingin melayani. Padahal kepemimpinan sejati lahir dari kemampuan bekerja bersama, bukan dari jarak pangkat atau status.
Pada titik ini, dunia membutuhkan keseimbangan antara mimpi besar dan kesadaran tentang peran. Ambisi tetap penting, tetapi realitas tak boleh ditinggalkan.
Belajar Menerima Peran dengan Bangga
Sambil menuntaskan kopi yang tinggal setengah, aku akhirnya memahami bahwa tidak semua orang harus menjadi CEO. Dunia membutuhkan manusia yang merasa cukup ketika bekerja sesuai kemampuan, dan merasa bangga pada apa yang dijalani tanpa harus selalu membandingkan diri dengan orang lain. Hidup membutuhkan keberagaman peran, bukan satu tujuan yang sama.
Jika suatu hari nanti generasi baru memahami bahwa nilai pekerjaan terletak pada manfaat dan kejujuran dalam menjalankannya, dunia mungkin akan lebih seimbang. Karena menjadi pemimpin itu baik, tetapi menjadi pekerja tulus yang menjaga kehidupan tetap berjalan juga mulia.
Mungkin hidup bukan tentang berada di puncak. Namun lebih tentang menjadi bagian dari sesuatu yang bermanfaat, meski posisi kita terlihat biasa. Dan mungkin, di sinilah jawabannya: ketika semua orang ingin menjadi CEO, dunia tetap membutuhkan pekerja yang menjaga kehidupan berjalan pelan namun pasti.*(S/N)
