![]() |
| Peristiwa saat diskusi tentang Telaga Rambit Sidayu yang sarat makna dalam diskusi 'Epos dari Masa ke Masa. (SASTRANUSA) |
SASTRANUSA - Di Museum Kanjeng Sepuh Sidayu, 29 November 2025 malam, ruangan yang dulu sunyi kini dipenuhi oleh pecinta sejarah dan budaya. Acara diskusi “Epos Telaga Rambit Sidayu dari Masa ke Masa” yang diselenggarakan KOTASEGER INDONESIA sukses menghidupkan kembali khazanah lokal yang sarat makna.
Dalam acara itu, Fatihuddin sebagai moderator handal, mengatur ritme pembahasan yang mendalam dan mengalir, mulai dari kajian ilmiah hingga kesaksian folklor turun-temurun.
Menurut pantauan SASTRANUSA, setiap pembicara membawakan perspektif unik yang melengkapi satu sama lain. Eko Jarwanto, sejarawan Gresik, membuka cakrawala pemahaman melalui toponimi, yakni, ilmu tentang asal-usul nama tempat.
Beliau mengupas makna tersembunyi di balik kata “Rambit” yang diduga berkaitan dengan kondisi geografis masa lampau, merujuk pada sesuatu yang penuh atau berjalin.
Analisis ini tidak hanya mengenai penamaan saja, tetapi juga data historis tentang fungsi telaga dalam peradaban masyarakat Sidayu tempo dulu.
Revitalisasi dan kelestarian menjadi inti pembicaraan selanjutnya yang penuh makna. Pendekatan berbasis komunitas dianggap kunci utama keberlanjutan upaya pemugaran. Tidak sekadar fisik, nilai-nilai budaya dan spiritual juga harus dihidupkan melalui berbagai aktivitas. Sinergi antara pemerintah, akademisi, dan warga mampu menciptakan model konservasi yang komprehensif, meskipun tantangan seperti perubahan tata ruang dan pergeseran nilai sosial tetap ada.
Sementara Rakay Lukman, Ketua Lesbumi PC Gresik, membawa audien menyelami dunia folklor yang mengitari telaga. Dia membacakan epos dan cerita rakyat yang telah hidup dalam ingatan masyarakat selama berabad-abad.
Setiap tokoh dan alur cerita mengandung pesan moral dan spiritual yang dalam, menjadikan folklor sebagai piagam budaya tidak tertulis. Tradisi lisan ini sangat rentan terhadap kepunahan, sehingga peran budayawan dan komunitas sangat dibutuhkan untuk mendokumentasikannya.
Kesaksian pribadi dari Zainul Arif menambahkan warna humanis yang menyentuh hati. Sebagai orang yang tumbuh besar di sekitar telaga, ia menyaksikan perubahan situs dari dekade ke dekade.
Beliau menceritakan betapa masyarakat dahulu sangat menjunjung tinggi adat dan ritual terkait telaga. Meskipun banyak berubah, ia tetap optimis melihat geliat pelestarian yang kini digalakkan.
Diskusi malam itu, telah menjabarkan kompleksitas situs budaya dari berbagai sudut, memberikan landasan ilmiah dan menyuntikkan jiwa serta rasa.
Dengan begitu, Museum Kanjeng Sepuh Sidayu kembali menjadi saksi tumbuhnya kesadaran kolektif akan kekayaan sejarah.
Sedangkan Telaga Rambit, adalah monumen hidup yang terus bernapas, sebuah epos panjang yang masih terus ditulis oleh setiap generasi, dan upaya mereka untuk melestarikannya adalah cara untuk tetap menjadi bagian dari narasi agung tersebut.*(S/N)
