Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca

Parasit Kuadrat, Diam-diam Menguras

Gelas kopi hitam di atas meja kayu dengan latar mobil dan gazebo yang tampak samar dalam pencahayaan redup.
Secangkir kopi hitam dengan latar gazebo yang samar, menjadi saksi renungan tentang batas, kebaikan, dan mereka yang hanya datang untuk menguras. (SASTRANUSA)

SASTRANUSA - Aku duduk di Warkop77 Desa Sukun Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik sore ini (22 November 2025), sambil menikmati secangkir kopi hitam yang aromanya pelan-pelan menenangkan hati. Saat menyeruputnya, ingatan tentang seorang teman muncul. Teman ku ini memiliki cerita yang sudah lama terpendam tentang seseorang yang disebutnya sebagai parasit kuadrat. Sebutan itu awalnya terdengar seperti gurauan berlebihan, namun setelah ditelisik, rupanya ada luka dan kelelahan yang selama ini disembunyikan.

Seperti rasa kopi yang pahit namun membekas, kisah ini menghadirkan pelajaran tentang batas dalam kebaikan. Ternyata tidak semua yang hadir dalam hidup membawa kehangatan atau kontribusi. Ada pula yang datang seperti benalu, menginginkan kehadiran tetapi enggan bergerak, menikmati hasil tetapi tak mau menanam, serta menuntut tanpa pernah merasa bersalah.

Mengenali Seseorang yang Selalu Mengambil, Tetapi Tak Pernah Memberi

Kisah temanku menunjukkan fenomena yang sebenarnya sering terjadi dalam relasi sosial, hanya saja banyak orang memilih diam. Seseorang yang dianggap parasit kuadrat itu masuk dalam bisnis kecilnya, namun bukan untuk bekerja bersama, melainkan untuk menempel dan menikmati segala kemudahan yang sudah tersedia. Setiap peluang yang membawa keuntungan akan diambil, tetapi ketika tanggung jawab menanti, dia perlahan menepi seperti bayangan di sore hari.

Di luar urusan bisnis, orang itu bahkan mulai merasa seolah layak ikut menentukan keputusan pribadi, terutama yang berkaitan dengan keuangan. Perilakunya seperti seseorang yang kehilangan rasa malu dalam meminta, tetapi memiliki keberanian besar dalam menghabiskan. Hubungan seperti ini bukan lagi kolaborasi, melainkan eksploitasi yang dibiarkan terus tumbuh karena rasa segan dan niat baik yang salah tempat.

Yang lebih ironis, orang yang diberi label parasit kuadrat itu bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah instansi. Namun bukannya menjadikan pekerjaan sebagai pijakan untuk berkembang, dia justru memilih berjalan pelan, bahkan terlalu pelan hingga terlihat seperti enggan berusaha. Bukan karena tak mampu, tetapi karena terbiasa menunggu bantuan datang, bukan mencari jalan keluar.

Ketika Kebaikan Menjadi Beban yang Menguras Energi

Ada titik dalam hidup ketika kebaikan bukan lagi sumber pahala, tetapi menjadi pintu masuk kelelahan batin yang tak terlihat. Temanku pernah berkata bahwa menolong itu mulia, namun ketika seseorang memanfaatkan kebaikan hingga berubah menjadi kewajiban yang tak pernah diminta, maka rasa capek mulai mengisi ruang hati. Di situlah pertemanan berubah bentuk: dari harmoni menjadi tekanan.

Kata teman ku ini, manusia diajarkan untuk saling membantu, tetapi tidak semua diajarkan untuk menghormati pemberian. Yang membuat hati semakin perih bukan hanya kebiasaannya meminta, melainkan sikap seolah-olah dunia berutang padanya. Keengganannya untuk berusaha dan kebiasaan menunggu uluran tangan, membuat dirinya kehilangan harga diri, dan pada saat yang sama, menghabiskan energi orang yang ingin membantu.

Namun di balik segala kekesalan dan kelelahan itu, ada hikmah yang perlahan terungkap: bahwa tidak semua hubungan harus dilanjutkan. Ada orang-orang yang hanya hadir untuk mengajarkan tentang batas, tentang pentingnya berkata cukup, dan tentang seni menjaga diri agar tidak tenggelam dalam beban orang lain.

Belajar Melepaskan dan Menjaga Batas dengan Hati yang Tetap Lembut

Hidup mengajarkan, bahwa memberi batas bukanlah tindakan kejam, tetapi bentuk kasih kepada diri sendiri. Melepaskan seseorang yang hanya hadir untuk menguras bukan berarti berhenti menjadi baik, melainkan belajar memberi kebaikan dengan bijak. Kadang, seseorang perlu dibiarkan jatuh agar dia menemukan pijakan dan mengetahui nilai perjuangan.

Saat kembali menyeruput kopi yang mulai mendingin, aku menyadari bahwa dunia tidak menuntut kita menjadi penopang semua manusia. Kita cukup menjadi seseorang yang paham kapan membantu, kapan berhenti, dan kapan mendoakan dari jauh tanpa harus terseret dalam hidup orang lain yang enggan bergerak.

Pada akhirnya, hidup mengajarkan satu kalimat sederhana namun dalam: Tidak semua orang yang meminta pertolongan membutuhkan kita.

Kopi ini mungkin telah habis, tetapi pelajarannya menetap, yakni, kebaikan tidak boleh menjadikan kita budak. Namun harus memberi ruang bagi martabat, batas, dan kedamaian.*(S/N)

Baca Juga
Tag:
Posting Komentar