![]() |
| Sambil ngopi sore di Warung Guo, Desa Tebuwung, aku berfikir bagaimana pasar digital perlahan mengubah wajah perdagangan tradisional. (SASTRANUSA) |
SASTRANUSA - Sore itu, Selasa 18 November 2025, aku duduk di Warung Guo, sebuah kedai sederhana di sudut Desa Tebuwung yang selalu menjadi tempat terbaik untuk merapikan pikiran. Aroma kopi hitam yang tidak terlalu pekat menenangkan, sementara lalu lintas kecil desa melintas seperti rekaman masa lalu yang tetap hidup. Di hadapan meja kayu yang mulai menua, aku memikirkan satu hal: dunia dagang telah berubah, dan perubahan itu berjalan tanpa menunggu siapa pun.
Di desa seperti ini, percakapan tentang teknologi sering menjadi sesuatu yang asing, tetapi realitasnya hadir tanpa meminta izin. Banyak pedagang di pasar tradisional kini merasakan turunnya omzet sejak platform toko online menjamur dan mendominasi. Bukan karena mereka tidak berdaya, namun lebih karena perubahan bergerak terlalu cepat, sementara sebagian dari mereka masih menggenggam cara lama yang selama ini memberi makan dan harapan.
Saat menatap langit sore dengan gradasi jingga yang perlahan tenggelam, aku menyadari bahwa perubahan bukan musuh. Tetapi pintu baru yang belum semua orang berani ketuk. Namun tetap saja, rasa getir itu nyata: ada pedagang yang dulu mampu tersenyum lebar karena pembelinya ramai, kini mulai menghitung hari dengan cemas.
Pasar Digital dan Transformasi Perilaku Konsumen
Perkembangan platform digital telah mengubah cara manusia membeli kebutuhan hariannya. Kini konsumen tidak perlu berjalan ke pasar, cukup membuka layar ponsel, memilih barang, dan menunggu kurir datang ke rumah. Fenomena ini bukan semata pilihan, tetapi kebiasaan baru yang terbentuk dari kenyamanan dan efisiensi. Di balik perubahan itu, ada irama kehidupan yang bergeser: dari tatap muka menjadi transaksi sunyi melalui layar.
Sebagian pedagang mungkin merasa kalah sebelum berperang, terutama ketika teknis digital dianggap rumit dan tidak bersahabat. Namun sebenarnya, platform online bukan ancaman, melainkan ruang baru yang dapat dimasuki siapa pun yang mau belajar. Mereka yang lebih dulu beradaptasi kini menikmati pasar yang lebih luas, bahkan hingga lintas kota dan pulau.
Jika direnungkan pelan-pelan, maka akan tampak bahwa inti persoalan bukan pada platform digital itu sendiri, tetapi pada kesiapan dan keberanian para pedagang untuk mengubah cara berdagang. Dunia terus bergerak, dan siapa pun yang menolak beradaptasi justru akan tertinggal lebih jauh. Di titik ini, pasar digital seolah berkata, “Aku tidak menggantikanmu, aku hanya membuka pintu baru."
Mengapa Pedagang Harus Belajar?
Menolak perubahan hanya akan memperpanjang jarak antara pedagang kecil dan pasar yang semakin luas. Banyak pedagang di daerah pedesaan merasa teknologi adalah milik kaum berpendidikan atau generasi muda. Namun kenyataannya, teknologi hadir untuk membantu, bukan untuk membuat batas baru. Ketika seseorang berani mencoba, maka apa yang awalnya rumit perlahan menjadi sederhana.
Sebagian pedagang lain mungkin menerimanya sebagai takdir yang tidak bisa ditolak, lalu memilih diam dan bertahan dengan cara lama. Namun diam bukan solusi, karena tantangan tidak pernah hilang dengan diabaikan. Di era digital, kemampuan mengoperasikan platform online bukan lagi pilihan tambahan, melainkan bagian dari kompetensi dasar berdagang.
Jika pedagang mampu menghadirkan produk mereka di pasar offline dan online, maka kesempatan berkembang akan berlipat ganda. Sebuah etalase digital dapat menjangkau pembeli yang bahkan belum pernah datang ke pasar desa. Dengan begitu, dagangan lokal tidak hanya hidup, tetapi bisa berkembang dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Peran Pemerintah dalam Era Perdagangan Digital
Menghapus platform digital bukan solusi, karena jutaan orang kini mengandalkan layanan tersebut dalam keseharian mereka. Justru yang dibutuhkan adalah jembatan, bukan sekat antara pedagang tradisional dan platform digital. Pemerintah dapat menghadirkan pelatihan yang mudah diakses, terutama di daerah yang jauh dari pusat kota. Pelatihan ini bukan sekadar teknis, melainkan juga pendampingan agar para pedagang tidak berjalan sendirian di ruang yang baru.
Sebagian pelatihan pemasaran digital telah tersedia, meski banyak di antaranya berbayar dan diakses secara daring. Bagi sebagian pedagang desa, akses internet, biaya, dan keberanian untuk mencoba menjadi hambatan. Maka sudah seharusnya pemerintah hadir tidak hanya sebagai pembuat aturan, tetapi sebagai pemberi ruang belajar yang nyata dan berkelanjutan.
Jika pelatihan dilakukan secara perlahan dan terstruktur, maka pedagang offline tidak lagi menjadi pihak yang tertinggal. Justru mereka dapat menjadi bagian dari perubahan ekonomi digital, membawa karakter lokal ke dalam ruang pasar modern.
Menjaga Kearifan Lokal dalam Dunia yang Berubah
Pada akhirnya, pasar offline tetap memiliki ruh yang tidak tergantikan. Dalam pasar tradisional, ada sapa, tawar-menawar, dan hubungan emosional yang tidak bisa ditemukan dalam transaksi digital. Namun dunia tidak lagi menunggu mereka yang berjalan terlalu pelan. Perlu ada keseimbangan: pasar offline dipertahankan, pasar online dimasuki.
Ketika pedagang desa mampu berdiri di dua ruang sekaligus, yakni tradisional dan digital, maka identitas lokal tidak hilang. Justru pasar diperluas dan diperkenalkan kepada lebih banyak orang. Di titik itu, perubahan bukan lagi ancaman, melainkan kesempatan.
Dan sore di Warung Guo itu, sambil menyeruput sisa kopi yang mulai dingin, aku merasa yakin: masa depan bukan tentang memilih salah satu ruang, melainkan tentang keberanian untuk tumbuh dari ruang yang telah lama nyaman menuju ruang yang memberi peluang baru. Karena pada akhirnya, yang bertahan bukan yang paling kuat, tetapi yang paling mampu menyesuaikan diri.*(S/N)
