![]() |
| Gambar oleh McGuire dari Pixabay |
SASTRANUSA - Ada masa ketika seseorang merasa kebohongan kecil tampak seperti jalan pintas yang aman, meski sebenarnya menyimpan jejak gelap di baliknya. Dalam satu momen yang tampak sepele, kamu mungkin menutupi sesuatu yang mengganjal hati, seakan semua dapat dibenarkan oleh keadaan. Namun di sela keraguan yang muncul, diam-diam tumbuh rasa takut akan konsekuensi yang tak pernah kamu niatkan sejak awal.
Setiap kebohongan yang pernah muncul selalu menyisakan gema di dalam pikiran, seolah mengingatkan bahwa sekali langkah keliru diambil maka jalan seterusnya menjadi semakin licin. Kamu mencoba merapikan situasi, tetapi benang-benang yang tersimpul justru menjerat batin dengan cara yang tak terduga. Pada akhirnya terbentuk lingkaran yang membuat keputusan yang tampak ringan tadi berubah menjadi sesuatu yang menyeret langkah.
Dalam keheningan yang panjang, kamu mungkin bertanya apakah semua bisa kembali seperti semula. Ada perasaan yang bergerak antara penyesalan dan harapan, seperti dua sisi yang saling tarik menarik tanpa henti. Perjalanan memahami alasan manusia kembali pada kebohongan berkali-kali pun mulai menemukan maknanya di ruang batin yang rawan goyah.
Kebohongan pertama sering muncul dari dorongan melindungi diri, meskipun sebenarnya justru mengaburkan kejernihan hati. Kamu merangkai alasan yang tampak masuk akal demi menenangkan kegelisahan yang tak kunjung mereda. Rasa cemas yang muncul setelahnya membuat keputusan berikutnya terasa lebih mudah untuk kembali keluar jalur.
Setiap manusia membawa mekanisme bertahan hidup yang kadang tak berjalan seiring dengan kejujuran yang mestinya dijaga. Kamu mencoba menghindari kekecewaan dari orang terdekat, tetapi ketakutan itu malah membuka celah untuk kebohongan baru. Kesadaran bahwa setiap pengelakan menuntut pengelakan lain menciptakan pola yang semakin sulit dibendung.
Riset psikologi menunjukkan, bahwa kebiasaan berbohong dapat memperkuat jalur tertentu di otak, sehingga tindakan itu terasa lebih ringan dibanding sebelumnya. Kamu mulai terbiasa dengan rasa bersalah yang perlahan menumpul, meskipun di dalam hatimu masih tersimpan kerinduan akan ketenangan yang sejati. Kondisi inilah yang membuat kebohongan berubah menjadi serangkaian langkah otomatis tanpa banyak pertimbangan.
Namun jauh di dalam diri, keinginan untuk berubah selalu menunggu waktu yang tepat untuk keluar dari belitan itu. Kamu mencoba menata ulang keberanian untuk berkata jujur meskipun konsekuensinya menuntut kerendahan hati yang tak mudah. Pada titik tertentu muncul keyakinan bahwa setiap kebenaran yang diucapkan dapat memulihkan retakan yang lama tersembunyi.
Kehidupan selalu memberi kesempatan bagi siapa pun yang ingin kembali menemukan kejelasan. Kamu belajar bahwa ketulusan bukan hanya tentang mengakui kesalahan, tetapi juga tentang merawat hubungan agar tidak dibiarkan rapuh oleh kepalsuan. Dengan begitu perjalanan meninggalkan lingkar kebohongan tidak lagi tampak menakutkan.
Pada akhirnya manusia selalu punya peluang untuk kembali pada nilai yang membuat hidup terasa lebih jernih. Kamu mungkin pernah terjatuh oleh keputusan yang tidak bijak, tetapi langkah kecil menuju kejujuran dapat menuntun pada kedamaian yang pelan-pelan menyembuhkan luka. Dalam proses itu kamu menemukan bahwa sekali bohong bukan berarti harus terus terperangkap di dalamnya.*(S/N)
