Fenomena yang Terjadi Jika 2045 Pendidikan Dikuasai AI!
![]() |
Fenomena yang Terjadi Jika 2045 Pendidikan Dikuasai AI!? (Ilustrasi) |
SastraNusa.id - Di sebuah
pagi yang sepi, kamu berjalan melewati gedung sekolah yang dulunya ramai dengan
tawa anak-anak. Kini semuanya tampak sunyi. Ruang kelas berdiri kaku dengan
layar digital yang menggantikan papan tulis. Tak ada suara pengajar yang
menyapa, hanya suara halus dari sistem pintar yang menjelaskan materi lewat
proyeksi hologram. Anak-anak duduk dengan headset di kepala masing-masing,
terisolasi dalam ruang belajar pribadi. Mereka tidak lagi mengenal kertas,
tidak tahu aroma buku baru, tidak pernah mengalami tangan guru menuntun jemari
mereka saat menulis huruf pertama.
Begitulah kira-kira
pendidikan di tahun 2045. Kecerdasan buatan bukan lagi sekadar alat bantu,
melainkan pengganti penuh. Sistem pintar menjelma sebagai pengajar utama dalam
kelas-kelas futuristik. Namun, apakah semua berjalan semulus harapan? Atau ada
arus lain yang menyelinap, mengikis esensi belajar itu sendiri?
Anak Pintar Tapi Tak Mengenal Dunia
Bayangkan seorang anak
yang mampu menjawab soal integral tingkat universitas saat usianya baru
sembilan tahun. Jadi bisa katakanaan hebat di atas kertas dan computer sih!
Namun, ketika diminta menyapa orang tua temannya, ia terdiam bingung. Sistem
pintar telah membimbingnya memahami rumus dan teori, tetapi tak pernah
mengajarkan rasa malu, sopan santun, atau bagaimana menatap mata seseorang saat
berbicara.
Jika benar begitu, tentu
kamu akan menemukan banyak anak seperti itu di tahun 2045. Mereka menjadi mesin
kecil yang efektif. Cerdas luar biasa, tetapi rapuh dalam interaksi. Mereka
tidak tumbuh dengan pengalaman belajar dari kegagalan nyata, karena semua sudah
disiapkan sempurna oleh sistem. Tak ada ruang untuk salah, dan justru di
situlah letak kesalahannya. Et, ini sepertinya tidak lagu untuk anak nakal, karena
saat waktu belajar dengan AI dia bolos (Alias ngopi bareng temannya). Hehehe.
Guru Menjadi Penonton
Jika di masa lalu guru
adalah poros dari semua pembelajaran, maka di masa itu guru hanya menjadi penjaga
sistem. Mereka duduk di pinggir ruangan, mengawasi jalannya pelajaran yang
disampaikan oleh perangkat pintar. Tugas mereka hanya memastikan tidak ada
gangguan teknis atau kelalaian keamanan. (Ini bayangan saya sih!)
Peran guru bergeser dari
pencerah menjadi operator. Bahkan ada yang merasa tersingkir karena murid lebih
percaya pada kecepatan dan akurasi sistem. Guru yang dulu dihormati kini hanya
menjadi bagian dari mekanisme. Tak lagi menjadi inspirasi, melainkan hanya
instruksi.
Jadi seoalah-olah, kamu
akan merasa kehilangan sesuatu yang tak bisa diganti oleh teknologi apa pun,
yaitu sentuhan manusia dalam proses belajar.
Murid Dipetakan Sejak Dini
Sistem kecerdasan buatan
pada tahun itu mampu menganalisis minat dan bakat anak sejak dini, bahkan
sebelum mereka benar-benar paham siapa diri mereka. Algoritma akan menyusun
rencana masa depan berdasarkan data perilaku, hasil belajar, dan emosi yang
terekam oleh sensor pintar. Anak yang terlalu aktif akan diarahkan ke jalur
olahraga. Anak yang lebih senang duduk diam langsung disalurkan ke bidang
teknis.
Semua tampak efisien.
Tapi di balik efisiensi itu, ada kekangan yang tersembunyi. Anak-anak
kehilangan kebebasan untuk mencoba hal-hal baru. Mereka tumbuh sesuai jalur
yang telah ditetapkan sistem. Tak ada lagi ruang bagi mimpi yang datang tiba-tiba.
Tak ada petualangan untuk menemukan siapa diri mereka sesungguhnya
Kamu mungkin akan
bertanya, di mana tempat bagi mimpi liar dan kebetulan indah jika semua sudah
dipetakan dengan presisi?
Belajar Menjadi Kompetisi Tak Berhenti
Dengan sistem pintar yang
selalu siap memberi umpan balik dan menilai dalam hitungan detik, semua murid
berlomba-lomba menjadi yang tercepat, paling presisi, dan paling sesuai
algoritma. Tak lagi ada proses menghargai jalan yang lambat atau belajar dari
kegagalan. Semua dikejar dalam format skor dan peringkat. Jadi diperkirakan,
dari robot menjadi siswa yang datar seperti robot.
Kamu akan menyadari bahwa
belajar tidak lagi tentang memahami, tetapi tentang mengalahkan. Anak-anak
saling menekan dalam diam. Tidak ada ruang untuk belajar bersama, karena sistem
sudah mengatur segalanya secara personal. Tidak ada persahabatan yang tumbuh
dari kerja kelompok. Yang ada hanyalah hasil akhir yang terus diburu dan
dinilai.
Sekolah Sebagai Ruang Data
Sekolah bukan lagi tempat
bermain atau belajar hidup, melainkan pusat pengumpulan data. Semua perilaku
terekam. Semua respons dianalisis. Semua pilihan diawasi. Anak-anak menjadi
bahan eksperimen bagi sistem yang terus belajar dari mereka.
Kecerdasan buatan tak
hanya mengajar, tetapi juga mengamati. Setiap kata yang diucapkan, setiap
langkah yang diambil, setiap ekspresi wajah yang terekam kamera seolah-olah
dicatat semua. Data tersebut digunakan untuk menyempurnakan metode mengajar
generasi selanjutnya.
Namun, di balik
penyempurnaan itu, ada kehilangan besar. Yaitu hilangnya ruang aman untuk
gagal. Anak-anak tidak lagi bebas menjadi diri mereka sendiri, karena selalu
ada mata sistem yang memantau dari balik layar.
Orang Tua Menjadi Konsumen Teknologi
Di masa itu, orang tua
tidak lagi terlibat langsung dalam proses belajar anak. Mereka hanya menerima
laporan dari sistem mengenai perkembangan anak mereka. Semua dijelaskan dalam
bentuk grafik, prediksi, dan rekomendasi. Mereka percaya penuh pada teknologi,
sebagaimana dulu percaya pada guru.
Namun, apa yang hilang
dari situ adalah keterlibatan emosional. Mereka tidak lagi menyaksikan secara
langsung bagaimana anak mereka belajar, tertawa, gagal, dan bangkit. Mereka
kehilangan kesempatan untuk menjadi bagian dari cerita itu. Semua diserahkan
pada sistem yang dianggap lebih tahu dan lebih bijak.
Kamu akan merasa hampa
saat menyadari bahwa pendidikan telah berubah menjadi konsumsi semata, bukan
lagi proses bersama.
Antara Kemajuan dan Kekosongan
Tak bisa dibantah bahwa
teknologi membawa banyak kemudahan. Sistem pintar mampu memberikan pendidikan
berkualitas untuk semua anak di berbagai wilayah, bahkan yang paling terpencil.
Materi disesuaikan dengan kebutuhan tiap murid dan proses belajar berlangsung
lebih cepat.
Namun, ketika segala
sesuatu menjadi serba otomatis, maka yang hilang justru adalah jiwa dari
pendidikan itu sendiri. Tidak semua hal bisa diajarkan oleh mesin. Ada nilai
yang hanya bisa tumbuh lewat interaksi nyata, lewat tatapan dan pelukan, lewat
kesalahan dan pengampunan.
Di tahun 2045, kamu akan
hidup di tengah pertanyaan yang menggema dari hati ke hati. Apakah anak-anak
benar-benar belajar atau hanya sekadar menjalani pelatihan dari sistem yang
dingin?
Mengapa Harus Bertanya dari Sekarang
Jika kamu masih berada di
masa ini, maka pertanyaan itu harus mulai kamu pikirkan sekarang. Bagaimana
menjaga agar pendidikan tetap manusiawi di tengah arus teknologi yang semakin
melaju kencang? Bagaimana memastikan agar anak-anak tidak hanya cerdas, tetapi
juga bijak dan berperasaan?
Oh ya, masa depan bukan
sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba loh! Melainkan, dibentuk dari keputusan
yang kamu buat hari ini. Jika kamu membiarkan kecerdasan buatan mengambil alih
semua, maka bersiaplah menyambut generasi yang kehilangan rasa.
Namun, jika kamu bersedia
menjaga peran manusia dalam setiap langkah pendidikan, maka kemungkinan pada tahun
2045 tidak akan sekelam itu. Mungkin masih ada ruang untuk tawa nyata dalam
kelas. Masih ada tempat bagi guru yang menginspirasi. Masih ada masa kecil yang
penuh kenangan, yang tidak bisa direkam oleh sistem mana pun. Di sanalah
harapan untuk pendidikan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga hidup dan hangat,
tetap bisa menyala.
Dari sini saya punya ide
lagi, yakni, bagaimana sitem Pendidikan pesantren jika menggunakan AI?