Tangis di Pagi Perpisahan, Siswa SDN 07 Sungai Geringging Dilepas dengan Cinta
![]() |
Tangis di Pagi Perpisahan, Siswa SDN 7 Sungai Sungai Geringging Dilepas dengan Cinta/SastraNusa.id/Jeki Arianto |
SastraNusa.id, Padang Pariaman - Di halaman SD Negeri 07 Sungai Geringging, pagi itu datang tanpa aba-aba. Matahari bersinar seperti biasa, tapi suasana berbeda. Bukan hari biasa. Puluhan siswa kelas VI berdiri berjajar, mengenakan seragam putih merah yang sebentar lagi tinggal kenangan. Wajah-wajah kecil itu tampak bersinar, tapi di balik senyum mereka ada isak yang ditahan.
Enam tahun bukan waktu sebentar. Dari mengenal huruf hingga menghitung pecahan, dari berlari di halaman sampai menuliskan cita-cita di kertas warna-warni. Semua tertinggal di bangku dan papan tulis yang diam. Hari itu mereka dilepas, bukan hanya dari gedung sekolah, tapi dari masa kecil yang telah dirawat dengan telaten oleh guru-guru yang mencintai mereka seperti anak sendiri.
Saat Semua Mata Menyaksikan
Camat Sungai Geringging, Kecil Ardinata, hadir bersama Wali Korong Lambeh, tokoh adat, komite sekolah, serta pelatih seni dari Padang Panjang, Muhammad Rafif. Tidak ada podium megah, tidak ada sambutan berlebihan. Tapi ada kehadiran yang tulus. Kehadiran yang menyampaikan satu hal penting bahwa anak-anak ini bukan hanya milik keluarga mereka, tetapi milik seluruh masyarakat.
Mereka adalah cahaya yang sedang tumbuh. Dan pagi itu, semua yang hadir menjadi saksi bagaimana cahaya itu dilepas dengan doa, harapan, dan air mata.
Tradisi yang Bicara Lewat Gerakan
Satu per satu pertunjukan seni dimulai. Randai dimainkan dengan penuh semangat, menghidupkan cerita lama yang diwariskan leluhur. Talempong berbunyi, seperti detak jantung budaya Minangkabau yang menolak padam. Anak-anak itu tidak sekadar tampil. Mereka sedang memperkenalkan jati diri. Di hadapan orang tua, guru, dan tokoh masyarakat, mereka menunjukkan bahwa ilmu dan budaya bisa tumbuh bersama.
Perpisahan ini menjadi lebih dari sekadar acara. Ia berubah menjadi ruang untuk membanggakan akar, menyambut masa depan tanpa melupakan asal.
Sebuah Nasihat yang Menjadi Pegangan
Di tengah suasana haru, Kecil Ardinata menyampaikan pesan yang mengakar. Ia tidak meminta banyak. Hanya satu hal yang terus ia ulangi dalam suaranya yang tenang. Teruslah belajar. Teruslah berjalan.
Dunia sedang berubah. Anak-anak Sungai Geringging tidak boleh hanya menjadi penonton. Mereka harus berdiri, melangkah, dan menjadi bagian dari perubahan itu. Karena setiap ilmu yang dikumpulkan, setiap nilai yang diperjuangkan, akan menjadi jalan untuk kembali membangun kampung halaman dengan cara yang paling membanggakan.
Suara yang Pecah di Tengah Harapan
Namun tak ada suara yang lebih mengguncang daripada suara seorang guru yang melepas muridnya. Kepala sekolah Yulianis berdiri, lalu berbicara. Suaranya bergetar. Matanya basah. Ia menyebut para siswa bukan sebagai peserta didik, tapi sebagai ananda. Ia tidak membaca naskah. Ia membaca isi hati.
Katanya, waktu berjalan terlalu cepat. Rasanya baru kemarin mereka datang dengan tangan mungil dan langkah canggung. Hari ini mereka sudah siap pergi. Tawa dan canda anak-anak itu, katanya, akan menjadi hening yang paling berat di ruang kelas esok hari.
Tapi dalam kepergian itu, ia menanam doa. Semoga anak-anaknya tumbuh menjadi pelita di mana pun mereka menimba ilmu. Semoga mereka membawa kebanggaan, bukan hanya untuk orang tua, tetapi juga untuk semua yang pernah menyentuh kehidupan mereka.
Doa yang Tidak Pernah Sia-Sia
Ketika doa dibacakan, semua menunduk. Langit terasa lebih rendah. Angin yang berembus membawa harapan. Tidak ada yang bicara. Hanya suara hati yang saling bersahutan. Setiap guru yang berdiri, setiap orang tua yang duduk, semua merapal permohonan yang sama. Lindungi mereka. Bimbing mereka.
Doa itu mengalir ke dalam jiwa para siswa, menjadi bekal yang tidak terlihat namun akan mereka bawa ke mana pun kaki melangkah. Doa itu tidak akan pernah hilang, karena ia ditanamkan oleh cinta yang tulus.
Pelukan yang Tak Sempat Diucapkan
Ketika waktu mengajak mereka berpamitan, pelukan dimulai. Tidak ada yang mampu menahan tangis. Guru dan murid saling merangkul seperti kehilangan bagian dari diri mereka. Tidak semua kata bisa diucapkan. Beberapa hanya keluar dalam bentuk air mata.
Seorang ibu berkata lirih bahwa perpisahan ini seperti ombak menghantam batu karang. Kasar, keras, tapi tidak bisa dihindari. Namun dari setiap pelukan yang erat, terlihat bahwa cinta tidak pernah pergi. Ia hanya berubah bentuk, dari pelajaran di kelas menjadi restu yang menyertai di setiap langkah ke depan.
Tradisi Jamba yang Menyatukan Rasa
Setelah peluk, mereka makan bersama. Tradisi jamba dilaksanakan dengan khidmat. Satu nampan, satu rasa, satu hati. Makan bersama tidak hanya memuaskan perut, tapi menyatukan jiwa. Di situ tidak ada perbedaan. Semua duduk sejajar, menikmati hidangan sebagai keluarga besar.
Tradisi ini tidak pernah tua. Ia seperti tali yang merajut kembali semua yang perlahan tercerai oleh waktu dan perpisahan. Dalam setiap suapan, ada kehangatan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Kenangan yang Tak Pernah Luntur
Anak-anak SDN 07 Sungai Geringging akan melanjutkan perjalanan. Mereka akan pergi ke sekolah baru, bertemu teman baru, belajar hal-hal yang belum mereka tahu. Tapi halaman sekolah ini akan selalu menjadi bagian dari siapa mereka.
Kenangan yang tercipta pagi itu tidak akan luntur. Ia akan hidup dalam cerita, dalam mimpi, dalam doa. Dan suatu hari nanti, saat mereka sudah dewasa, mungkin mereka akan kembali. Bukan sebagai murid, tapi sebagai pembawa cahaya untuk generasi berikutnya.
Karena sekali kamu belajar dengan cinta, kenangan itu tidak akan pernah hilang. Ia akan tetap hidup, seperti halaman sekolah yang tidak pernah benar-benar sepi.