Bincang Tak Serius Menghidupkan Sastra Lisan Pesisir
![]() |
Acara bincang tak serius/SastraNusa.id/Zuhdi Swt |
SastraNusa.id, Gresik - Bincang Tak Serius di Rumah Budaya Pantura bukan sekadar pertemuan biasa. Di ruang sederhana yang penuh semangat itu, gelombang kata dan rasa mengalir begitu kuat. Semua hadirin larut dalam suasana yang akrab, namun sarat makna.
Suara lantang Kadji Mudzakir, M.M. memandu jalannya acara. Bukan hanya sebagai moderator, tetapi seperti pawang kata yang piawai menuntun arus imajinasi. Bersama para pelaku seni dari berbagai penjuru. Yaitu meliputi mas Arif Ponco dari Tuban, kang Jirin dari Lamongan, Bang Toyib dari Gresik, yakni dari kebudayaan lisan pesisir kembali bersuara.
Wayang Kujkris dan Jejak Tradisi yang Hidup
Jo Batara Surya, atau Bang Johan sebagaimana banyak yang menyapanya, menjadi sorotan utama. Sosok ini tak sekadar tampil sebagai narasumber, melainkan penjaga napas panjang sastra lisan. Lewat Wayang Kujkris, ia tak henti merangkai kisah, menyulam pesan, dan menghidupkan kembali ruh tradisi yang nyaris padam.
Dalam sesi penuh keintiman itu, Bang Johan berbicara tentang bagaimana sastra lisan tak hanya menyimpan cerita, melainkan juga mengandung etika hidup. Titik laku yang mengakar dari keseharian masyarakat pesisir menjadi pangkal pengetahuan. Dan dari sanalah, nilai-nilai diwariskan tanpa suara yang mengguru.
Sastra Lisan, Kekuatan yang Terlupakan
Pesisir Lamongan menyimpan banyak cerita yang tak tertulis. Pantun, tembang, dan cerita rakyat menjadi bahasa yang membentuk kebijaksanaan lokal. Di balik kesederhanaan cerita-cerita itu, tersimpan petuah tentang hubungan antar manusia, alam, dan leluhur.
Melalui acara ini, bukan hanya memori yang dipanggil kembali. Kesadaran untuk merawat warisan tak kasat mata itu pun kembali tumbuh. Sastra lisan menjadi fondasi bagi penciptaan peristiwa kebudayaan yang relevan, bukan hanya sebagai romantisme masa lalu, melainkan strategi kebudayaan yang visioner.
Rasa dan Rasa, Kuliner Sebagai Pengikat Budaya
Bersama sajian khas dari Warung Joko Cingkir dan Rumah Makan Fadlika, percakapan menjadi lebih hangat. Nasi muduk, sego jagung, dan olahan laut menjadi media pembuka rasa, yang tak hanya menggoyang lidah, tetapi juga menautkan ingatan.
Makanan dalam acara ini bukan sekadar pelengkap. Ia hadir sebagai bagian dari narasi besar kebudayaan pesisir. Sebab dalam setiap hidangan, terkandung cerita tentang laut, tanah, dan tangan-tangan yang meracik rasa dengan penuh cinta.
Kolaborasi Budaya sebagai Jalan Kesadaran
Bincang Tak Serius bukan hanya digagas oleh satu pihak. Perkumpulan ini lahir dari gotong royong, yakni Rumah Budaya Pantura, Warung Joko Cingkir, dan Rumah Makan Fadlika menyatukan langkah demi menciptakan ruang dialog budaya. Kolaborasi ini mengajarkan bahwa pelestarian tradisi bukan tugas tunggal, melainkan kerja bersama.
Keterlibatan masyarakat bukan sebatas sebagai penonton. Setiap peserta menjadi bagian dari wacana, turut membawa ingatan dan harapan dalam satu panggung yang inklusif. Di sinilah kebudayaan benar-benar hidup: dalam partisipasi dan dialog.
Etika Lisan sebagai Titik Laku
Bang Johan menyebut, sastra lisan bukan hanya tentang cerita. Ia adalah cara hidup. Etika dalam berucap, menghargai jeda, dan menyimak dengan empati menjadi bagian dari praktik laku sastra pesisir. Pak Kadji menambahkan, bahwa budaya tutur memiliki struktur yang membentuk perilaku masyarakat secara halus namun pasti.
Ketika zaman bergeser ke arah digital dan cepat, nilai-nilai ini menjadi semacam jangkar. Sebuah penanda agar tak terombang-ambing dalam laju tanpa arah. Justru dari kesadaran inilah, tradisi bisa menyesuaikan diri dan tetap relevan.
Menuju Masa Depan yang Berakar
Masa depan sastra lisan pesisir Lamongan tak bergantung pada nostalgia. Ia bergantung pada keberanian generasi muda untuk menyelami, memaknai, dan kemudian merayakan warisan itu dalam bentuk yang baru. Bukan dengan meniru, melainkan menghidupkan kembali dengan pemahaman yang mendalam.
Acara semacam ini menjadi ruang aman untuk eksplorasi dan pembelajaran. Ketika tradisi diberikan panggung, ketika pelaku budaya diberi suara, di situlah masa depan mulai dirajut.
Sastra Lisan sebagai Panduan Zaman
Bincang Tak Serius tak hanya menyajikan bincang santai. Ia menjadi ruang sakral di mana sastra lisan kembali berbicara, menyampaikan pesan yang melampaui waktu. Dengan langkah-langkah kecil seperti ini, tradisi tak hanya dilestarikan, tapi juga diberdayakan.
Lamongan tidak kekurangan cerita, tidak kekurangan penjaga. Yang dibutuhkan adalah ruang-ruang seperti ini, di mana kisah-kisah lama bisa kembali bernyawa, yaitu, melalui wayang kujkris, kata-kata Bang Johan, dan kehangatan nasi muduk di meja kayu yang bersahaja.*