Lajhengan Séka’ Warisan Budaya Madura yang Terus Terjaga
![]() |
Prosesi Penaikan Warga Kampung Lembung Desa Plakaran Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang/SASTRANUSA/Fauzi |
SASTRANUSA, SAMPANG - Tradisi Lajhengan Séka’ di Kampung Lembung, Desa Plakaran, Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang menjadi salah satu kekayaan budaya Madura yang terus mengakar. Diketahui layangan raksasa yang mampu menghasilkan bunyi mendayu ini diterbangkan setiap musim kemarau.
Kemudian bentuknya yang hampir seukuran manusia dewasa, justru menambah keunikan serta memerlukan keterampilan tinggi dalam pembuatannya. Bagi masyarakat setempat, Lajhengan Séka’ bukan sekadar permainan, melainkan simbol kebersamaan dan wujud syukur atas berkah alam.
Keistimewaan tradisi Lajhengan Séka' ini terlihat dari suara khas yang muncul saat layangan menembus angin. Dentingan nada yang mengalun menandai pergantian musim dan hadirnya masa tanam tembakau, yang menjadi bagian penting dari kehidupan warga.
Momen ketika suara itu bergema di langit sore memberi rasa tenang sekaligus menghadirkan kebanggaan bagi masyarakat. Setiap kali Lajhengan Séka’ terbang, warga merasakan keterikatan emosional dengan warisan nenek moyang yang tidak lekang oleh waktu.
Warisan budaya ini tetap lestari karena setiap generasi berkomitmen menjaga nilai-nilai yang telah diwariskan. Cerita mengenai sejarah Lajhengan Séka’ disampaikan dari mulut ke mulut, sementara teknik pembuatannya diajarkan secara langsung kepada generasi muda. Dengan cara itu, identitas budaya Kampung Lembung tetap terpelihara dan memberikan warna khas bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Madura.
Bagaimana Sejarah dan Makna di Balik Nama Lajhengan Séka’?
Nama Lajhengan berasal dari kata “layangan” dalam bahasa Madura, sedangkan kata Séka’ merujuk pada bunyi khas yang dihasilkan. Gabungan kedua kata itu melambangkan layangan yang tidak hanya terbang, tetapi juga mengeluarkan suara merdu ketika angin kemarau berhembus. Masyarakat percaya bahwa bunyi tersebut membawa keberkahan dan menjadi tanda berlangsung tanam tembakau, yakni semacan momen penting dalam siklus pertanian lokal.
Pembuatan Lajhengan Séka’ bukan pekerjaan sederhana. Kerangka bambu harus dipilih dari batang yang kuat dan lentur, kemudian dibentuk hati-hati agar dapat menahan tekanan angin. Lapisan luar terbuat dari kertas atau plastik berwarna yang ringan namun tahan lama.
Bagian pentingnya terletak pada pita khusus yang dipasang di kepala layangan, karena elemen ini yang menghasilkan suara mendayu saat angin menerpa. Setiap langkah pengerjaan membutuhkan ketelitian agar layangan dapat terbang tinggi sekaligus mengeluarkan bunyi yang diinginkan.
Tradisi ini memiliki makna kebersamaan yang kuat. Seluruh proses, mulai dari memilih bahan, merangkai kerangka, hingga menerbangkan layangan, dikerjakan secara gotong royong. Anak-anak dan pemuda dilibatkan agar memahami teknik dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Nilai kebersamaan inilah yang membuat Lajhengan Séka’ menjadi sarana pendidikan budaya sekaligus simbol persaudaraan masyarakat Kampung Lembung.
Kapan Waktu dan Suasana Penerbangan Lajhengan Séka'?
Lajhengan Séka’ biasanya diterbangkan saat musim kemarau, bersamaan dengan masa tanam tembakau. Waktu yang dipilih pun tidak sembarangan. Sore hari sekitar pukul 16.00 WIB menjadi momen paling tepat karena hembusan angin stabil dan cahaya matahari mulai meredup. Saat itu, langit Madura menampilkan rona keemasan yang menambah keindahan ketika layangan raksasa melayang tinggi.
Suasana desa menjelang sore penuh semangat kebersamaan. Anak-anak menunggu dengan antusias, sementara para pemuda bersiap memegang benang besar yang telah disiapkan. Ketika layangan perlahan terangkat ke udara, sorak gembira terdengar di seluruh penjuru kampung. Bunyi khas dari pita yang bergetar menjadi irama alam yang dinantikan, menandai keberhasilan menerbangkan Lajhengan Séka’ dengan sempurna.
Kegiatan ini bukan sekadar hiburan, melainkan ajang menjaga tradisi leluhur. Setiap kali layangan mengudara, masyarakat merasa terhubung dengan sejarah panjang yang telah diwariskan turun-temurun. Dentingan suara yang melintas di langit sore menjadi pengingat bahwa kebersamaan dan rasa syukur adalah inti dari kehidupan mereka.
Peran Pemuda dan Sesepuh dalam Melestarikan Tradisi Lajhengan Séka'
Tidak semua warga memiliki Lajhengan Séka’ karena pembuatan layangan besar membutuhkan biaya dan keahlian khusus. Di Kampung Lembung, hanya tiga hingga empat keluarga yang secara rutin membuat dan menyimpan layangan ini. Namun, keterbatasan jumlah pemilik tidak mengurangi semangat masyarakat. Setiap kali musim kemarau tiba, para pemuda dan tetua desa kompak bergotong royong untuk menerbangkan layangan bunyi tersebut.
Pemuda bertugas mengendalikan benang dan memastikan keseimbangan layangan di udara. Mereka juga belajar mengenali arah angin dan menyesuaikan tarikan agar layangan tetap stabil.
Sementara itu, para tetua memberikan arahan teknis sekaligus menurunkan ilmu yang mereka miliki sejak lama. Kolaborasi lintas generasi ini memperkuat ikatan sosial dan memastikan keterampilan pembuatan serta penerbangan Lajhengan Séka’ tidak hilang ditelan zaman.
Persiapan dilakukan jauh sebelum musim kemarau. Bahan diperiksa dengan teliti, kerangka diperbaiki, dan pita penghasil bunyi disesuaikan agar suara yang dihasilkan tetap merdu. Semua proses dikerjakan dalam suasana penuh keakraban, menegaskan bahwa Lajhengan Séka’ bukan hanya kegiatan musiman, melainkan sarana mempererat hubungan antarwarga.
Menjaga Warisan Lajhengan Séka' untuk Generasi Mendatang
Keunikan Lajhengan Séka’ menjadi identitas penting bagi masyarakat Kampung Lembung. Tradisi ini menunjukkan kekuatan budaya lokal yang mampu bertahan di tengah perubahan zaman. Dengan melibatkan anak-anak dan remaja dalam setiap prosesnya, warisan leluhur ini dipastikan tetap hidup. Mereka belajar bahwa kearifan lokal tidak hanya soal hiburan, tetapi juga tentang kerja sama, kesabaran, dan rasa hormat pada alam.
Pelestarian Lajhengan Séka’ memerlukan komitmen bersama. Masyarakat terus menanamkan nilai-nilai gotong royong dan kebanggaan terhadap budaya Madura melalui kegiatan rutin ini.
Setiap kali layangan raksasa terbang, warga menyadari bahwa tradisi bukan sekadar kenangan, melainkan kekuatan yang menjaga harmoni kehidupan desa.
Dengan cara itu, Lajhengan Séka’ akan terus mengudara di langit Kampung Lembung, membawa pesan persaudaraan dan keindahan budaya kepada generasi berikutnya.*
Penulis: Fauzi