VIRAL

Mitos atau Fakta, Weton Menentukan Keharmonisan Pernikahan?

Mitos Weton Jawa
Sepasang melangsungkan pernikahan setelah mendapatkan weton jawa/Ilustrasi

SATRAUSA, JAWA - Tradisi Jawa selalu menyimpan ruang diskusi yang menarik. Salah satunya adalah perhitungan weton yang sampai saat ini masih digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan kecocokan pasangan hidup. Meski dunia semakin modern, masyarakat Jawa tetap menaruh perhatian pada hitungan hari lahir yang disebut weton, bahkan ketika berbicara soal rumah tangga.

Di tengah derasnya arus informasi, kepercayaan terhadap weton seakan bertahan sebagai identitas budaya. Banyak pasangan muda yang tetap menoleh pada hitungan Jawa ini, meskipun mereka juga hidup di era serba digital. Pertanyaan pun muncul, apakah benar perbedaan weton dalam pernikahan bisa memengaruhi harmoninya rumah tangga, atau hanya sebatas sugesti yang diwariskan turun-temurun.

Pembahasan mengenai weton memang tidak pernah kehilangan daya tarik. Ada yang memegang teguh sebagai penentu kecocokan, namun ada pula yang melihatnya hanya sebatas simbol budaya. Pertarungan pandangan ini membuat tradisi Jawa semakin relevan untuk dibicarakan, bukan hanya bagi masyarakat Jawa sendiri, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin memahami kaitan antara budaya dan kehidupan rumah tangga.

Weton Sebagai Penentu Harmoni

Di banyak daerah Jawa, weton dipercaya sebagai penanda jalan bagi hubungan dua manusia yang hendak menikah. Hitungan weton biasanya dilakukan dengan menjumlahkan neptu atau nilai dari hari dan pasaran kelahiran calon pengantin. Hasil penjumlahan kemudian dikelompokkan ke dalam kategori seperti Pegat, Ratu, Jodoh, dan Topo.

Kategori Pegat sering ditakuti karena dianggap membawa tanda perpisahan atau rumah tangga yang penuh pertengkaran. Sementara kategori Ratu diyakini membawa keberuntungan, keharmonisan, serta kelanggengan hubungan. Jodoh dipandang sebagai tanda pasangan yang memang sudah ditakdirkan, sedangkan Topo diartikan sebagai rumah tangga yang penuh ujian tetapi bisa bertahan jika dijalani dengan sabar.

Bagi sebagian masyarakat, hitungan tersebut bukan hanya sebatas simbol, melainkan benar-benar diyakini akan memengaruhi kehidupan setelah pernikahan. Orang tua pun sering kali ikut mendorong anaknya untuk mempertimbangkan hitungan ini sebelum mengambil keputusan besar dalam hidup.

Pandangan Menurut Islam

Meski weton masih dipraktikkan, ajaran Islam memberikan sudut pandang yang berbeda. Dalam Islam, perhitungan seperti weton digolongkan sebagai ‘urf atau kebiasaan lokal. Selama tidak diyakini sebagai penentu takdir, tradisi ini tidak dianggap menyalahi syariat. Dengan kata lain, boleh saja dilakukan sebagai budaya, tetapi tidak boleh dipercaya sepenuhnya sebagai nasib mutlak.

Islam menekankan bahwa keberhasilan rumah tangga terletak pada nilai-nilai fundamental. Kesetiaan, komunikasi yang sehat, saling menghargai, serta tanggung jawab jauh lebih penting dibandingkan hitungan angka. Sebuah rumah tangga akan menjadi sakinah, mawaddah, warahmah bila dijalankan dengan iman, akhlak, dan kesungguhan.

Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa pernikahan bukan sekadar ritual budaya, melainkan juga ikatan ibadah. Keyakinan terhadap hitungan weton seharusnya tidak sampai menyingkirkan ajaran agama yang menempatkan manusia sebagai penentu jalan hidup melalui usaha dan doa.

Efek Sugesti dalam Psikologi Sosial

Dari sudut pandang psikologi sosial, keyakinan terhadap weton sering kali bekerja melalui sugesti. Pasangan yang percaya bahwa hitungan weton mereka buruk cenderung lebih mudah menghubungkan setiap konflik dengan ramalan itu. Misalnya, pertengkaran kecil bisa dianggap sebagai bukti bahwa rumah tangga memang tidak harmonis sejak awal.

Efek sugesti semacam ini bisa memperkuat persepsi negatif hingga akhirnya menurunkan motivasi untuk mencari solusi. Hubungan yang seharusnya bisa diperbaiki dengan komunikasi justru terjebak dalam lingkaran keyakinan yang membatasi.

Namun, bagi pasangan yang tidak meyakini weton, dinamika rumah tangga lebih banyak ditentukan oleh komunikasi, kompromi, dan kerja sama. Mereka lebih fokus pada upaya rasional untuk mengatasi masalah daripada menyalahkan hitungan hari lahir. Dari sini terlihat bahwa keyakinan terhadap weton sangat bersifat subjektif, bukan sesuatu yang deterministik.

Tradisi yang Boleh Hidup

Perbedaan weton dalam pernikahan sesungguhnya adalah bagian dari kekayaan budaya Jawa. Simbol-simbol yang terkandung dalam hitungan tersebut bisa dilihat sebagai warisan leluhur yang sarat makna. Tradisi ini boleh saja dilestarikan, asalkan ditempatkan pada posisi yang proporsional.

Menganggap weton sebagai satu-satunya penentu keharmonisan rumah tangga adalah penyederhanaan yang keliru. Kehidupan berumah tangga tidak hanya diwarnai oleh ramalan, melainkan oleh kerja keras, saling pengertian, dan komitmen yang konsisten. Angka dan hari lahir hanyalah bagian kecil dari perjalanan panjang dua insan yang memutuskan untuk hidup bersama.

Dengan memandang weton sebagai tradisi, bukan sebagai takdir mutlak, generasi muda bisa lebih bijak dalam menghubungkan budaya dengan kehidupan modern. Budaya menjadi nilai tambah, bukan belenggu yang membatasi pilihan hidup.

Weton dalam Perspektif Generasi Muda

Generasi muda Jawa kini berada pada persimpangan antara tradisi dan modernitas. Sebagian tetap menghormati weton sebagai bagian dari identitas budaya, namun ada juga yang lebih memilih pandangan rasional dan ilmiah. Sikap ini mencerminkan perkembangan masyarakat yang semakin plural.

Pernikahan bagi generasi muda bukan hanya soal restu orang tua, tetapi juga soal kesesuaian visi, nilai hidup, dan kesiapan mental. Weton, bila dipahami hanya sebagai simbol, bisa memperkaya narasi budaya, tetapi tidak seharusnya menjadi faktor penghambat.

Dalam konteks ini, memahami weton lebih tepat dilihat sebagai cara untuk menjaga hubungan dengan akar tradisi. Sementara keputusan besar seperti pernikahan tetap didasari pada komunikasi sehat, pemahaman agama, serta kesadaran akan tanggung jawab jangka panjang.

Harmoni Bukan Hitungan

Rumah tangga yang harmonis dibangun dari fondasi yang kuat. Kesabaran dalam menghadapi konflik, kemampuan saling memaafkan, serta kesediaan untuk berkorban jauh lebih besar perannya daripada sekadar hitungan hari lahir. Kehidupan bersama adalah proses panjang yang penuh dinamika, tidak bisa disederhanakan dengan ramalan semata.

Mempercayai weton sepenuhnya justru bisa membuat pasangan kehilangan kendali atas rumah tangga mereka sendiri. Padahal, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidup melalui pilihan, usaha, dan doa. Tradisi boleh mengiringi, tetapi kendali tetap berada pada tangan pasangan yang menjalaninya.

Perbedaan weton dalam pernikahan memang masih menjadi perbincangan yang hangat di masyarakat Jawa. Ada yang menganggapnya penentu jalan hidup, ada pula yang melihatnya hanya sebagai warisan budaya yang sarat simbol. Dari sudut pandang agama, tradisi ini tidak dilarang selama tidak diyakini sebagai takdir mutlak. Dari sisi psikologi, efek sugesti lebih dominan daripada pengaruh nyata.

Tradisi seperti weton patut dihargai sebagai identitas kultural, tetapi tidak boleh membelenggu pilihan hidup. Rumah tangga yang kokoh lahir dari komunikasi, komitmen, dan kerja sama. Generasi muda bisa memelihara tradisi dengan cara bijak, menempatkannya pada posisi yang pantas tanpa harus kehilangan rasionalitas dalam mengambil keputusan.

Harmoni rumah tangga bukanlah hasil hitungan, melainkan buah dari kesetiaan dan tanggung jawab. Budaya boleh menyertai, tetapi cinta dan usaha bersama tetap menjadi penentu utama perjalanan panjang dua insan yang memutuskan untuk hidup bersama.

Penulis: Bay

FAQ Seputar Weton dalam Pernikahan

1. Apa itu weton dalam tradisi Jawa?

Weton adalah hitungan hari lahir menurut penanggalan Jawa yang memadukan hari dan pasaran. Tradisi ini digunakan sebagai pedoman untuk berbagai keperluan, salah satunya menentukan kecocokan pasangan sebelum menikah.

2. Bagaimana cara menghitung kecocokan weton pasangan?

Perhitungan dilakukan dengan menjumlahkan nilai neptu dari hari dan pasaran kelahiran masing-masing calon pengantin. Hasil penjumlahan diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu seperti Pegat, Ratu, Jodoh, dan Topo, yang dipercaya membawa makna berbeda bagi kehidupan rumah tangga.

3. Benarkah perbedaan weton bisa memengaruhi rumah tangga?

Kepercayaan tradisional menyebutkan bahwa perbedaan weton bisa memengaruhi keharmonisan. Namun secara psikologis, pengaruh tersebut lebih kepada sugesti. Kehidupan rumah tangga lebih ditentukan oleh komunikasi, tanggung jawab, dan kesetiaan, bukan sekadar hitungan angka.

4. Apa pandangan Islam tentang weton pernikahan?

Dalam Islam, weton dianggap sebagai kebiasaan lokal atau ‘urf yang boleh dilestarikan selama tidak diyakini sebagai penentu takdir. Islam menekankan bahwa keberhasilan rumah tangga lebih ditentukan oleh iman, akhlak, dan komitmen dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.

5. Apakah generasi muda masih perlu percaya weton?

Generasi muda boleh menghargai weton sebagai warisan budaya, tetapi tidak seharusnya menjadikannya faktor penentu utama dalam pernikahan. Keputusan menikah sebaiknya didasari kesiapan mental, komunikasi yang sehat, dan nilai agama, sementara weton bisa dilihat sebagai simbol budaya yang memperkaya identitas.

6. Apakah rumah tangga bisa gagal hanya karena weton tidak cocok?

Tidak. Banyak rumah tangga yang tetap harmonis meskipun weton pasangan dianggap tidak cocok. Kesuksesan pernikahan lebih ditentukan oleh usaha bersama, komitmen, dan kemampuan menyelesaikan masalah, bukan oleh hitungan hari lahir semata.