Tradisi Maulid Jawa Vs Madura, Fakta Mengejutkan yang Jarang Dibongkar!
![]() |
Beberapa Orang yang Hadir untuk Perayaan Maulid di Madura/SASTRANUSA/Fauzi |
SASTRANUSA, NUSANTARA - Lampu minyak pernah menjadi saksi bisu bagaimana masyarakat Nusantara merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan caranya masing-masing. Hingga kini, gema Maulid masih hidup dan berdenyut dalam setiap langkah budaya di berbagai daerah. Di Jawa, tradisi ini sering terasa megah, seolah ingin memperlihatkan kebesaran syiar yang berakar kuat. Sedangkan di Madura, nuansanya lebih hangat, yaitu menghadirkan keakraban di ruang keluarga dan desa-desa kecil yang menyatu dengan napas kebersamaan.
Kedua wilayah itu memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan rasa cinta pada Nabi. Dari satu sisi, kamu bisa melihat arak-arakan gunungan yang berlimpah hasil bumi, sementara di sisi lain kamu akan menjumpai rumah-rumah warga yang penuh dengan jamuan sederhana. Perbedaan ini tentu bukanlah jarak, melainkan corak yang memperkaya wajah Islam di Indonesia. Yaitu Setiap daerah memberi warna, dan setiap warna punya makna sosial yang berlapis.
Perbedaan Perayaan Maulid Jawa Vs Madura
![]() |
Bherkat atau bingkisan dan Sekelompok orang Madura merayakan Maulid/SASTRANUSA/Fauzi |
Bagi banyak orang, Maulid bukan hanya sebuah perayaan agama, melainkan juga panggung tradisi yang mempertemukan manusia dengan identitasnya. Ada yang lebih suka berada di tengah keramaian ribuan jamaah di pelataran masjid besar, ada pula yang merasa tenteram duduk bersila di rumah tetangga sambil mendengarkan doa. Semua pilihan itu sah, sebab keduanya menyimpan pesan yang sama, yaitu meneladani akhlak Nabi. Berikut ini, hasil pikir SASTRANUSA soal perbedaan perayaan Maulid di Jawa Vs Madura:
1. Skala dan Lokasi Perayaan
Jawa sering menampilkan perayaan Maulid dengan skala besar. Keraton Yogyakarta dan Surakarta misalnya, menjadikan acara ini sebagai bagian dari kalender budaya tahunan. Ribuan orang berkumpul menyaksikan kirab gunungan yang diarak dari dalam keraton menuju Masjid Gedhe. Tidak hanya bangsawan, rakyat kecil pun berdesakan demi bisa menyentuh simbol syukur tersebut.
Sementara di Madura lebih memilih jalur yang berbeda. Tradisi Maulid di pulau garam tersebut biasanya berlangsung di rumah warga. Kegiatan dilakukan secara bergiliran sehingga suasana terasa akrab. Tamu datang silih berganti, saling menyapa dan bersalaman. Dalam ruang sederhana itu, hubungan antarsesama terjalin lebih kuat karena semua hadir bukan sekadar untuk merayakan, tetapi juga menjaga ikatan keluarga.
Perbedaan skala ini mencerminkan orientasi sosial yang berbeda. Jawa menonjolkan kebersamaan dalam kerumunan besar, sedangkan Madura menekankan nilai kekeluargaan dalam lingkup lebih intim.
2. Durasi Waktu Perayaan
Di Jawa, perayaan biasanya terfokus pada tanggal 12 Rabiul Awal sebagai puncak Maulid. Semua persiapan diarahkan menuju satu titik waktu yang penuh kemeriahan. Hari itu menjadi momentum sakral dengan doa, pengajian, dan arak-arakan digelar dengan khidmat.
Berbeda dengan itu, Madura merayakan Maulid sepanjang bulan. Sejak awal hingga akhir Rabiul Awal, yakni, warga bergantian mengadakan acara di rumah masing-masing. Tradisi panjang ini menjadikan suasana bulan Maulid benar-benar hidup. Setiap hari selalu ada undangan, doa, dan hidangan yang dipersiapkan untuk para tamu.
Durasi yang panjang ini, seolah memberi kesempatan lebih luas untuk mempererat hubungan sosial. Sehingga tidak ada keluarga yang merasa terlewat, sebab setiap keluarga mendapat giliran menjadi tuan rumah.
3. Acara Inti yang Berbeda
Kadang di Jawa, perayaan Maulid disertai dengan pawai dan arak-arakan. Gunungan hasil bumi menjadi pusat perhatian karena melambangkan rasa syukur atas karunia Allah. Namun, ada sebagian wilayah yang langsung mengadakan acara bersama di Masjid. Lalu, pengajian akbar yang biasanya dihadiri tokoh agama, bahkan pejabat daerah. Semua itu tampak berjalan dalam nuansa meriah yang menarik ribuan mata.
Di Madura memiliki ciri yang berbeda. Tradisi konjangan molod atau kunjungan rumah ke rumah menjadi acara inti inti perayaan Maulid. Warga datang untuk membaca doa bersama dan kemudian menikmati hidangan yang disediakan. Tidak ada keramaian besar, tetapi ada kehangatan yang nyata di setiap jamuan.
Perbedaan ini menunjukkan, Maulid bisa dirayakan dengan berbagai cara. Yaitu ada yang menekankan pada simbol kebesaran, ada pula yang menitikberatkan pada silaturahmi.
4. Simbol Makanan dalam Perayaan
Di sebagian wilayah jawa, menggunakan gunungan hasil bumi sebagai simbol syukur saat perayaan Maulid. Gunungan itu diperebutkan setelah acara usai dengan keyakinan bahwa siapa yang mendapat bagian akan memperoleh berkah. Simbol pangan ini menegaskan pentingnya hubungan manusia dengan sumber kehidupan. Namun di sebagian wilayah, masyarakat membawa jajan sendiri ke Masjid untuk ditukar dengan jajanan milik warga lain.
Di Madura, makanan yang digantung di dalam rumah menjadi simbol utama. Buah, jajanan, bahkan peralatan kecil ikut diperebutkan oleh warga. Perebutan bukan sekadar mencari barang, tetapi juga menjadi bentuk doa agar rezeki selalu mengalir.
Simbol makanan dalam kedua tradisi ini sama-sama menunjukkan hubungan erat antara pangan, keberkahan, dan kehidupan masyarakat.
5. Ragam Nama Tradisi
Jawa mengenal berbagai nama untuk tradisi Maulid. Di Yogyakarta dan Surakarta disebut Grebeg Maulud. Cirebon menyebutnya Panjang Jimat. Banyuwangi mengenal Endog-endogan dengan telur hias yang diarak. serta di Kudus, ada Ampyang Maulid.
Kemudian di Madura, menyebut perayaan ini dengan nama Molodhen atau Molodan. Konjangan molod adalah istilah khusus untuk kunjungan yang dilakukan dari rumah ke rumah. Ada pula tradisi bherkat, yaitu bingkisan makanan yang bisa dibawa pulang oleh tamu.
Setiap nama ini tentu bukan sekadar sebutan, tetapi juga penanda identitas daerah. Nama menjadi warisan yang memperkuat ingatan kolektif masyarakat.
6. Makna Sosial yang Menyelubungi
Jawa memaknai Maulid sebagai wujud solidaritas komunal. Yaitu, acara besar yang melibatkan ribuan orang menjadi simbol persatuan. Semua kalangan hadir tanpa memandang strata sosial. Dari pejabat hingga rakyat jelata, semuanya berdiri di ruang yang sama untuk mengenang Nabi.
Madura lebih menekankan pada ikatan kekeluargaan. Karena dilakukan di rumah, nuansa kebersamaan lebih terasa intim. Tamu tidak hanya hadir untuk berdoa, tetapi juga menjaga hubungan persaudaraan. Kehangatan ini menjadikan Maulid sebagai ruang silaturahmi yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Makna sosial ini membuat Maulid tidak hanya menjadi agenda keagamaan, melainkan juga sarana merawat jalinan sosial.
Maulid di Jawa dengan Madura Kok Beda?
Perbedaan tradisi Maulid di Jawa dan Madura menunjukkan keragaman ekspresi cinta umat kepada Nabi. Yakni di Jawa menonjolkan kemegahan dan skala besar, sementara Madura lebih mengutamakan kehangatan dan kedekatan antarwarga. Dari gunungan hasil bumi hingga konjangan molod, semuanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu keberkahan hadir ketika manusia saling berbagi.
Perayaan ini seakan menegaskan, bahwa Islam di Nusantara selalu bersenyawa dengan budaya. Artinya setiap daerah punya cara unik untuk merawat ingatan pada Nabi Muhammad SAW. Pada akhirnya, yang paling penting bukanlah bentuk acaranya, melainkan makna yang tertanam dalam hati umat.*
Penulis: Fauzi