SN TOP

Rokat Buju’ Kramat, Tradisi Selamatan Sakral dari Desa Plakaran Madura

Rokat Buju’ Kramat, Tradisi Selamatan Sakral dari Desa Plakaran Madura
 Rokat Buju’ Kramat, Tradisi Selamatan Sakral dari Desa Plakaran Madura (Ilustrasi)

SATRANUSA - Setiap bulan Suro, suasana Desa Plakaran di Kecamatan Jrengik menjadi lebih khidmat. Warga dari berbagai kampung mendatangi sebuah tempat yang dianggap keramat. Tempat itu dikenal sebagai makam Buju’ Kramat, yang tidak lain adalah makam Pangeran Plakaran.

Pasalnya kedatangan masyarakat tidak pernah diumumkan secara resmi. Mereka seakan memiliki ikatan batin yang membuat langkah kakinya serempak menuju lokasi pada waktu yang sama. Kehadiran tanpa undangan ini menciptakan nuansa kebersamaan yang sulit ditemui di hari-hari biasa.

Ritual yang dilaksanakan pun dikenal dengan sebutan Rokat Buju’ atau Buyut Kramat. Sebuah tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, terus dijaga, dan tetap menjadi bagian penting dari kehidupan spiritual masyarakat Plakaran hingga kini.

Asal Usul Buju’ Kramat

Nama Buju’ Kramat disematkan pada sosok yang dihormati di wilayah itu, yakni Pangeran Plakaran. Dalam catatan masyarakat setempat, nama asli beliau adalah Raden Cokronegoro. Keberadaan makamnya di Kampung Dhimor, Dusun Nangger, Desa Plakaran, Kecmatan Jrengik, Kbupaen Sampang, Mdura dipercaya sebagai pusat kekuatan spiritual dan menjadi tempat yang dikeramatkan oleh warga sekitar.

Penyebutan buju’ kramat sendidi, sebenarnya tidak hana menandai lokasi makam. Istilah ini menjadi simbol penghormatan sekaligus bentuk pengakuan atas Raden Cokronegoro. Masyarakat percaya, beliau adalah tokoh penting yang wafat di tempat tesebut.

Seiring waktu, makam tersebut tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga pusat pertemuan budaya dan spiritual. Dari sinilah lahir tradisi rokat buju’ yang terus bertahan meski zaman telah berubah.

Waktu dan Pelaksanaan Rokat

Rokat Buju’ dilaksanakan setiap bulan Suro. Pemilihan bulan ini tentu tidak lepas dari makna sakral yang melekat padanya. Bulan Suro dianggap sebagai momen penuh doa, pengharapan, dan perenungan.

Menariknya, pelaksanaan tradisi ini tidak pernah membutuhkan undangan resmi. Warga dari Kampung Lembung, Kampung Dhimor, dan Kampung Nangger sudah hafal dengan jadwalnya. Begitu bulan Suro tiba, mereka dengan sendirinya berkumpul di makam Buju’ Kramat.

Kebersamaan yang lahir dari kebiasaan turun-temurun ini membuktikan bahwa tradisi ini tidak membutuhkan formalitas untuk tetap hidup. Hal itu karna rasa memiliki yang kuat membuat masyarakat tidak pernah absen hadir dalam prosesi tersebut.

Prosesi Ritual

Rangkaian prosesi dalam rokat buju’ berlangsung penuh kekhidmatan. Dimulai dengan membaca tawassul, jamaah memanjatkan Al-Fatihah kepada Kanjeng Nabi Muhammad, para alim ulama, serta Pangeran Plakaran. Doa tersebut diyakini sebagai jembatan untuk menyampaikan rasa hormat sekaligus permohonan berkah.

Kemudian, mereka secara bersama-sama membaca Yasin. Suasana menjadi lebih khusyuk saat lantunan ayat-ayat suci bergema dari mulut para peserta. Dilanjutkan dengan bacaan tahlil yang menandai kepasrahan sepenuhnya kepada Sang Pencipta.

Puncak dari ritual adalah doa bersama. Setiap orang menundukkan kepala dengan penuh harap, menginginkan kehidupan yang lebih baik, rezeki yang berkah, serta keselamatan bagi seluruh keluarga. Doa ini menjadi inti dari rokat, sebab dari sinilah semangat kebersamaan dan solidaritas dipertegas.

Simbol Persaudaraan Bisa Dilihat dari Makan Bersama

Setelah doa rampung, suasana berubah menjadi tambah lebih hangat. Yakni masyarakat yang hadir bersama-sama menikmati hidangan sambal duduk melingkar. Dari ini bisa diketahui, bahwa makan Bersama bukan hanya menjadi symbol semata, melainkan sebuah tanda persaudraan yang erat. Hidangan sederhana terasa istimewa karena disantap dengan penuh rasa syukur.

Kebersamaan dalam makan ini menegaskan nilai gotong royong. Semua orang hadir dengan membawa makanan sesuai kemampuan, lalu menyatukannya di tengah prosesi. Dari ini bisa dilihat, bahwa tidak ada perbedaan status pada tradisi ini. Semua setara dalam kebersamaan, sejalan dengan nilai luhur yang diwariskan leluhur.

Rokat ini Memiliki Makna Sosial dan Spiritual Mendalam

Rokat Buju’ tidak hanya menjadi ritual keagamaan, melainkan juga sarana memperkuat hubungan sosial. Pertemuan warga dari berbagai kampung menciptakan ruang silaturahmi. Mereka saling bertukar kabar, mempererat ikatan, dan menguatkan rasa persaudaraan.

Secara spiritual, tradisi ini menghadirkan kesempatan untuk merenung. Membaca doa dan ayat-ayat suci mengingatkan manusia pada kehidupan fana, sekaligus pentingnya menjaga hubungan dengan Sang Pencipta. Dari sisi budaya, rokat buju’ merupakan bentuk penghormatan kepada tokoh yang berjasa dan sekaligus upaya melestarikan warisan leluhur.

Rokat ini Memiliki Nilai Kearifan Lokal

Meski dunia terus berkembang, rokat buju’ tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Desa Plakaran. Tradisi ini tidak pernah lekang oleh waktu karena keberadaannya lebih dari sekadar ritual.Tentunya hal ini adalah identitas, jati diri, dan kebanggaan.

Generasi muda diajak untuk terlibat agar tidak melupakan akar budaya. Melalui keterlibatan langsung, mereka belajar tentang nilai religius, sosial, dan kebersamaan. Tanpa itu, warisan yang telah dijaga selama berabad-abad bisa perlahan hilang tergerus arus modernisasi.

Rokat Buju’ Kramat adalah tradisi yang mengajarkan banyak hal. Dari doa yang dipanjatkan, silaturahmi yang terjalin, hingga makanan yang disantap bersama, semuanya sarat makna. Tradisi ini menjadi bukti bahwa masyarakat Desa Plakaran memiliki kekuatan untuk menjaga warisan leluhur sekaligus menghadirkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih dari sekadar ritual, rokat buju’ adalah napas budaya yang terus berdenyut di tengah perubahan zaman. Sebuah warisan yang layak untuk terus dijaga, dihormati, dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Penulis: Aryo Helap