TERBARU

Di Madura yang Bisa Mamaca Semakin Sedikit, Kenapa?

Di Madura yang Bisa Mamaca Semakin Sedikit, Mengapa?
Di Madura yang Bisa Mamaca Semakin Berkurang, Kenapa? (ilustrasi) 

SASTRANUSA, MADURA - Tradisi Mamaca merupakan seni baca tembang khas Madura yang memadukan lantunan syair, kisah sejarah, dan nilai spiritual. Pertunjukan ini dulunya hadir dalam berbagai acara adat, mulai dari pernikahan hingga peringatan keagamaan. Namun, di era modern jumlah orang yang benar-benar mampu melantunkan Mamaca dengan baik terus menurun. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran karena menyangkut pelestarian identitas budaya yang berharga.

Mamaca bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana penyampaian pesan moral dan filosofi hidup. Setiap tembang membawa ajaran etika, kearifan lokal, serta petuah keagamaan yang sarat makna. Generasi terdahulu menilai Mamaca sebagai jembatan antara tradisi dan spiritualitas. Akan tetapi, tantangan besar muncul ketika generasi muda kurang tertarik untuk mempelajari warisan tersebut.

Menurunnya jumlah pelantun Mamaca disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Mulai dari tingkat kesulitan mempelajarinya hingga pengaruh budaya populer yang kian dominan. Selain itu, perubahan sosial membuat fungsi Mamaca dalam masyarakat berkurang. Berikut adalah penjelasan mendalam tentang penyebab utama fenomena ini.

Tingkat Kesulitan yang Tinggi

Salah satu hambatan terbesar dalam mempelajari Mamaca adalah kompleksitas bahasanya. Naskah yang dibacakan umumnya menggunakan aksara Arab Pegon yang memerlukan pemahaman mendalam. Selain itu, pembaca harus menguasai bahasa Madura dengan tingkatan tutur yang rumit, mirip dengan bahasa Jawa Kromo. Keterampilan tersebut menuntut latihan panjang dan ketekunan tinggi.

Tidak hanya soal aksara, teknik melantunkan tembang juga membutuhkan keahlian vokal yang istimewa. Setiap bait memiliki cengkok dan irama khas yang harus dipertahankan agar makna cerita tersampaikan sempurna. Kesalahan nada dapat mengurangi kekuatan pesan dan keindahan pertunjukan. Oleh karena itu, proses belajar Mamaca memerlukan guru berpengalaman dan waktu yang tidak singkat.

Kesulitan teknis inilah yang membuat banyak anak muda enggan mendalami seni Mamaca. Dalam era serba cepat, proses belajar bertahun-tahun dianggap terlalu panjang. Banyak yang akhirnya memilih aktivitas lain yang lebih praktis dan segera memberikan hasil. Hambatan ini menjadi salah satu penyebab utama berkurangnya penerus seni tradisi tersebut.

Pergeseran Minat dan Pengaruh Modernisasi

Budaya populer yang serba instan menjadi daya tarik besar bagi generasi muda. Akses mudah ke media sosial, musik digital, dan hiburan visual membuat pertunjukan Mamaca yang berdurasi lama terasa kurang memikat. Format sederhana yang menuntut konsentrasi penuh tidak sejalan dengan kebiasaan menikmati hiburan cepat. Akibatnya, minat terhadap seni ini kian menurun.

Selain itu, nilai filosofis yang terkandung dalam Mamaca sering dianggap sulit dipahami. Pesan moral dan spiritual yang dibawakan kadang dianggap kuno oleh sebagian anak muda. Perubahan gaya hidup membuat mereka merasa pesan-pesan itu tidak lagi relevan. Kondisi tersebut menambah jarak antara tradisi lama dan realitas generasi sekarang.

Modernisasi juga menghadirkan banyak pilihan hiburan baru yang lebih interaktif. Festival musik, permainan daring, dan konten digital menyita waktu dan perhatian. Dengan kompetisi hiburan yang begitu besar, pertunjukan Mamaca harus berjuang keras untuk tetap eksis. Tanpa inovasi, kesenian ini akan semakin terpinggirkan di tengah derasnya arus globalisasi.

Perubahan Fungsi dan Konteks Sosial

Dahulu, Mamaca memiliki peran penting dalam berbagai ritual adat. Seni baca tembang ini hadir pada pernikahan, ruwatan, dan peringatan hari besar Islam. Kehadiran Mamaca menjadi bagian tak terpisahkan dari peristiwa sakral masyarakat Madura. Namun, kini acara adat semacam itu semakin jarang diadakan.

Banyak keluarga memilih mengganti pertunjukan tradisional dengan hiburan modern seperti musik dangdut atau karaoke. Perubahan ini menggeser fungsi Mamaca dari ritual sakral menjadi tontonan biasa. Ketika konteks sakral menurun, nilai dan daya tarik seni ini juga berkurang. Pergeseran tersebut membuat Mamaca kehilangan tempat di hati masyarakat luas.

Upaya adaptasi memang dilakukan, misalnya menampilkan Mamaca dalam bentuk pertunjukan panggung. Akan tetapi, inovasi ini belum sepenuhnya menarik perhatian generasi muda. Pertunjukan modern yang mencoba menggabungkan musik kontemporer belum cukup populer untuk menghidupkan kembali minat belajar Mamaca. Tanpa dukungan luas, perubahan fungsi sosial semakin mempercepat penyusutan peminat.

Kurangnya Regenerasi dan Pendidikan Formal

Proses pewarisan Mamaca selama ini bergantung pada tradisi lisan. Guru Mamaca biasanya mengajarkan teknik tembang secara langsung kepada murid terpilih. Namun, minat generasi muda yang menurun membuat proses ini terhambat. Akibatnya, kesenjangan antar generasi semakin lebar dan regenerasi terputus.

Sekolah-sekolah di Madura memang mulai memperkenalkan Mamaca melalui pelajaran bahasa daerah. Sayangnya, pembelajaran di ruang kelas masih bersifat pengenalan dan tidak mendalam. Tanpa praktik intensif, siswa sulit menguasai teknik vokal dan irama yang rumit. Dukungan pendidikan formal yang terbatas menjadi penghalang besar dalam pelestarian seni ini.

Keterbatasan jumlah pelatih juga menambah tantangan. Banyak maestro Mamaca sudah lanjut usia dan tidak lagi aktif tampil. Jika tidak segera dilakukan program pelatihan khusus, keahlian mereka akan hilang bersama waktu. Situasi ini menjadikan regenerasi sebagai prioritas utama agar seni tradisi tersebut tidak punah.

Apakah Ada Usaha Agar Mamaca Lestari?

Meskipun menghadapi berbagai kendala, sejumlah langkah pelestarian tetap dijalankan. Penggunaan teknologi digital menjadi salah satu cara paling menjanjikan. Rekaman video, aplikasi pembelajaran, dan kanal media sosial dapat membantu memperkenalkan Mamaca kepada audiens muda. Inovasi ini diharapkan membuat seni tradisi lebih mudah diakses.

Selain itu, kegiatan kolaboratif antara seniman muda dan maestro Mamaca mulai digalakkan. Pertunjukan gabungan yang memadukan unsur modern dan tradisional memberi warna baru. Strategi ini tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga menciptakan ruang belajar bagi generasi berikutnya. Kolaborasi semacam ini menjadi jembatan penting dalam proses regenerasi.

Dukungan dari lembaga pendidikan dan pemerintah daerah juga sangat diperlukan. Program lokakarya, beasiswa seni, dan festival Mamaca bisa menumbuhkan kembali minat belajar. Dengan pendidikan yang lebih sistematis, keterampilan tembang dapat diwariskan secara berkelanjutan. Upaya bersama ini menjadi kunci agar Mamaca tetap hidup di tengah arus zaman.

Penulis: Sdw