TERBARU

Mengapa Kelas Menengah ke Bawah Sulit Kaya?

Mengapa Kelas Menengah ke Bawah Sulit Kaya?
Mengapa Kelas Menengah ke Bawah Sulit Kaya? (Ilustrasi) 

SASTRANUSA - Kesulitan membangun kekayaan di kalangan kelas menengah ke bawah bukan semata soal penghasilan kecil. Banyak faktor yang saling terkait, mulai dari kebiasaan keuangan, akses pendidikan, hingga tekanan sosial. Hambatan ini membuat pertumbuhan aset berjalan lambat bahkan nyaris berhenti. Memahami akar masalah menjadi langkah awal untuk memutus lingkaran keterbatasan finansial.

Kondisi ekonomi yang tidak stabil kerap menambah beban. Kenaikan harga kebutuhan pokok membuat pendapatan harian cepat habis untuk konsumsi. Situasi ini menyulitkan proses menabung karena sebagian besar gaji hanya cukup menutup biaya hidup. Tanpa tabungan, kesempatan berinvestasi pun ikut hilang.

Selain itu, banyak pekerja berpenghasilan rendah terjebak dalam sistem pekerjaan yang tidak memberi ruang pengembangan. Gaji cenderung stagnan karena peluang promosi minim. Lingkungan kerja seperti ini memaksa seseorang tetap berada pada level ekonomi yang sama. Akhirnya, mobilitas sosial ke atas menjadi sangat terbatas.

Pola Pikir Konsumtif Menghambat Pertumbuhan Aset

Sikap konsumtif menjadi penghalang utama bagi banyak keluarga. Keinginan untuk memenuhi gengsi membuat pengeluaran melebihi pendapatan. Pembelian barang mewah secara kredit hanya untuk terlihat mapan menambah beban utang. Kebiasaan ini menguras potensi tabungan yang seharusnya diinvestasikan.

Kurangnya pemahaman literasi keuangan memperparah keadaan. Banyak orang tidak mengetahui cara menyusun anggaran bulanan atau memisahkan pos pengeluaran. Tanpa perencanaan yang jelas, uang cepat habis dan sulit melacak ke mana dana digunakan. Akibatnya, tidak ada sisa untuk disimpan sebagai cadangan masa depan.

Selain itu, sebagian besar pekerja tidak terbiasa menilai risiko dan peluang investasi. Ketakutan akan kerugian membuat mereka enggan mencoba instrumen keuangan seperti reksa dana atau obligasi. Padahal investasi yang tepat dapat menumbuhkan kekayaan perlahan namun pasti. Ketidaktahuan ini menyebabkan dana hanya diam di rekening tanpa berkembang.

Pendapatan Terbatas dan Biaya Hidup Tinggi

Pendapatan yang kecil jelas menjadi hambatan signifikan. Banyak rumah tangga hanya mampu menutupi kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan tempat tinggal. Ketika gaji habis untuk biaya pokok, ruang untuk menabung atau berinvestasi nyaris tidak ada. Kondisi ini menunda pencapaian tujuan keuangan jangka panjang.

Biaya kesehatan dan pendidikan yang terus meningkat mempersempit ruang gerak. Ketika anggota keluarga sakit atau anak membutuhkan sekolah lebih baik, dana darurat pun terkuras. Situasi darurat sering memaksa keluarga mengambil pinjaman berbunga tinggi. Utang jenis ini sulit dilunasi dan menambah tekanan finansial.

Ketergantungan pada satu sumber pendapatan juga memperlambat kemajuan. Tanpa penghasilan tambahan, kenaikan biaya hidup tidak diimbangi pemasukan baru. Akibatnya, keluarga hanya bertahan dari bulan ke bulan tanpa peluang menabung. Lingkaran ini terus berulang dari tahun ke tahun.

Minimnya Akses Pendidikan dan Keterampilan

Pendidikan menjadi kunci mobilitas ekonomi, namun aksesnya tidak merata. Banyak keluarga berpendapatan rendah tidak mampu membiayai sekolah atau pelatihan berkualitas. Tanpa keterampilan khusus, peluang pekerjaan dengan gaji tinggi semakin kecil. Kondisi ini membuat pendapatan stagnan dalam jangka panjang.

Kurangnya pelatihan juga membatasi kemampuan memanfaatkan peluang digital. Padahal teknologi dapat membuka banyak pintu penghasilan baru seperti bisnis daring atau pemasaran afiliasi. Tanpa pengetahuan dasar, kesempatan tersebut terlewat begitu saja. Akhirnya, jarak antara kelompok berpendapatan rendah dan menengah terus melebar.

Selain itu, lingkungan sekitar sering kali tidak mendukung pertumbuhan karier. Jaringan profesional yang terbatas membuat informasi lowongan kerja atau peluang usaha sulit diperoleh. Minimnya mentor atau teladan sukses memperlambat proses belajar. Ketika dukungan sosial lemah, semangat untuk berkembang pun mudah padam.

Tekanan Sosial dan Budaya Konsumsi

Lingkungan sosial dapat memengaruhi kebiasaan finansial seseorang. Dalam komunitas yang menilai kesuksesan dari penampilan, banyak orang terdorong untuk mengeluarkan uang demi citra. Mereka membeli barang bermerek agar dianggap setara dengan lingkungannya. Tekanan seperti ini menciptakan pola pengeluaran yang tidak sehat.

Budaya “pamer” di media sosial memperkuat dorongan konsumsi. Melihat teman memamerkan gaya hidup mewah menimbulkan rasa ingin meniru. Keinginan tersebut sering kali tidak sejalan dengan kemampuan finansial. Akhirnya, utang konsumtif pun meningkat tanpa disadari.

Selain itu, norma keluarga kadang menuntut kontribusi keuangan lebih besar daripada kemampuan. Kewajiban membantu kerabat atau memenuhi tradisi adat menambah beban pengeluaran. Walau tujuan mulia, kebiasaan ini mengurangi dana yang seharusnya dialokasikan untuk tabungan atau investasi.

Memutus Lingkaran Keterbatasan

Kesulitan orang kelas menengah ke bawah menjadi kaya bukan hanya soal pendapatan yang kecil. Pola pikir konsumtif, literasi keuangan rendah, biaya hidup tinggi, serta minimnya akses pendidikan dan jaringan berperan besar. Faktor sosial seperti budaya pamer dan tuntutan keluarga menambah kompleksitas masalah. Semua hambatan ini saling terkait sehingga sulit diatasi tanpa strategi menyeluruh.

Memutus lingkaran keterbatasan memerlukan perubahan besar pada pola pikir dan kebiasaan. Literasi keuangan, pengendalian gaya hidup, dan peningkatan keterampilan menjadi langkah awal yang mendesak. Memanfaatkan peluang digital dan membangun jaringan kerja dapat membuka pintu mobilitas sosial. Dengan pendekatan bertahap dan konsisten, hambatan yang selama ini menghalangi pertumbuhan kekayaan perlahan dapat diatasi.

Penulis: Sdw