Abhãntal Ombã': Melawan Kerasnya Laut Madura

Pemandangan sore hari di pesisir Madura menampilkan sebuah perahu nelayan tradisional yang sedang berjuang menerjang ombak besar di tengah laut saat matahari terbenam.
Sebuah perahu nelayan menerjang kerasnya ombak sore hari di bawah saksi bisu senja Madura. (Gambar oleh Meadowphoto dari Pixabay)

SASTRANUSA - Jauh sebelum teknologi navigasi merajai samudera, masyarakat pesisir Madura telah memahat takdir mereka di atas permukaan air yang tak pernah tidur. Bagi mereka, laut bukan sekadar bentangan biru yang luas, melainkan panggung eksistensi tempat harga diri dan keberlangsungan hidup dipertaruhkan setiap malam.

Dalam setiap ayunan dayung dan tarikan jala, tersimpan sebuah rahasia ketabahan yang terangkum dalam filosofi Abhãntal Ombã' Asapo' Angén. Ungkapan ini tidak lahir dari meja-meja diskusi yang nyaman, melainkan dari sela-sela kayu perahu yang basah oleh keringat serta percikan garam yang abadi.

Jika ditelaah lebih dalam, narasi ini hadir sebagai manifesto perlawanan manusia terhadap kerentanan ekonomi yang menghimpit ruang gerak mereka di daratan. Melalui kacamata semiotika, fenomena budaya ini akan dibedah guna menyingkap bagaimana identitas manusia Madura dibentuk oleh kerasnya alam serta lembutnya doa yang dipanjatkan di tengah badai.

Membedah Abhãntal Ombã' Lewat Semiotika Roland Barthes

Sejatinya, struktur bahasa dalam tradisi lisan Madura menyimpan lapisan makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar alat komunikasi nelayan saat melaut. Penelusuran menggunakan model dua tahap Roland Barthes akan membantu mata kita untuk melihat bagaimana sebuah frasa fungsional perlahan berevolusi menjadi mitos budaya yang begitu sakral.

1. Sistem Primer Denotasi

Secara harfiah, frasa ini menggambarkan potret fisik seorang lelaki yang merebahkan raga di atas geladak perahu kayu yang sempit dan bergoyang. Tidak ada bantal yang empuk atau kain selimut yang hangat untuk melindungi kulit dari sergapan suhu malam yang ekstrem di tengah samudra.

Memang, realitas fisik ini menunjukkan betapa minimnya fasilitas keamanan yang dimiliki oleh para pejuang nafkah saat berhadapan dengan misteri laut. Ketiadaan perlindungan tersebut memaksa tubuh manusia untuk berdamai dengan ketidakpastian sebagai satu-satunya ruang istirahat yang tersedia di bawah langit malam.

Pasalnya, fokus utama pada tahap ini adalah sebuah pengakuan jujur akan kondisi kerja yang sangat berat serta penuh dengan risiko keselamatan jiwa. Keadaan empiris inilah yang kemudian menjadi fondasi bagi lahirnya makna-makna subjektif yang nantinya diagungkan oleh masyarakat luas sebagai bentuk penghormatan budaya.

2. Sistem Sekunder Konotasi

Kemudian pada tataran konotasi, elemen alam seperti ombak dan angin tidak lagi dipandang sebagai benda mati, melainkan simbol perjuangan hidup yang sangat heroik. Ombak diibaratkan sebagai ancaman yang selalu mengintai, sementara angin menjadi simbol kesunyian sekaligus kesahajaan yang harus dipeluk erat demi kelangsungan hidup keluarga.

Bahkan, konsep tidur di tengah badai mencerminkan sebuah pengorbanan besar yang melampaui batasan kenyamanan fisik manusia pada umumnya. Keberanian ini bukanlah bentuk kesombongan kepada semesta, namun lebih kepada sebuah kepasrahan terhadap takdir Tuhan yang tertulis di atas permukaan air.

Jadi, nilai yang terkandung di dalamnya memberikan pesan bahwa, kerasnya hidup tidak boleh sedikit pun melunturkan semangat untuk terus berjuang mencari nafkah. Setiap embusan angin yang menusuk tulang pun akhirnya dianggap sebagai saksi bisu atas keteguhan prinsip yang diwariskan oleh para leluhur pelaut secara turun-temurun.

3. Konstruksi Mitos Identitas

Alhasil, mitos dalam pandangan Barthes tercipta ketika sebuah nilai budaya yang rumit dianggap sebagai sesuatu yang alami dan sudah sewajarnya melekat pada diri manusia. Abhãntal Ombã' pun perlahan membangun citra kolektif bahwa setiap orang Madura secara alamiah dianugerahi mental tahan banting serta keberanian yang tanpa batas.

Tentu saja naturalisasi sifat ini membuat masyarakat melihat kerasnya kehidupan pesisir sebagai sebuah keniscayaan yang harus diterima tanpa perlu banyak bertanya. Identitas pejuang yang tangguh menjadi label yang sangat kuat, sehingga penderitaan fisik yang nyata seringkali tertutupi oleh gemerlap narasi kepahlawanan yang puitis.

Namun, terselip risiko ketika mitos ini justru digunakan untuk mewajarkan ketidakadilan sosial atau minimnya perhatian terhadap kesejahteraan ekonomi para pelaut kecil. Keberanian yang terus dipuji tersebut, terkadang menjadi tirai yang menutupi kebutuhan mendesak akan adanya sistem perlindungan sosial yang jauh lebih manusiawi dan adil.

Konflik Eksistensial dan Relevansi Modern

Seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat pesisir terus bergulir di antara pusaran tradisi luhur dan tuntutan zaman yang kian kompetitif. Filosofi ini pun tetap berdiri kokoh sebagai kompas moral bagi mereka yang merasa terpinggirkan oleh laju teknologi serta arus urbanisasi yang tak terbendung.

1. Manusia Melawan Elemen Alam

Hubungan antara manusia dan laut dalam kebudayaan Madura, senantiasa ditandai dengan sikap hormat yang dibalut oleh kewaspadaan yang sangat tinggi. Alam pun tidak dipandang sebagai objek untuk dikuasai secara serakah, melainkan sebagai kawan sekaligus lawan bicara yang abadi dalam tarian eksistensi manusia.

Memang, ketidakstabilan laut menjadi cermin yang jernih bagi roda kehidupan manusia yang seringkali berputar secara tidak terduga di dunia. Tetapi kesadaran akan posisi manusia yang kecil di hadapan samudra luas melahirkan sikap rendah hati, serta, tetap dibarengi kegigihan untuk terus mengupayakan kesejahteraan bagi keluarga.

Bagi mereka, setiap pelayaran adalah sebuah perjalanan spiritual yang menguji sejauh mana jiwa tetap tenang saat raga dihantam badai yang mengamuk. Keberhasilan untuk terus bertahan di laut bukan sekadar soal keahlian teknis navigasi, melainkan sebuah kemenangan mental atas rasa takut yang paling mendasar dalam diri manusia.

2. Kesenjangan Narasi Kesejahteraan

Namun, di tengah gemuruh janji pembangunan yang menawarkan kemudahan hidup, para pelaut ini seringkali tetap terjebak dalam pola kehidupan yang penuh keterbatasan. Kontras yang tajam antara gemerlap kemajuan di kota besar dan kondisi hidup yang berselimut angin, menimbulkan pertanyaan besar tentang pemerataan keadilan bagi warga pesisir.

Secara tidak langsung, filosofi ini hadir sebagai pengingat yang sangat kuat bahwa kemakmuran belum sepenuhnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara merata. Masih ada sekumpulan manusia yang harus mempertaruhkan nyawa di bawah gelapnya langit hanya agar asap di dapur rumah mereka tetap bisa mengepul esok hari.

Kesenjangan ini membuktikan bahwa ketangguhan luar biasa seringkali lahir dari ketiadaan pilihan untuk bertahan di tengah sistem ekonomi yang sangat menantang. Walaupun sering dipuji sebagai kearifan lokal yang luhur, realitas di balik frasa tersebut sebenarnya menuntut simpati serta langkah nyata dari para pengambil kebijakan.

3. Warisan Ketabahan dalam Perubahan

Hingga saat ini, nilai ketabahan yang diwariskan melalui sastra lisan ini tetap terasa sangat relevan bagi generasi muda dalam menghadapi tantangan era digital. Meski jenis pekerjaan mulai bergeser ke ranah teknologi, semangat untuk tidak pernah menyerah pada keadaan tetap menjadi ciri khas manusia Madura yang sangat menonjol pada karakter mereka.

Sebab, ketangguhan mental yang ditempa oleh filosofi pesisir memberikan energi besar bagi para pengembara Madura untuk bisa bertahan di manapun mereka berada. Mereka membawa mentalitas berbantal ombak tersebut sebagai modal sosial untuk bersaing di tengah rimba perkotaan yang terkadang tidak kalah ganas dari lautan lepas.

Terlebih lagi, tradisi lisan ini berfungsi sebagai perekat identitas kolektif yang menjaga agar akar budaya mereka tidak mudah tercabut oleh derasnya arus globalisasi. Nilai-nilai tersebut menjadi benteng terakhir yang menjaga martabat manusia agar tidak mudah runtuh oleh tekanan zaman yang serba cepat dan penuh persaingan.

Sintesis dari seluruh pembahasan ini membuktikan bahwa Abhãntal Ombã' adalah potret kecerdasan masyarakat tradisional dalam mengolah penderitaan menjadi sebuah kekuatan jiwa. Namun, sudah saatnya narasi tentang ketabahan ini tidak hanya berakhir sebagai pujian kosong atas keberanian fisik di dalam buku-buku sejarah. 

Sebuah gugatan muncul tentang bagaimana dunia modern seharusnya menghargai pengorbanan tersebut dengan tindakan nyata guna mengangkat taraf hidup para penjaga laut. 

Artinya Jangan sampai filosofi Abhãntal Ombã' Asapo' Angén ini hanya menjadi artefak kata-kata yang indah, sementara raga para pemiliknya tetap terbiar terombang-ambing tanpa jaminan masa depan yang benar-benar layak dan manusiawi.*

Penulis: AHe

Baca Juga
Posting Komentar
ass="hidden">