![]() |
| Empat anak bermain layangan di tambak, menikmati udara segar dengan latar pegunungan indah. (Gambar oleh Heri Santoso dari Pixabay) |
SASTRANUSA - Di pagi yang sejuk di Kampung Lembung, nyanyian Séka’ Ambhãng dahulu membentuk irama alam yang tersamar dalam kehidupan anak-anak. Suara layangan beterbangan dan telur putih yang berpindah tangan menjadi melodi yang menenun dunia simbolik yang kaya makna, kini hanya tersimpan dalam kenangan yang memudar.
Jika ditelisik lebih dalam, lagu ini hadir bukan sekadar hiburan, tetapi medium pembelajaran moral, kesabaran, dan interaksi sosial yang membentuk identitas anak. Namun hilangnya praktik nyanyian tersebut, menandai senyapnya salah satu jalur utama pewarisan budaya lokal yang unik.
Sesungguhnya, lirik yang tampak sederhana menyimpan dimensi simbolik yang melampaui bunyi dan kata. Layangan dan telur putih menjadi sarana untuk menanamkan kesadaran berbagi, kesabaran, dan ketertiban dalam interaksi anak-anak.
Dunia yang tercipta dari nyanyian ini menawarkan kemungkinan memahami hubungan manusia dengan komunitasnya, sekaligus memperkenalkan nilai estetika dan moral secara intuitif.
Jika diperhatikan secara saksama, Séka’ Ambhãng menampilkan teks yang otonom. Makna lagu tidak lagi sepenuhnya tergantung pada niat pencipta, tetapi tetap mampu berbicara kepada pendengar di masa berbeda.
Dengan perspektif hermeneutik Paul Ricoeur, teks ini menjadi cermin yang menuntun refleksi eksistensial tentang keterikatan anak-anak dengan tradisi yang perlahan menghilang.
Analisis Struktural dan Simbolik Séka’ Ambhãng
Sebelum membahas hilangnya nyanyian rakyat, perlu menyingkap makna yang tersimpan di balik kesederhanaan lirik. Analisis struktural dan simbolik memungkinkan pembacaan nilai sosial dan moral yang terinternalisasi melalui permainan tradisional anak-anak.
1. Struktur Lirik dan Simbolisme Telur
Di awal lagu, kata-kata tentang telur putih yang diberikan pada layangan mengundang renungan yang sederhana namun mendalam. Telur menjadi simbol hadiah, perhatian sosial, dan medium untuk menanamkan norma berbagi. Pola repetitif "Jã' bhãghi jã' bhãghi" memperkuat ritme permainan, menegaskan aturan, konsistensi, dan interaksi yang harmonis di antara anak-anak.
Telur putih bukan sekadar benda fisik, tetapi medium internalisasi nilai sosial yang kompleks. Anak-anak belajar menyeimbangkan keinginan pribadi dengan aturan permainan, membentuk fondasi moral sejak usia dini. Kesederhanaan lirik dan pengulangan kata menciptakan pengalaman estetis yang kuat dan mudah diingat.
Struktur ini juga memfasilitasi transmisi lisan yang efektif dari generasi ke generasi. Pola ritmis memudahkan anak-anak menyerap norma sosial secara intuitif, sekaligus memperkuat ikatan komunitas melalui permainan bersama. Folklor anak-anak, melalui mekanisme sederhana ini, menunjukkan efisiensi tinggi dalam pembentukan identitas sosial.
2. Dunia yang Ditawarkan Teks
Séka’ Ambhãng membuka dunia khas anak-anak yang bermain, belajar berbagi, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Dunia ini bukan hanya realitas fisik, tetapi juga dunia simbolik yang memperluas pengalaman eksistensial. Layangan yang beterbangan dan telur yang berpindah tangan membentuk pengalaman estetis yang mengajarkan nilai moral dan sosial secara organik.
Dunia simbolik yang ditawarkan teks, menegaskan norma dan etika komunitas secara tersirat. Setiap tindakan yang tergambar dalam lirik merepresentasikan proses internalisasi nilai yang berlangsung secara alami dalam kehidupan anak-anak. Memahami lagu ini, berarti memahami dunia sosial yang membentuk identitas anak dalam masyarakat lokal, sekaligus memberikan cermin bagi refleksi eksistensial.
Teks otonom ini tetap relevan meski praktik nyanyian mulai hilang. Dunia yang ditawarkan lagu dapat digunakan sebagai media pendidikan budaya yang inovatif jika pemerintah dan masyarakat menyiapkan strategi pelestarian yang efektif. Narasi anak-anak yang bermain dapat menjadi sarana penghubung antara tradisi dan perkembangan modern.
3. Dialektika Menjelaskan dan Memahami
Hermeneutika Ricoeur menekankan dialektika antara menjelaskan dan memahami, dua kutub interpretasi yang saling melengkapi. Analisis teks harus dimulai dengan interpretasi subjektif tentang makna permainan dan interaksi anak-anak, kemudian diuji melalui penelaahan struktural lirik. Proses ini berulang hingga tercapai pemahaman yang paling koheren dan mendalam.
Sebagai contoh, kata "séka' ambãng" secara literal merujuk pada layangan, tetapi makna simboliknya melibatkan kebebasan, aspirasi, dan keterikatan sosial. Interpretasi ini menunjukkan bagaimana teks tradisi membentuk dunia yang kompleks dan menawarkan ruang refleksi eksistensial bagi pendengarnya.
Dialektika ini juga membuka peluang bagi generasi baru menemukan kembali makna lagu. Dengan strategi yang tepat, dunia simbolik yang ditawarkan Séka’ Ambhãng dapat tetap hidup dan menjadi bagian dari pengalaman pembelajaran anak-anak, meskipun konteks sosial telah berubah.
Hilangnya Nyanyian Rakyat dan Refleksi Eksistensial
Hingga 1980-an, Séka’ Ambhãng masih terdengar di halaman rumah Kampung Lembung, tetapi kini hanya tersimpan sebagai memori kolektif yang samar. Orang tua enggan menurunkan lagu tersebut, sementara anak-anak lebih tertarik pada gawai dan media sosial. Fenomena ini mencerminkan pergeseran tradisi lisan di era modern, ketika hiburan digital menggantikan interaksi sosial langsung.
Kehilangan lagu ini bukan sekadar hilangnya hiburan, tetapi juga hilangnya ruang pembentukan identitas, pengalaman estetis, dan internalisasi nilai moral. Kekosongan tersebut menandai perlunya intervensi strategis melalui pendidikan formal dan program budaya lokal yang menghidupkan kembali praktik permainan tradisional.
Selain itu, fenomena digital memunculkan paradoks, di mana anak-anak memiliki akses lebih luas pada hiburan global, tetapi kehilangan kedalaman pengalaman sosial lokal. Tradisi seperti Séka’ Ambhãng yang menanamkan nilai berbagi, kesabaran, dan kesadaran estetis tidak dapat digantikan oleh tontonan digital semata.
Pemerintah dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk membangun jembatan antara teks tradisi yang otonom dan kehidupan modern anak-anak. Upaya ini bukan sekadar konservasi, tetapi refleksi kritis agar dunia simbolik yang ditawarkan teks tetap relevan bagi pembentukan identitas dan pemahaman diri generasi masa depan.
Gugatan Budaya
Séka’ Ambhãng membuktikan bahwa folklor anak-anak menyimpan dunia simbolik yang kaya, mengajarkan nilai sosial, moral, dan estetika. Lagu ini berdiri sebagai teks otonom yang menawarkan pengalaman eksistensial bagi setiap pendengar, bahkan ketika praktik nyanyian telah punah.
Hilangnya nyanyian rakyat ini menjadi panggilan reflektif bagi masyarakat dan pemerintah untuk bertindak. Pelestarian folklor tidak cukup dengan dokumentasi, tetapi harus melalui partisipasi aktif anak-anak dalam permainan tradisional.
Dengan cara ini, dunia simbolik yang ditawarkan teks tetap hidup, membentuk pemahaman diri yang kaya makna, dan menjaga warisan budaya agar tidak tenggelam di era digital.
Kehadiran teks otonom seperti Séka’ Ambhãng dapat menjadi pengingat bahwa kebudayaan bukan sekadar artefak masa lalu. Ia adalah pengalaman hidup yang terus bisa direnungkan, dipelajari, dan diteruskan. Warisan ini menuntut perhatian serius, agar suara anak-anak di Kampung Lembung tidak hilang bersama hembusan angin yang membawa layangan mereka terbang tinggi.*(S/N)
