Apa Tujuan Dolaksanakannya Upacara Pasola di NTT?
![]() |
Apa Tujuan Dolaksanakannya Upacara Pasola di NTT? (Ilustrasi) |
SastraNusa.id, Nusa Tenggara Timur - Ada yang tak pernah usang di Tanah Sumba, meski waktu terus menggulung seperti ombak di Laut Sawu. Sebuah ritual sakral bernama Pasola tetap hidup, menunggangi kuda, menusuk langit dengan tombak, dan menggugah jiwa siapa pun yang menyaksikannya. Kamu yang belum pernah melihatnya barangkali akan bertanya: apa yang sebenarnya dicari dari sebuah upacara yang mempertaruhkan luka, bahkan darah?
Untuk memahami tujuan dari upacara Pasola, kamu perlu menelusuri lebih dalam isi dari nadi masyarakat Sumba yang tak terpisah dari tanah leluhur dan petunjuk langit.
Bukan Sekadar Adu Ketangkasan
Sekilas, Pasola tampak seperti pertandingan ketangkasan menunggang kuda sambil melemparkan tombak. Dua kelompok laki-laki dari desa yang berbeda berhadap-hadapan di padang luas. Mereka menunggang kuda dengan kecepatan tinggi, lalu melempar tombak kayu ke arah lawan. Namun sesungguhnya, Pasola bukan pertandingan biasa. Tidak ada piala yang diperebutkan, tidak ada medali yang dibanggakan. Upacara ini adalah bentuk penghormatan.
Dalam tradisi Sumba, Pasola dilaksanakan untuk menghormati leluhur. Bagi masyarakat Sumba, roh leluhur tidak pernah benar-benar pergi. Mereka tetap tinggal, mengawasi, dan melindungi keluarga yang ditinggalkan. Melalui Pasola, masyarakat Sumba menunjukkan bahwa mereka masih ingat, masih patuh, dan masih menjaga tradisi yang diwariskan. Pasola menjadi persembahan, bukan hanya kepada leluhur, tetapi juga kepada alam semesta yang memberi hidup.
Sebagai Pemanggil Kesuburan Tanah
Di balik gemuruh kuda dan teriakan penonton, ada doa yang melangit. Pasola bukan hanya peristiwa fisik, tetapi juga spiritual. Tujuan utama dari pelaksanaannya adalah memanggil kesuburan. Ritual ini selalu dilakukan sebelum musim tanam dimulai. Para tetua adat percaya bahwa darah yang tumpah di arena akan menyuburkan tanah. Bukan karena kekerasan yang diagungkan, tetapi karena pengorbanan yang dianggap perlu untuk keberlangsungan hidup.
Darah bukan simbol dendam, tetapi bentuk persembahan. Luka-luka yang muncul tidak ditangisi, karena dianggap sebagai bagian dari kehendak alam. Jika seseorang terluka, bahkan sampai meninggal dunia, itu dianggap sebagai tanda bahwa yang bersangkutan telah melanggar adat atau tidak suci. Maka, Pasola menjadi semacam penghakiman alam sekaligus sarana pembersihan.
Mempererat Persaudaraan Antar Desa
Meski terkesan seperti pertarungan yang membakar emosi, Pasola justru ditujukan untuk memperkuat hubungan antar desa. Dalam upacara ini, dua kelompok dari wilayah yang berbeda harus bertemu. Bukan untuk bertikai, tetapi untuk menjalankan kewajiban adat. Mereka saling menyerang dalam batas aturan yang telah ditentukan. Tidak boleh ada rasa dendam, tidak boleh ada niat membunuh. Semuanya harus dijalani dengan kesadaran bahwa ini bagian dari warisan budaya.
Setelah upacara usai, para peserta biasanya saling berpelukan sebagai tanda bahwa tidak ada permusuhan. Mereka kemudian melanjutkan dengan makan bersama. Dari sini, kamu bisa melihat bahwa Pasola bukan kekerasan tanpa kendali, tetapi bentuk pertemuan budaya yang diikat oleh rasa hormat dan tanggung jawab.
Ritual yang Dipandu oleh Alam
Menariknya, Pasola tidak bisa dilakukan sembarangan. Waktu pelaksanaannya harus menunggu tanda dari alam. Salah satu tanda utama adalah kemunculan nyale, sejenis cacing laut yang hanya muncul di waktu-waktu tertentu. Munculnya nyale dianggap sebagai pertanda bahwa leluhur telah merestui pelaksanaan Pasola.
Jika nyale belum muncul, maka upacara tidak boleh dilakukan. Hal ini menunjukkan betapa masyarakat Sumba sangat menghormati kehendak alam. Mereka tidak memaksakan ritual berjalan sesuai keinginan sendiri. Semua harus menunggu dan mengikuti ritme semesta. Dalam konteks ini, Pasola juga mengajarkan nilai kesabaran dan kepasrahan.
Menguatkan Identitas Budaya
Di tengah dunia yang semakin global dan seragam, Pasola menjadi simbol perlawanan. Ritual ini adalah bentuk nyata dari identitas masyarakat Sumba yang tidak mau larut dalam arus perubahan tanpa arah. Melalui Pasola, mereka menyuarakan bahwa mereka masih ada, bahwa budaya mereka masih hidup, dan tidak bisa dihapus begitu saja.
Upacara ini juga menjadi sarana pendidikan bagi generasi muda. Melalui pelaksanaannya, mereka belajar tentang sejarah, asal-usul, dan nilai-nilai adat. Mereka diajak untuk memahami bahwa menjadi orang Sumba bukan hanya soal tempat lahir, tetapi juga soal merawat warisan. Dengan begitu, Pasola menjadi pengikat antargenerasi.
Destinasi Wisata dan Panggung Edukasi
Dalam beberapa tahun terakhir, Pasola juga menjadi daya tarik wisata. Banyak orang dari luar daerah, bahkan luar negeri, datang untuk menyaksikan ritual ini. Pemerintah setempat kemudian menjadikan Pasola sebagai bagian dari promosi pariwisata budaya. Namun, tetap ada batas yang dijaga. Tradisi ini tidak boleh menjadi tontonan semata. Pelaksanaannya harus tetap dijalankan sesuai kaidah adat.
Bagi para wisatawan, Pasola menjadi pengalaman yang membuka mata. Mereka bisa melihat bahwa budaya bukan hanya tarian dan lagu, tetapi juga ritual dan keyakinan. Mereka belajar bahwa masyarakat adat punya cara tersendiri untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Dari sini, Pasola juga berfungsi sebagai panggung edukasi lintas budaya.
Menghadirkan Keseimbangan
Inti dari Pasola adalah keseimbangan. Antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan leluhur, dan antara manusia dengan alam. Ketika semua berjalan seimbang, maka kehidupan akan membawa berkah. Namun jika keseimbangan itu terganggu, maka bencana bisa datang. Inilah pesan utama dari ritual ini.
Kamu yang menyaksikan Pasola mungkin akan terpesona oleh aksi menegangkan dan keberanian para peserta. Tapi jika kamu menyelami lebih dalam, kamu akan menemukan bahwa yang benar-benar dicari dari upacara ini bukan kemenangan, tetapi keharmonisan.
Pasola bukan sekadar upacara tradisional. Tradisi ini adalah napas budaya Sumba yang menyatu dengan tanah leluhur dan langit yang menaungi. Tujuannya tidak hanya menghormati roh nenek moyang, tetapi juga menyuburkan tanah, menguatkan persaudaraan, menjaga keseimbangan, serta mempertegas jati diri. Dalam setiap tombak yang dilempar, dan setiap luka yang diterima, tersimpan makna mendalam tentang kehidupan yang menyatu dengan alam dan adat.
Pasola bukan pertunjukan kekerasan. Upacara ini adalah bentuk cinta yang keras kepala kepada tradisi yang telah diwariskan berabad-abad lamanya.*