Bikin Nyawa Hilang, Tradisi Carok Madura Pantas Dilestarikan?
![]() |
Bikin Nyawa Hilang, Tradisi Carok Madura Pantas Dilestarikan? (ilustrasi) |
SastraNusa.id - Pagi masih basah oleh embun ketika dua lelaki saling menatap tajam di ujung gang sempit di Madura. Keduanya memegang celurit, tubuh tegang, wajah dipenuhi tekad yang menyala. Sekali hunus, darah menyembur. Satu roboh, satunya tetap berdiri. Sekian detik, mengakhiri dendam bertahun.
Itulah carok. Sebuah tradisi kekerasan yang tertanam dalam sanubari sebagian masyarakat Madura. Carok bukan sekadar adu kekuatan, melainkan ritual pembalasan yang dikaitkan dengan kehormatan. Harga diri dianggap lebih berharga dari nyawa, dan celurit menjadi hakimnya.
Beberapa menyebutnya warisan budaya. Sebagian lain menganggapnya sebagai kutukan yang tak kunjung berakhir. Namun, carok tetap hidup, bernafas dalam diam, menunggu percikan api untuk kembali menyala.
Carok Termasuk Akar Tradisi yang Berdarah?
Carok berasal dari tradisi lokal Madura yang mengakar kuat sejak masa kolonial. Umumnya dipicu persoalan harga diri, perselingkuhan, atau konflik antarkeluarga. Ketika rasa malu tak tertahankan, carok dianggap solusi. Pelaku tidak kabur, justru bersiap menghadapi konsekuensi, baik dari masyarakat maupun hukum.
Budaya ini mencerminkan konsep "maloko" atau malu luar biasa, yang harus ditebus. Celurit dipilih bukan tanpa alasan. Senjata itu simbol maskulinitas sekaligus kehormatan. Dalam duel carok, tidak ada juri. Siapa yang mati, berarti kalah. Yang hidup, belum tentu menang.
Tradisi ini sering diwariskan lintas generasi. Anak-anak tumbuh besar dengan kisah ayah atau kakeknya yang pernah melakukan carok. Nilai ini dipelajari secara diam-diam, lewat dongeng, bisikan, atau sekadar tatapan penuh makna.
Carok ini Tradisi atau Kekerasan?
Masyarakat adat sering menjadikan carok sebagai bagian dari identitas kultural. Namun, apakah semua yang bersifat budaya layak dilestarikan? Kekerasan dalam bentuk apa pun seharusnya dikritisi, terlebih jika menyebabkan kematian.
Pelestarian budaya sejatinya berangkat dari nilai kemanusiaan. Jika suatu tradisi mencederai nyawa, maka nilai kemanusiaanlah yang seharusnya menjadi prioritas. Budaya bukan benda mati, melainkan sesuatu yang bisa direfleksikan, diubah, bahkan ditinggalkan jika membawa mudarat.
Beberapa tokoh Madura, yang dalam artikel ini tidak akan disebutkan namanya, menyuarakan hal yang sama. Mereka mendesak agar carok tidak lagi dijadikan simbol kejantanan, melainkan dijadikan pelajaran bahwa harga diri tak harus ditebus dengan darah. Inisiatif damai, seharusnya mulai digerakkan melalui tokoh agama dan pendekatan budaya.
Upaya Rekontekstualisasi
Bukan hal mudah menghapus tradisi yang tertanam begitu dalam. Namun, bukan berarti tak mungkin. Sebenarnya, berapa komunitas di Madura mulai menggelar pertunjukan seni bertema carok tanpa kekerasan. Celurit diganti dengan tari, dendam diubah menjadi drama.
Perlu diketahui, bahwa, pendidikan menjadi kunci utama. Generasi muda Madura kini seharusnya mulai dikenalkan pada cara-cara penyelesaian konflik yang lebih manusiawi. Diskusi di pondok pesantren, seminar budaya, hingga pendekatan literasi lokal juga wajib mulai diperbanyak. Semuanya harus diarahkan, agar carok menjadi cerita masa lalu, bukan ancaman masa kini.
Kemudian, seharusnya pemerintah daerah harus turut ambil bagian. Contoh melalui program budaya dan keamanan, dengan melibatkan aparat desa guna mencegah potensi konflik sejak dini. Lalu pendampingan korban, mediasi keluarga, hingga ruang konsultasi psikologis tentu perlu diadakan atau dihadirkan sebagai solusi jangka panjang.
Kearifan dalam Refleksi
Tradisi memang tidak selalu harus dihapus. Namun, setiap budaya patut ditimbang dengan hati-hati. Apakah ia membangun peradaban? Ataukah justru merusaknya? Carok mungkin menyimpan nilai keberanian, loyalitas, dan kehormatan. Namun semua itu bisa diwujudkan tanpa harus mengorbankan nyawa.
Jika benar carok adalah bagian dari jati diri Madura, maka ia harus diredefinisi. Keberanian bukan lagi mengangkat celurit, melainkan menahan amarah. Kehormatan bukan lagi membalas luka, melainkan merangkul perdamaian.
Madura berhak dihormati bukan karena carok-nya, tapi karena kemampuannya mentransformasi tradisi menjadi peradaban. Sebab sejarah tak harus selalu berdarah untuk dikenang.*