Desa Tanpa Anak Muda Seperti Ladang Hijau Tanpa Musim Panen

Desa Tanpa Anak Muda Seperti Ladang Hijau Tanpa Musim Panen
Desa Tanpa Anak Muda Seperti Ladang Hijau Tanpa Musim Panen (Ilustrasi)

SastraNusa.id - Di sebuah desa yang dikelilingi sawah dan pohon kelapa, suara ayam pun kini tak seramai dulu. Bangku pos ronda dibiarkan kosong, catnya mulai terkelupas. Warung kopi hanya ramai oleh suara radio tua dan dentingan sendok dari cangkir yang sama. 

Tak ada tawa remaja yang dulu bersahut-sahutan di sore hari. Tak ada teriakan anak-anak bermain layangan atau pertandingan voli di lapangan tanah. Yang ada hanya sunyi yang tidak pernah diminta, hadir karena ditinggalkan oleh mereka yang seharusnya tumbuh dan menetap di sana.

Kamu mungkin pernah mendengar cerita tentang desa yang perlahan kehilangan denyut mudanya. Cerita tentang rumah-rumah tua yang jendelanya tak pernah dibuka lagi. Tentang kebun yang dibiarkan ditumbuhi semak dan rerumputan liar. Tentang orang-orang tua yang menatap jalan dengan pandangan kosong, seolah berharap seseorang akan pulang. Namun yang mereka dapat hanya angin dan waktu yang berjalan tanpa jawaban.

Mimpi yang Beralih Arah

Anak muda tak lagi menanam impian di desa. Mereka membawanya pergi ke kota, mengejar sinyal yang lebih kuat, pekerjaan yang lebih mapan, dan dunia yang lebih cepat. Meninggalkan tanah yang seharusnya menjadi ladang panen untuk masa depan. Bukan hanya panen padi, tapi juga panen gagasan, energi, dan keberanian.

Desa seperti ladang yang hijau. Subur oleh nilai, kaya akan tradisi, dan kuat oleh gotong royong. Tapi tanpa anak muda, desa kehilangan musim panennya. Tak ada lagi yang mengolah ide baru. Tak ada lagi yang menghidupkan kembali kegiatan adat atau membuat program pelatihan pertanian. Tak ada lagi yang ingin memimpin karang taruna, apalagi membentuk koperasi baru. 

Semua hanya menjadi cerita dari masa lalu yang terus didendangkan oleh para tetua, seolah berharap lagu itu bisa didengar oleh generasi yang sudah pergi.

Lahan Subur yang Ditinggalkan

Banyak desa memiliki potensi yang tidak bisa dihitung dengan angka. Sungai yang jernih, tanah yang subur, kerajinan tangan yang unik, hingga kearifan lokal yang tak bisa dibeli di toko modern. Namun semua itu seperti perhiasan yang disimpan dalam kotak tanpa pemilik. Tak ada yang bisa menggali, merawat, apalagi memasarkan potensi itu jika tak ada anak muda yang mau tinggal.

Kamu bisa melihatnya di banyak tempat. Desa yang dulu menjadi penghasil kopi terbaik kini hanya menjadi tempat singgah para pendaki. Desa yang dikenal sebagai pusat batik khas kini menjual sisa-sisa keindahannya di pinggir jalan. Semua karena anak muda yang seharusnya menjadi pewaris malah memilih untuk pergi dan tidak kembali.

Kesepian yang Tidak Pernah Selesai

Orang tua di desa sering kali tidak meminta banyak. Mereka tidak berharap pada hadiah besar atau kabar bahagia setiap hari. Mereka hanya ingin mendengar pintu dibuka, suara anak memanggil dari dapur, atau langkah kaki di pagi hari. Tapi yang mereka dapat hanyalah derit engsel dan angin malam yang menyelinap masuk dari celah dinding.

Kesepian itu perlahan menjadi penyakit. Bukan hanya di tubuh, tapi di hati. Seorang ibu yang tinggal sendiri mungkin masih sanggup menanak nasi dan menyapu halaman. Tapi tanpa percakapan, tanpa pelukan, dan tanpa alasan untuk menunggu, semua jadi beban yang tak pernah diucapkan. Dan kamu tahu, luka paling dalam sering tidak bersuara.

Bukan Hanya Soal Urbanisasi

Banyak yang berkata bahwa ini adalah dampak dari urbanisasi. Tapi jika kamu melihat lebih dalam, ini bukan hanya soal pindah tempat. Ini tentang hilangnya rasa memiliki. Anak muda tidak lagi merasa memiliki tanah kelahiran. Mereka tidak melihat desa sebagai bagian dari hidup yang harus dijaga. Mereka hanya melihatnya sebagai tempat lahir yang harus ditinggalkan demi masa depan.

Pendidikan dan teknologi memang penting. Tapi jika itu menjauhkan kamu dari akar, dari nenek yang menunggu di teras, dari kakek yang masih membawa cangkul ke sawah, maka ada yang perlu direnungkan ulang. Apakah benar semua keberhasilan harus dibuktikan dengan meninggalkan kampung halaman dan membangun hidup di kota besar?

Harapan Masih Ada Jika Kamu Mau Melihat

Meski banyak yang telah pergi, harapan tidak pernah benar-benar mati. Di beberapa sudut desa masih ada anak muda yang memilih bertahan. Mereka menanam, mengajar, membuat konten lokal, bahkan membangun usaha dari nol. Mereka membuktikan bahwa tinggal di desa bukan berarti tertinggal. Justru mereka yang menolak arus besar itu sedang menulis sejarah kecil yang bisa mengubah wajah negeri ini.

Kamu mungkin berpikir bahwa satu orang tidak akan mengubah apa-apa. Tapi satu orang yang pulang bisa membuka satu rumah. Satu orang yang tinggal bisa menghidupkan satu warung. Satu orang yang memulai bisa menarik yang lain untuk percaya. Karena panen tidak terjadi jika tidak ada yang menanam.

Pulang Tidak Selalu Soal Tempat

Kamu tidak harus tinggal selamanya di desa untuk berkontribusi. Kadang cukup dengan terhubung, cukup dengan memberi perhatian. Membantu merancang sistem pemasaran hasil tani, membuat kanal digital untuk promosi wisata, atau sekadar mengajari cara membuat akun media sosial kepada bapak kepala dusun.

Kamu bisa menjadi jembatan antara desa dan dunia. Bukan untuk menjauhkan, tapi untuk mendekatkan. Bukan untuk mengambil lalu melupakan, tapi untuk membawa pulang dan berbagi.

Musim Panen Akan Datang Kembali

Ladang hijau yang terbengkalai masih punya harapan. Asal kamu mau kembali dan memberi waktu. Tak perlu langsung menanam semuanya. Mulailah dengan satu langkah kecil. Dengan satu niat sederhana. Dengan satu semangat yang tidak ingin melihat tanah sendiri menjadi asing.

Musim panen bukan hanya tentang padi yang menguning. Tapi tentang senyum yang kembali. Tentang tangan yang bekerja sama. Tentang suara yang kembali memenuhi jalanan desa. Dan semua itu hanya bisa terjadi jika kamu percaya bahwa desa bukan masa lalu. Tapi masa depan yang layak kamu perjuangkan.*

Tidak ada komentar untuk "Desa Tanpa Anak Muda Seperti Ladang Hijau Tanpa Musim Panen"