DI 2025 Permainan Tradisional Tak Laku, Anak-anak Lebih Suka FF

DI 2025 Permainan Tradisional Tak Laku, Anak-anak Lebih Suka FF
DI 2025 Permainan Tradisional Tak Laku, Anak-anak Lebih Suka FF (Ilustrasi) 

SastraNusa.id - Kamu mungkin pernah melihat anak-anak kecil di gang sempit atau lapangan tanah kosong, dulu, tertawa lepas saat bermain petak umpet. Kamu mungkin pernah ikut main egrang dari bambu atau membuat gundu dari kaca bening yang mengilat di bawah cahaya matahari. Tapi sekarang, suasana itu nyaris punah. Bukan karena tanah lapang hilang atau bambu tak tumbuh lagi, tetapi karena zaman telah memeluk teknologi dan melupakan suara tawa masa lalu.

Pada tahun 2025, anak-anak tak lagi berlari-lari kecil mengejar teman-teman mereka di bawah langit sore. Kini, mereka duduk bersila menatap layar ponsel yang terang menyilaukan. Jari-jari mereka lincah, bukan karena main lompat tali, tetapi karena gesit memencet tombol di layar digital. Salah satu permainan yang paling digandrungi saat ini bernama Free Fire, sebuah game perang virtual yang membuat anak-anak terpaku, seolah hidup dalam dunia kedua.

Tradisi yang Tertinggal di Ujung Gang

Permainan tradisional dulunya menjadi denyut kebahagiaan yang menyatukan anak-anak dari berbagai latar belakang. Tak peduli siapa kamu di rumah, begitu keluar dan berkumpul, permainan seperti bentengan, gobak sodor, hingga engklek menyatukan semua menjadi sahabat. Tapi kini, permainan itu seperti hantu yang terlupakan. Namanya hanya disebut saat pelajaran sejarah atau saat para orang tua nostalgia akan masa kecil mereka.

Bukan hanya permainan itu ditinggalkan, tetapi maknanya pun perlahan pudar. Dulu, permainan mengajarkan kerja sama, sportivitas, hingga keberanian. Sekarang, anak-anak mengenal kompetisi lewat skor digital dan obrolan lewat mikrofon virtual. Mereka tak lagi tahu rasanya menangis karena kalah main kelereng, atau tertawa karena berhasil mengelabui penjaga benteng.

Free Fire dan Dunia yang Digenggam

Free Fire bukan sekadar permainan. Ini adalah semesta kecil yang hidup di genggaman. Anak-anak masuk ke sana bukan hanya untuk bermain, tetapi juga untuk merasa diterima, untuk merasa jadi pahlawan dalam peperangan buatan. Mereka membangun tim, memiliki strategi, bahkan membeli aksesoris digital untuk memperkuat karakter mereka. Dunia nyata jadi tak terlalu penting, karena dunia game memberi identitas yang lebih jelas dan lebih seru.

Kamu mungkin melihat anak kecil yang belum genap usia sepuluh tahun berbicara dengan sangat fasih soal senjata, skin karakter, hingga battle pass. Tapi mereka kesulitan memahami aturan sederhana main petak jongkok atau cara membuat gasing dari kayu. Ini bukan sekadar soal pilihan, tetapi juga arah kehidupan sosial yang digeser oleh teknologi.

Orang Tua yang Terjebak di Tengah

Banyak orang tua kebingungan saat melihat anaknya lebih betah main game daripada bermain di luar rumah. Sebagian merasa ini perkembangan zaman yang tak bisa dilawan. Sebagian lagi mencoba menyeimbangkan, tapi sering gagal. Anak-anak lebih cepat belajar tentang dunia digital daripada orang tuanya, yang tumbuh dengan radio dan televisi.

Tak sedikit yang akhirnya menyerah dan memberikan gadget sebagai pengasuh modern. Mereka berpikir, lebih baik anak diam di rumah daripada main di luar yang dianggap berbahaya. Tapi di saat yang sama, mereka tak sadar bahwa dengan membiarkan permainan tradisional menghilang, mereka juga merampas pengalaman tumbuh yang penuh pelajaran dari dunia nyata.

Sekolah yang Terlambat Menyesuaikan

Sekolah yang seharusnya menjadi penjaga tradisi dan budaya, justru lebih sibuk dengan kurikulum dan ujian. Kegiatan luar kelas yang memperkenalkan permainan tradisional menjadi acara tahunan yang langka. Anak-anak lebih mengenal istilah kuis daring daripada lomba bakiak. Mereka lebih bangga dengan ranking online daripada mampu membuat layang-layang sendiri.

Padahal, permainan tradisional tak kalah menarik bila dikenalkan dengan cara yang tepat. Mereka bisa diajarkan dengan pendekatan kreatif, bahkan menggunakan teknologi agar tetap relevan. Tapi sayangnya, kebanyakan institusi pendidikan belum menempatkan budaya sebagai inti dari pendidikan karakter.

Budaya yang Luntur Perlahan

Apa yang terjadi ketika anak-anak tidak lagi mengenal permainan tradisional adalah lunturnya budaya dari akar paling kecil. Karena permainan bukan sekadar hiburan, tetapi juga bentuk ekspresi dari nilai-nilai lokal. Di dalam permainan tradisional tersembunyi filosofi hidup yang diajarkan secara alami tanpa buku teks.

Ketika anak tak lagi tahu cara bermain congklak atau dakon, maka dia kehilangan satu bentuk komunikasi budaya. Dia tidak tahu bahwa permainan itu mengajarkan perhitungan, strategi, dan kesabaran. Ketika dia tidak lagi mendengar cerita dari permainan zaman dulu, maka dia tumbuh dalam budaya yang kosong dan hanya diisi oleh narasi-narasi dari dunia maya.

Haruskah Menyalahkan Game Seperti Free Fire

Pertanyaan ini sulit dijawab, karena Free Fire bukan musuh. Game ini hanya cerminan dari apa yang diinginkan anak-anak di masa sekarang. Seru, cepat, penuh aksi, dan bisa dimainkan kapan saja. Yang harus jadi perhatian adalah bagaimana menempatkan game dalam posisi yang seimbang dalam kehidupan anak.

Kamu tak bisa melarang begitu saja, karena dunia mereka telah berubah. Tapi kamu bisa mulai memperkenalkan kembali kesenangan sederhana dari permainan tradisional. Buat mereka merasakan bahwa di balik permainan dari tanah dan bambu, ada kegembiraan yang tak kalah nyata dari dunia digital.

Menyalakan Kembali Api yang Redup

Bukan hal mustahil untuk menghidupkan kembali permainan tradisional. Dibutuhkan kreativitas dan kemauan dari banyak pihak. Komunitas lokal bisa mengadakan lomba tradisional dengan sentuhan modern. Sekolah bisa menjadikan permainan lokal sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler. Orang tua bisa menyisipkan cerita tentang masa kecil yang menginspirasi.

Kamu juga bisa mulai dari hal kecil. Ajak keponakanmu bermain karet gelang, atau ajarkan tetanggamu membuat kapal dari pelepah pisang. Kadang, hal paling kecil bisa menumbuhkan rasa ingin tahu yang besar. Dan dari rasa itu, perlahan, budaya yang nyaris tenggelam bisa kembali mengapung di permukaan kehidupan anak-anak masa kini.

Akhir yang Belum Ditentukan

Tahun 2025 memang membawa perubahan besar dalam cara bermain anak-anak. Tapi perubahan bukanlah akhir. Kamu masih punya waktu untuk menyelipkan kembali keceriaan dari permainan tradisional dalam hari-hari mereka. Tak harus memaksa atau menyalahkan teknologi. Cukup dengan menunjukkan bahwa dunia nyata pun punya keajaiban yang tak kalah hebat dari layar ponsel.

Karena di balik satu benteng dari kardus, atau satu gundu yang berputar, ada harapan bahwa budaya tidak benar-benar mati. Hanya tertidur, menunggu kamu membangunkannya kembali.

 

Tags:
TRADISI
Link copied to clipboard.