DI Jawa Tradisi Unggah-Ungguh Terpinggirkan, Benarkah?
![]() |
Ilustrasi dI Jawa Tradisi Unggah-Ungguh /Pixabay/Ashukueke |
SastraNusa.id - Di balik tiap gerak tubuh, intonasi suara, bahkan pilihan kata dalam berkomunikasi, masyarakat Jawa memiliki satu fondasi utama, yakni unggah-ungguh. Ini bukan sekadar tata krama biasa, melainkan sistem nilai yang kompleks, penuh lapisan makna, dan mengakar dalam sejarah panjang kebudayaan. Dalam unggah-ungguh, ada pengakuan terhadap hirarki sosial, usia, dan kedekatan emosional. Cara duduk di hadapan orang tua, intonasi berbicara kepada tetua, hingga sebutan sapaan untuk anak-anak hingga bangsawan, semua diatur dalam sistem yang nyaris tak tertulis, namun tetap hidup di benak mereka yang menjunjungnya.
Namun, unggah-ungguh bukan hanya perkara bentuk luar. Ia adalah ekspresi dari penghormatan, pengendalian diri, dan kesadaran sosial. Ia bukan topeng, tapi cermin. Cermin bagaimana seseorang melihat dan menempatkan diri dalam masyarakatnya.
Tanda-Tanda Retaknya Kesantunan Tradisional
Dalam dua dekade terakhir, geliat perubahan itu terasa makin kencang. Banyak yang menyadari, terutama di wilayah urban dan semi-urban, nilai-nilai unggah-ungguh mulai digeser oleh pola komunikasi yang lebih lugas, spontan, dan kadang tanpa tedeng aling-aling. Ucapan seperti “halo bro”, “nggak usah repot-repot”, atau “santai wae” kini tak lagi mengenal batas usia atau posisi sosial. Kebebasan berekspresi menjelma jadi identitas baru yang terasa lebih praktis dan setara, namun juga kadang mengikis kepekaan budaya yang diwariskan turun-temurun.
Media sosial pun turut mempercepat transformasi ini. Dalam dunia digital, setiap orang memiliki panggungnya sendiri. Tidak ada atasan atau bawahan, tua atau muda. Semua sejajar di balik layar. Akibatnya, gaya komunikasi yang kerap mengabaikan struktur unggah-ungguh menjadi hal yang lumrah. Bahkan, ketika terjadi perbedaan pandangan, ekspresi frontal dan debat terbuka lebih dianggap jujur daripada menyampaikan ketidaksetujuan dengan bahasa alus nan melingkar-lingkar seperti tradisi Jawa yang asli.
Generasi Baru, Wajah Baru Kesopanan
Sebagian pengamat sosial, menilai bahwa apa yang tampak sebagai kemerosotan unggah-ungguh sebetulnya adalah proses adaptasi. Generasi muda tak serta-merta meninggalkan sopan santun, tapi memaknai ulang apa itu kesopanan dalam konteks hari ini. Bagi mereka, menatap mata lawan bicara adalah tanda kejujuran, bukan ketidaksopanan. Menyampaikan kritik secara langsung dianggap lebih menghargai daripada menyimpannya dalam diam.
Hal ini juga tak lepas dari sistem pendidikan dan pengasuhan yang mulai menekankan kesetaraan dan keberanian menyuarakan pendapat. Sekolah, media, hingga lingkungan pertemanan membentuk norma baru, yaitu kesopanan tidak lagi diukur dari basa-basi yang panjang atau bahasa kromo yang berlapis-lapis, tapi dari sikap respek yang ditunjukkan lewat aksi nyata.
Perubahan yang Tak Selalu Negatif
Mudah sekali menuding bahwa generasi sekarang telah melupakan unggah-ungguh. Namun, itu hanya satu sisi cerita. Di sisi lain, ada upaya sadar dari sebagian anak muda untuk merawat bentuk-bentuk baru kesantunan. Mereka memilih untuk tetap menyapa orang tua dengan panggilan yang sopan, meski tanpa bahasa kromo inggil. Mereka duduk bersila di hadapan sesepuh, walau tak sepenuhnya mengikuti ritual adat.
Di berbagai komunitas, mulai muncul gerakan yang menghidupkan kembali kearifan lokal, termasuk unggah-ungguh. Tidak sedikit konten edukatif yang mengajarkan bahasa Jawa halus, etika sopan santun, bahkan simulasi interaksi formal dalam konteks Jawa. Semua itu adalah bentuk penghormatan terhadap akar budaya, dengan kemasan yang bisa diterima generasi digital.
Dua Dunia yang Bisa Berdampingan
Unggah-ungguh mungkin tak lagi tampil dalam bentuk utuh seperti dahulu. Tapi bukan berarti ia punah. Ia hanya berubah bentuk, menyesuaikan diri, dan mencari ruang baru untuk bertahan. Yang perlu dicari bukanlah bagaimana mengembalikan unggah-ungguh ke zaman dulu, tapi bagaimana merajutnya dengan nilai-nilai kekinian.
Kesopanan ala Jawa tetap relevan, selama ada kesadaran untuk menempatkan diri dengan tepat. Tidak semua harus ditiru persis, tapi nilai-nilai dasarnya bisa dihidupkan dalam interaksi sehari-hari. Dalam dunia yang makin terbuka dan cepat berubah, unggah-ungguh tetap bisa jadi jangkar. Ia mengingatkan bahwa di balik semua kebebasan berbicara, ada tanggung jawab sosial yang tak boleh hilang.
Tradisi unggah-ungguh tak sedang mati. Ia hanya menepi, memberi ruang bagi ekspresi yang lebih bebas. Tapi selama masih ada yang percaya bahwa hormat tak selalu harus kaku, dan sopan tak selalu harus rumit, maka tradisi ini masih punya masa depan. Perubahan tak harus dimaknai sebagai kemunduran, karena bisa jadi wujud dari kebijaksanaan baru yang sedang tumbuh dalam sunyi.*
Disclaimer: Tulisan ini disusun untuk menggambarkan fenomena sosial yang berkembang di masyarakat Jawa terkait tradisi unggah-ungguh atau tata krama. Semua pendapat dan sudut pandang di sini bersifat reflektif dan tidak ditujukan untuk menggeneralisasi seluruh kelompok atau individu.