Kenapa Orang Dulu Melarang Makan Dekat Pintu?

Kenapa Orang Dulu Melarang Makan Dekat Pintu?
 Kenapa Orang Dulu Melarang Makan Dekat Pintu? (Ilustrasi)

SastraNusa.id - Kamu mungkin pernah ditegur oleh orang tua saat duduk sambil makan di dekat pintu. Tegurannya mungkin terdengar seperti peringatan tanpa alasan. Kadang disampaikan dengan nada tinggi seolah yang kamu lakukan adalah sebuah dosa besar. Padahal kamu hanya duduk di ambang pintu sambil menikmati sesuap nasi dan sepotong tempe goreng. Lalu mengapa larangan itu begitu kuat tertanam dalam kebiasaan lama.

Orang tua zaman dulu tidak sembarangan melempar larangan. Mereka percaya bahwa setiap sudut rumah memiliki nilai dan fungsinya masing-masing. Pintu adalah ruang peralihan. Pintu adalah tempat keluar dan masuknya manusia. Maka makan di dekat pintu dianggap tidak pantas. Bukan sekadar karena tidak sopan, tapi juga karena bisa membawa gangguan yang tidak kasat mata.

Gerbang Energi dan Perjalanan

Pintu bukan hanya benda kayu atau besi yang terbuka dan tertutup. Dalam pandangan orang zaman dulu, pintu adalah gerbang. Di situlah terjadi pertemuan antara dua dunia, antara dalam dan luar, antara aman dan rawan, antara rumah dan jalanan. Maka ketika kamu makan di situ, energi dari dua arah bisa saling berbenturan. Rezeki yang masuk bisa terganggu. Nikmat yang kamu santap bisa berubah menjadi sumber penyakit atau kesialan.

Pintu adalah tempat yang tidak menetap. Orang lalu lalang keluar masuk setiap waktu. Bayangkan kamu sedang makan dan seseorang lewat. Mungkin dia membawa kabar buruk. Mungkin dia membawa energi lelah atau marah dari luar rumah. Ketika kamu menyantap makanan di tempat itu, maka percampuran antara makanan dan suasana hati orang yang lewat bisa membentuk situasi yang tidak sehat. Bukan karena mistis, tapi karena suasana yang tidak tenang.

Sinyal Bahaya dari Zaman Leluhur

Dahulu kala, makan adalah momen sakral. Tidak bisa dilakukan sembarangan. Apalagi di dekat pintu yang dalam pandangan spiritual adalah tempat lewatnya arwah orang mati atau makhluk gaib. Bila kamu duduk makan di situ, maka kamu membuka kesempatan bagi sesuatu yang tidak diundang untuk ikut menikmati rezeki. Kamu mungkin tidak sadar, tapi dalam tradisi tertentu itu bisa membuat penghuni rumah sakit atau celaka.

Larangan makan di dekat pintu juga berakar pada kehidupan masyarakat agraris yang sangat menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Mereka percaya bahwa posisi makan bisa memengaruhi keselamatan. Jika kamu duduk di tempat yang salah, maka kamu bisa mengundang gangguan, baik yang kasat mata maupun yang tidak. Karena itu, mereka mewanti-wanti anak-anaknya untuk tidak sembrono, apalagi saat makan.

Mengganggu Alur Rumah Tangga

Selain nilai-nilai spiritual, larangan ini juga berkaitan erat dengan nilai praktis. Pintu adalah jalur utama. Orang keluar masuk dari situ. Bila kamu duduk makan di dekatnya, maka alur pergerakan akan terganggu. Orang yang hendak lewat harus menghindar. Kadang harus melangkahi. Itu bukan hanya tidak sopan, tapi juga bisa membuat makananmu jatuh atau tubuhmu tersenggol.

Dalam rumah yang sempit, terutama rumah-rumah di kampung atau di desa lama, posisi duduk sangat menentukan kenyamanan bersama. Jika kamu duduk di pintu, maka itu akan menyulitkan orang lain. Maka larangan ini menjadi bagian dari pelajaran hidup agar kamu tidak egois. Supaya kamu tahu bahwa kenyamananmu tidak boleh mengganggu kelancaran orang lain.

Tanda Bahwa Kamu Tidak Fokus Menikmati

Makan di dekat pintu dianggap sebagai pertanda bahwa kamu tidak sungguh-sungguh menikmati makananmu. Kamu tampak seperti orang yang terburu-buru, seperti hendak lari dari rumah. Ini memberi kesan bahwa kamu tidak bersyukur. Tidak menghargai makanan yang ada di tanganmu. Dalam budaya lama, makanan dianggap berkah. Maka harus dinikmati dengan penuh rasa syukur dan konsentrasi.

Bila kamu makan di dekat pintu, kamu bisa dengan mudah terganggu oleh suara dari luar. Ada motor lewat. Ada orang berseru. Ada anak kecil menangis. Maka suasana makanmu tidak akan khidmat. Kamu akan makan sambil celingukan. Kadang tak sadar menggigit sambil berdiri. Itu semua dipandang sebagai kebiasaan buruk yang mencerminkan ketidaksungguhan dalam menjalani kehidupan.

Mengundang Pengaruh yang Tidak Diinginkan

Orang tua zaman dulu sering menyebut makan di dekat pintu bisa membuat jodohmu susah datang. Mungkin terdengar seperti mitos, tapi ini sebenarnya cara halus untuk menegur anak muda agar tidak sembrono. Karena dalam banyak budaya, duduk di pintu adalah simbol dari orang yang tidak menetap, orang yang selalu ragu dan tidak punya tempat pasti. Maka jika kamu membiasakan makan di situ, kamu bisa dicap sebagai pribadi yang tidak punya kepastian.

Duduk di pintu juga disebut bisa mengundang gangguan. Mulai dari masuk angin hingga rezeki yang terhambat. Karena pintu dianggap sebagai tempat keluar masuknya berkah, maka kamu yang menghalangi alurnya akan dianggap menutup jalan. Dalam pemikiran ini, bukan pintunya yang salah, tapi posisimu yang salah. Maka kamu harus tahu di mana kamu harus duduk dan di mana kamu harus menjauh.

Pelajaran dari Sopan Santun yang Mendalam

Kalau kamu berpikir semua ini hanya omong kosong, maka kamu mungkin belum melihat dampaknya dari sisi perilaku. Anak yang dibiarkan makan di pintu cenderung akan makan di tempat sembarangan. Hari ini di pintu, besok di teras, besoknya lagi di dekat tong sampah. Maka larangan ini adalah pembatas agar kamu tahu bahwa makan adalah kegiatan yang layak dilakukan di tempat yang layak.

Dalam rumah tangga yang penuh aturan, duduk makan di meja atau tikar dengan tertib adalah bagian dari pendidikan karakter. Kamu diajarkan untuk bersikap tenang. Untuk menghormati makanan. Untuk menghargai kebersamaan. Maka larangan makan di pintu bukan berarti kamu tidak boleh dekat cahaya atau udara, tapi supaya kamu tahu bahwa semua ada tempatnya.

Memaknai Kembali Tradisi Lama

Hari ini kamu bisa makan di mana saja. Di mobil. Di tangga. Di kasur. Tapi mungkin kamu kehilangan rasa hormat terhadap makanan. Kamu makan sambil bermain gawai. Sambil menonton video pendek. Sambil membalas pesan. Maka tidak heran jika makanan terasa hambar. Jika kamu tidak merasa kenyang walau sudah makan berkali-kali. Karena bukan perutmu yang lapar, tapi jiwamu yang tak diberi jeda.

Mungkin larangan makan di pintu bisa kamu pahami sebagai simbol untuk memberi ruang pada dirimu. Untuk berhenti sejenak. Untuk menikmati rezeki dengan sadar. Untuk hadir sepenuhnya dalam momen itu. Supaya kamu tidak hanya makan untuk hidup, tapi juga hidup dengan penuh rasa hormat.

Makan dengan Sadar adalah Bentuk Syukur

Kamu tidak akan ditimpa sial hanya karena makan di pintu. Tapi kamu akan kehilangan makna jika mengabaikan kebiasaan baik dari generasi terdahulu. Mereka bukan menakut-nakuti, tapi mengajarkan tata cara hidup yang lebih seimbang. Kamu yang menghargai tempat makanmu pasti juga akan lebih bijak dalam menghadapi hidup.

Ini bukan tentangb rasa, melainkan tentang sikap. Bila kamu makan di tempat yang benar, dengan hati yang tenang dan pikiran yang hadir, maka makanan itu akan memberi energi, bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk jiwamu. Dan mungkin itulah yang sejak dulu ingin disampaikan oleh para orang tua ketika melarangmu makan di dekat pintu.*

Link copied to clipboard.