Sedekah Bumi Jawa Vs Madura, Mana yang Lebih Sakral?

Sedekah Bumi Jawa Vs Madura, Mana yang Lebih Sakral?
Ilustrasi makan bersama di perasaan sedekah bumi/Pixabay?KhoirullMaarif

SastraNusa.id - Bayangkan sebuah pagi yang masih basah oleh embun, sawah yang baru dipanen, dan masyarakat desa berkumpul dalam satu niat, yaitu, memberi kembali kepada bumi. 

Di tengah berbagai perkembangan zaman, tradisi seperti ini justru menjadi pengingat bahwa hidup bukan hanya soal ambisi, tapi juga soal harmoni dengan alam.

Di banyak daerah di Indonesia, khususnya Jawa dan Madura, sedekah bumi masih terus dilakukan. Tapi tahukah kamu, meski memiliki nama yang sama, sedekah bumi di Jawa dan Madura ternyata menyimpan perbedaan yang menarik? Dari makna, pelaksanaan, dan hingga simbolisme.  Diketahui bahwa bakeduanya, punya cara unik dalam menyampaikan rasa syukur kepada bumi.

Filosofi di Balik Tradisi

Sedekah bumi bukan sekadar ritual tahunan. Pasalnya tradisi yang satu ini, merupakan bentuk komunikasi antara manusia dengan alam semesta. 

Di tanah Jawa, sedekah bumi biasanya dilakukan setelah panen raya. Masyarakat percaya, bahwa bumi telah memberi hasil yang berlimpah, dan sudah sepantasnya diberi balasan, meskipun hanya berupa makanan dan doa.

Sementara di Madura, sedekah bumi seringkali dirangkai dalam bentuk ritual yang lebih spiritual. Hal itu, dikarenakan dda keyakinan bahwa bumi bukan sekadar benda mati, tapi memiliki jiwa. 

Dalam pandangan masyarakat Madura, hubungan antara manusia dan alam bersifat lebih sakral, bahkan kadang menyatu dengan praktik-praktik keagamaan dan kepercayaan lokal.

Cara Jawa Merayakan Sedekah Bumi

Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedekah bumi biasanya diadakan di balai desa atau tanah lapang. Kamu akan menemukan tumpeng raksasa, lengkap dengan lauk-pauk hasil bumi seperti jagung, ketela, kacang, dan ayam. 

Semuanya dibawa oleh warga dari rumah masing-masing. Tidak ada satu tangan yang lebih tinggi dari yang lain. Semua memberi, semua merasakan kebersamaan.

Setelah doa bersama, makanan akan dibagikan. Di beberapa desa, ada pula pertunjukan wayang kulit, reog, atau kuda lumping. Ini bukan hiburan biasa. Setiap gerak dan lakon adalah pesan moral. Para dalang menyelipkan nasihat tentang pentingnya menjaga alam, menghormati leluhur, dan hidup dalam gotong royong.

Bagi kamu yang pernah ikut, pasti merasakan suasana yang hangat dan bersahaja. Sedekah bumi versi Jawa tak hanya merawat tradisi, tapi juga menjadi ruang sosial yang menguatkan ikatan antar warga.

Madura dan Kesakralan Bumi

Di Madura, sedekah bumi tidak digelar di balai desa atau lapangan luas. Ia berlangsung dalam ruang yang lebih pribadi, seperti halaman rumah, teras, bahkan sering digelar di ruang tamu. Khususnya rumah yang baru selesai dibangun, pasti akan menggelar ritual sedekah bumi. Tradisi ini bukan sekadar seremoni, tapi ungkapan permisi dan terima kasih kepada bumi yang telah sudi menjadi tempat berpijak.

Ritual biasanya dipimpin oleh seorang kiyai sepuh. Bukan tokoh sembarangan, ia dikenal sebagai orang yang memahami jalur gaib dan jalur lahiriah sekaligus. Doanya tidak hanya ditujukan kepada Yang Maha Kuasa, tapi juga kepada penjaga alam yang dipercaya ikut mengawasi setiap jengkal tanah.

Di halaman rumah, tikar digelar sebagai altar sederhana. Di atasnya, nasi tumpeng putih berdiri sebagai pusat. Di sekelilingnya, ada ketan hitam, ikan asin, dan ayam kampung. 

Makanan ini disiapkan bukan untuk tamu, melainkan untuk menjadi simbol permohonan keselamatan. Ia menjadi bahasa yang tidak diucapkan, tapi dimengerti oleh siapa pun yang percaya bahwa alam punya caranya sendiri untuk merespons.

Satu hal yang khas dari sedekah bumi di Madura adalah hadirnya buah-buahan yang ditanam sebagian ke dalam tanah. Tidak ada kembang tujuh rupa, tidak ada air kembang. 

Yang ada justru hasil bumi yang dikembalikan ke bumi. Ketela, singkong, ubi, dan lainnya akan tersedia mengelilingi tumpeng yang telah ditaburi ketan hitam.

Tetangga dan kerabat datang dengan niat baik. Mereka tidak hanya membawa makanan tambahan, tapi juga membawa doa. Suasananya tidak megah, tapi hangat. Tidak meriah, tapi khidmat. 

Di sinilah kamu bisa melihat bahwa tradisi ini bukan tentang besar atau kecilnya acara, tapi tentang ketulusan menghormati tempat tinggal yang akan dihuni.

Bagi masyarakat Madura, rumah baru bukan cuma bangunan. Ia harus dikenalkan pada tanah tempatnya berdiri. Sedekah bumi menjadi cara untuk menciptakan hubungan antara manusia, rumah, dan alam. 

Bila itu tidak dilakukan, banyak yang percaya penghuni rumah bisa mengalami kesulitan seperti rezeki seret, sering sakit, atau suasana rumah yang tak pernah tenteram.

Di balik setiap nasi tumpeng, setiap doa yang dibacakan, dan setiap buah yang dikembalikan ke tanah, ada pesan yang kuat, seolah ada yang berkata, "jangan remehkan bumi". 

Transformasi dalam Era Modern

Zaman bergerak cepat, dan tradisi kadang tertinggal. Tapi tidak dengan sedekah bumi. Di banyak desa Jawa, sedekah bumi kini digabung dengan festival budaya.

Contohnya memasak tumpeng, pameran hasil tani, dan pentas seni anak-anak. Mungkin lebih modern, tapi esensinya tetap sama yaitu bersyukur.

Bumi yang Dihormati, Bumi yang Memberi

Dalam banyak hal, sedekah bumi adalah pelajaran tentang timbal balik. Alam memberi, manusia membalas. 

Di Jawa, bentuknya lebih meriah dan terbuka. Di Madura, lebih sakral dan tertutup. Tapi pesan dasarnya sama, yaitu, jangan serakah pada bumi, dan jangan lupa berterima kasih.

Kalau kamu sempat merenung setelah membaca ini, mungkin kamu akan bertanya, berapa kali dalam setahun kamu benar-benar bersyukur atas tanah yang diinjak? Air yang diminum? Udara yang dihirup?

Tradisi, bagaimanapun bentuknya, adalah pengingat. Selama kamu masih bisa mendengar suara gong, langkah kaki penari, atau bisikan doa di ladang, selama itu pula bumi tahu bahwa kamu belum lupa.(*)

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama