Telisik Tradisi Megengan di Surabaya yang Masih Eksis Hingga Sekarang
![]() |
Telisik Tradisi Megengan di Surabaya yang Masih Eksis Hingga Sekarang (Ilustrasi) |
SastraNusa.id, Surabaya - Sore itu, langit Surabaya mendung. Suara takbir belum terdengar, namun suasana Ramadan sudah mulai terasa. Warga keluar dari rumah membawa rantang, plastik besar, dan nampan berisi aneka makanan. Di ujung gang, meja-meja panjang disusun berjejer. Tak butuh waktu lama, makanan dari setiap rumah mulai ditata di atasnya.
Inilah Megengan. Sebuah tradisi lawas yang masih bertahan di tengah riuh modernisasi kota. Di tempat lain mungkin mulai dilupakan, tapi di Surabaya, tradisi ini tetap dijaga seperti warisan berharga yang tak boleh hilang.
Megengan bukan sekadar makan bersama. Tradisi ini menyimpan makna mendalam tentang syukur, kebersamaan, dan persiapan menyambut bulan suci.
Asal Usul Megengan
Tradisi Megengan memiliki akar budaya yang panjang. Kata Megengan sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu "megeng" yang berarti menahan. Makna ini sangat selaras dengan inti dari ibadah puasa, yakni menahan diri dari segala hawa nafsu.
Secara historis, Megengan telah dilakukan oleh masyarakat Jawa sejak masa kerajaan. Tradisi ini menjadi bentuk penghormatan terhadap datangnya Ramadan, sekaligus doa agar ibadah bisa dijalani dengan lancar. Dalam praktiknya, masyarakat membawa makanan untuk didoakan bersama, lalu disantap beramai-ramai.
Di Surabaya, Megengan berkembang dengan ciri khasnya sendiri. Setiap wilayah memiliki cara pelaksanaan yang berbeda, tetapi inti utamanya tetap sama yaitu menjalin silaturahmi dan berbagi kebahagiaan menyambut Ramadan.
Makanan Khas dalam Megengan
![]() |
Makanan di tradisi Megengan (Ilustrasi) |
Salah satu hal yang tak bisa dilepaskan dari Megengan adalah beragam jenis makanan yang disajikan. Di atas meja, kamu bisa menemukan tumpeng kecil, ketan, apem, wajik, hingga lemper. Makanan-makanan ini tidak dipilih secara sembarangan karena masing-masing memiliki filosofi tersendiri.
Apem, misalnya, menjadi simbol permohonan maaf. Dalam pelafalan Jawa, apem mirip dengan "afwan" yang berarti maaf. Ketan dan wajik menggambarkan harapan agar sesama tetap lengket atau erat dalam hubungan sosial. Tumpeng melambangkan permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keselamatan selama Ramadan.
Selain makanan tradisional, warga juga mulai menambahkan menu kekinian seperti donat, puding, dan ayam goreng. Perpaduan ini mencerminkan semangat adaptasi tanpa melupakan akar budaya.
Ritual dan Doa Bersama
Megengan bukan hanya soal makan-makan. Di banyak tempat di Surabaya, kegiatan ini diawali dengan doa bersama. Biasanya dipimpin oleh tokoh agama atau sesepuh kampung. Doa tersebut berisi permohonan ampun, keselamatan, serta kelancaran menjalani ibadah puasa.
Setelah doa, makanan yang dibawa akan dibagikan merata kepada seluruh warga. Tidak ada sekat status sosial. Semua mendapatkan bagian yang sama. Anak-anak hingga lansia duduk bersama dalam suasana yang hangat dan akrab.
Tradisi ini bukan sekadar seremonial. Di baliknya tersimpan pesan sosial yang kuat, yaitu tentang pentingnya berbagi dan menyambung tali silaturahmi.
Eksistensi di Tengah Perubahan Zaman
Surabaya dikenal sebagai kota besar yang terus tumbuh. Gaya hidup masyarakatnya pun ikut berubah. Namun, tradisi seperti Megengan tetap bertahan. Bahkan di beberapa tempat, Megengan dijadikan agenda tahunan resmi kelurahan atau RW.
Salah satu faktor yang membuat Megengan masih eksis adalah peran aktif tokoh masyarakat dan pemuda setempat. Mereka menjadi penggerak yang memastikan tradisi ini tidak tergerus waktu. Mulai dari membuat undangan, mengoordinasikan logistik, hingga mendokumentasikan kegiatan melalui media sosial.
Megengan kini bukan hanya kegiatan religius dan kultural. Ia juga menjadi ajang memperkuat identitas lokal di tengah arus globalisasi. Di beberapa lingkungan, Megengan juga dikemas dengan kegiatan seni seperti hadrah, rebana, atau pembacaan puisi Islami.
Peran Generasi Muda
Dulu, Megengan identik dengan orang tua. Namun belakangan ini, anak muda mulai aktif terlibat. Mereka menjadi tim kreatif yang menyulap Megengan menjadi acara yang lebih segar dan menarik. Dari desain poster, video dokumentasi, hingga live streaming, semua dilakukan dengan semangat kolaborasi.
Partisipasi generasi muda ini menjadi angin segar bagi kelangsungan Megengan. Sebab, tradisi tidak akan bertahan jika tidak diwariskan. Dan Megengan terbukti mampu menjembatani lintas generasi lewat ruang kebersamaan yang inklusif.
Megengan sebagai Cermin Budaya
![]() |
Beberapa orang ngobrol tentang Tradisi Megengan (Ilustrasi) |
Tradisi Megengan mencerminkan kekayaan budaya lokal yang berpadu dengan nilai spiritualitas. Ia mengajarkan banyak hal dalam satu waktu. Tentang rasa syukur, pentingnya memaafkan, nilai berbagi, dan kesadaran kolektif sebagai komunitas.
Di tengah dunia yang serba cepat dan individualis, Megengan hadir sebagai pengingat. Bahwa hidup yang baik bukan hanya tentang pencapaian pribadi, tetapi juga tentang keterlibatan sosial dan kedekatan dengan lingkungan.
Harapan dan Kelestarian Tradisi
Meskipun Megengan masih eksis, tantangan tetap ada. Kesibukan warga, tekanan ekonomi, hingga kurangnya perhatian dari pihak luar membuat tradisi ini berisiko meredup. Namun selama masih ada kepedulian dari masyarakat akar rumput, Megengan akan terus hidup.
Penting untuk terus menghidupkan Megengan dengan pendekatan yang relevan. Tidak melulu harus besar dan mewah. Yang terpenting adalah semangatnya tetap utuh. Selama warga masih mau berkumpul, berbagi, dan berdoa bersama, Megengan akan selalu punya tempat di hati masyarakat Surabaya.
Megengan bukan sekadar tradisi menyambut Ramadan. Ia adalah warisan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur. Dari makanan yang disajikan hingga doa yang dipanjatkan, semuanya menjadi simbol kekuatan komunitas.
Di Surabaya, Megengan bukan hanya masa lalu. Ia adalah bagian dari hari ini dan harapan untuk masa depan. Maka, menjaga tradisi ini sama dengan menjaga jati diri sebagai bagian dari masyarakat yang menghargai sejarah dan menjunjung nilai kebersamaan.***