Tiga Tari dari Teater Kali MTs Tarbiyatus Sa’adah Siwalan Gresik Guncang Kabud Senja ke 3
Penampilan Memukau dari Teater Kali/SastraNusa.id/Fauzi
SastraNusa.id, Gresik - Tidak semua malam Kamis berakhir dengan tenang. Ada malam seperti 22 Mei 2025 yang justru mengguncang panggung, memecah tawa penonton, membungkam kesombongan dewasa, dan menyingkap potensi yang selama ini tersembunyi. Panggung Kabud Senja ke-3 menjadi saksi ketika Teater Kali dari MTs Tarbiyatus Sa’adah Siwalan Gresik tidak sekadar tampil, tapi meletakkan jantungnya di hadapan semua orang.
Tiga tari dari mereka justru mengajarkan, bahwa tubuh bisa
berkata lebih banyak dari mulut. Gerakan bisa menyentuh lebih dalam dari
kalimat. Dan usia bukan penentu tajamnya rasa. Tak ada efek mewah. Tak ada
kemegahan produksi. Tapi justru karena itulah, setiap gerakan terasa lebih
jujur. Seolah tubuh-tubuh muda itu tidak sedang mencari tepuk tangan, melainkan
sedang memanggil ingatan dan rasa yang mungkin telah lama kamu pendam.
Rindu yang Tidak Pernah Pulang
Tarian pertama datang perlahan. Tak ada aba-aba. Tak ada
dentuman pembuka. Musik gamelan terdengar seperti dibisikkan dari masa lalu
yang jauh. Tubuh-tubuh di panggung mulai bergerak seolah mereka berjalan di atas
kenangan. Gerakan mereka tidak tergesa, tidak juga malas. Tapi seperti diatur
oleh sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri.
Kamu akan merasakan udara berubah saat tarian berlangsung.
Rasanya seperti melihat seseorang yang menunggu namun tahu bahwa yang ditunggu
tidak akan kembali. Rindu dalam tarian ini tidak histeris. Ia halus. Ia
menggurat dalam. Dan kamu sebagai penonton tidak diberi jarak. Kamu dibawa
masuk. Dipeluk oleh kehilangan yang sunyi.
Ketika musik berhenti, tubuh-tubuh itu diam. Hening
menyergap. Penonton pun diam. Bukan karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana,
tetapi karena sedang menahan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Tarian ini
bukan pertunjukan. Namun surat yang dibaca dengan tubuh. Dan kamu hanya bisa
mendengarnya dengan rasa, lalu akan mengingat masa lampau.
Luka yang Menari di Tengah Badai
Tarian kedua seolah menjungkirbalikkan suasana. Jika
sebelumnya kamu diajak tenggelam dalam rindu, kali ini kamu dihentak oleh luka.
Musik berubah menjadi lebih cepat. Gerakan mulai tak tertebak. Tubuh-tubuh itu
berputar, merunduk, terhempas dan bangkit. Semuanya seperti digerakkan oleh
amarah yang ditahan terlalu lama.
Namun tarian ini tidak menyampaikan kemarahan dengan bising.
Ia justru menyampaikannya dengan cara yang paling sunyi. Tubuh menjadi medan
perlawanan. Gerakan menjadi bahasa yang tidak butuh terjemahan. Kamu bisa
melihat bagaimana para penari mencoba melawan sesuatu. Tapi kamu tidak tahu
apa. Justru ketidaktahuan itu yang membuat tarian ini terus mengganggumu,
bahkan setelah lampu mati.
Di bagian akhir, tubuh-tubuh itu terlihat kelelahan. Bukan
karena tenaga habis. Tapi karena beban dalam jiwa yang terlalu lama dipanggul.
Penonton yang menyaksikan bukan hanya menatap. Mereka menyerap. Bahkan sebagian
memalingkan wajah, karena tidak tahan melihat luka yang ditampilkan tanpa
topeng.
Langit yang Menyimpan Mata
Tarian ketiga adalah penutup yang tidak menawarkan pelipur.
Jika dua tarian sebelumnya masih memberimu celah untuk bernapas, yang ini
justru seperti menempatkanmu di ruang gelap dan meminta kamu mendengarkan
keheningan. Musik gamelan kali ini terdengar seperti doa. Gerakan menjadi
lambat, nyaris seperti mimpi. Tidak ada senyum. Tidak ada amarah. Hanya
kekosongan yang lembut.
Tarian ini tidak punya pusat. Semua tubuh bergerak seperti ditiup angin. Kadang bergerak bersamaan. Kadang berpencar seperti daun gugur. Tapi tidak pernah kehilangan arah. Meskipun terlihat sunyi, sebenarnya tarian ini penuh bunyi. Bukan bunyi dari luar, tapi bunyi dari dalam. Kamu bisa mendengar suara napas. Suara jantung. Suara langkah yang menapak seperti zikir.
Yang paling menyesakkan adalah bagian ketika tubuh-tubuh itu
mendongak, menatap langit yang tidak ada di atas mereka. Seolah sedang mencari
mata yang pernah menatap mereka tapi kini entah di mana. Kamu tidak akan paham
sepenuhnya apa maksud tarian ini. Tapi kamu akan tersentuh oleh sesuatu yang
tidak bisa disebut. Dan justru karena itu, tarian ini akan tinggal lebih lama
di ingatanmu.
Bukan Tentang Hebatnya Penampilan, Tapi Ketajaman Rasa
Tiga tarian dari Teater Kali bukan pertunjukan biasa. Mereka
menampilkan tubuh, tapi sesungguhnya yang dipertontonkan adalah perasaan. Tak
satu pun gerakan yang dibiarkan tanpa makna. Semuanya dirajut dari malam-malam
latihan yang tidak mewah, dari ruang kecil yang dipenuhi niat besar. Dari
keringat yang jatuh tanpa kamera, dan semangat yang tumbuh tanpa tepuk tangan.
Malam itu, Kabud Senja tidak hanya dipenuhi penonton. Iya
betul, juga dipenuhi kesadaran baru. Bahwa panggung tidak lagi dimonopoli yang
tua. Bahwa ekspresi tak mengenal jenjang pendidikan. Bahwa keindahan bisa
tumbuh dari tanah yang selama ini diabaikan. Teater Kali datang tidak untuk
pamer. Mereka datang untuk menunjukkan bahwa remaja pun bisa memeluk rasa
dengan kekuatan penuh.
Kamu mungkin datang dengan niat menonton. Tapi kamu akan pulang
dengan tubuh yang berbeda. Karena ada sesuatu dalam tarian mereka yang tinggal.
Ia tidak hingar. Ia tidak menghibur. Tapi ia menyentuhmu di tempat yang tidak
kamu duga.
Malam Kamis Itu Tidak Akan Sama Lagi
Kabud Senja mungkin akan terus digelar. Panggung akan terus
berdiri. Lampu akan terus dinyalakan. Tapi malam Kamis 22 Mei 2025 akan selalu
menjadi penanda. Bahwa pernah ada malam ketika tubuh-tubuh muda dari Siwalan
Gresik menjungkirbalikkan panggung dengan cara yang tidak bisa dilawan. Bukan
karena mereka tampil sempurna, tapi karena mereka menari dengan rasa yang tak
terbandingkan. Ingat, kamu yang menyaksikan, tidak akan pernah melupakannya.(*)