Tradisi Pamali Rumah Sunduk Ditantang Gen Z!
Ilustrasi rumah sunduk/unsplash/Vladislav Lakunichev |
SastraNusa.id - Langkah pertama ke halaman rumah itu membuat bulu kuduk berdiri. Pintu kayu jati menghadap lurus ke ujung jalan kecil, seolah menjadi benteng terakhir sebelum tikungan tajam yang tak pernah sepi. Di dalamnya, penghuni sudah sering mengeluhkan mimpi buruk, ketegangan antaranggota keluarga, dan tamu tak diundang yang datang silih berganti. Entah karena letak rumah itu yang disebut "sunduk", atau sekadar kebetulan semata.
Di salah satu perumahan baru di pinggiran kota, desain rumah-rumah minimalis berjajar rapi. Namun, salah satu rumah tak laku dijual, meskipun tampilannya paling modern.
Desas-desus beredar, posisi rumahnya sunduk ke arah gerbang utama. Arsitek muda yang mendesainnya tak percaya pada pamali, tapi calon pembeli dari generasi yang lebih tua enggan mengambil risiko.
Generasi Z yang melihat rumah itu pun mulai bertanya-tanya, yakni, apakah tradisi lama masih layak dipertimbangkan dalam arsitektur kekinian?
Pertarungan antara nilai leluhur dan kebebasan berekspresi mulai terasa nyata, terutama di kalangan generasi baru yang tumbuh dengan teknologi namun tak sepenuhnya lepas dari bayang-bayang budaya terutama tradisi pamali semacam ini
Jejak Tradisi yang Tak Lekang oleh Zaman
Konsep rumah sunduk tak lahir dari teori arsitektur barat, melainkan dari keyakinan lokal yang turun-temurun. Dalam banyak budaya di Nusantara, posisi rumah dipercaya memengaruhi nasib dan keharmonisan penghuninya. Rumah yang menyunduk, yakni menghadap tajam ke jalan atau rumah lain, dianggap membawa energi buruk atau mengundang petaka.
Beberapa masyarakat di Jawa, misalnya, menghindari rumah yang hadapannya tepat mengarah ke mulut gang. Di Bali, prinsip Asta Kosala Kosali mengatur tata letak rumah agar selaras dengan alam dan kekuatan spiritual. Di Minangkabau, arah bangunan pun disesuaikan dengan petunjuk adat.
Meski tak berbasis sains modern, larangan seperti ini menjadi semacam "GPS budaya" yang mengarahkan pembangunan agar tidak bertabrakan dengan nilai-nilai lokal. Bagi generasi lama, rumah bukan hanya tempat tinggal, melainkan ruang yang terikat pada semesta secara spiritual.
Gen Z dalam Persimpangan Nilai
Gen Z dikenal kritis dan terbuka pada kebaruan. Namun, di tengah arus informasi yang deras, generasi ini juga mulai menunjukkan ketertarikan pada tradisi. Banyak yang menyuarakan kembali nilai-nilai lokal sebagai bentuk identitas. Di sisi lain, kebebasan berkreasi dan ekspresi tetap menjadi fondasi utama cara berpikir mereka.
Beberapa Gen Z mulai mempertanyakan, yaitu, apakah tradisi rumah sunduk masih relevan di era kota pintar dan hunian vertikal? Apakah keyakinan semacam ini hanya memperlambat inovasi desain? Atau justru menjadi pengingat agar arsitektur tidak kehilangan akar budayanya?
Banyak di antara mereka mencoba mencari titik temu. Misalnya, dengan menambahkan elemen penyeimbang seperti taman kecil, kolam, atau sekat artistik pada rumah yang secara posisi dianggap sunduk. Solusi semacam ini mencerminkan cara Gen Z merespons tradisi. Artinya, bukan dengan menolak mentah-mentah, tapi melalui adaptasi yang kreatif.
Antara Mitos dan Manfaat Praktis
Beberapa pakar arsitektur lokal menyebutkan bahwa larangan rumah sunduk juga memiliki dasar praktis. Rumah yang langsung menghadap ke jalan kerap terkena debu, suara bising, atau bahkan rawan tertabrak kendaraan jika tidak diberi pagar pelindung. Secara psikologis, rumah semacam itu juga bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman karena terlalu terbuka.
Aspek ini memberikan ruang bagi tradisi untuk berdampingan dengan logika arsitektur modern. Bukan semata mitos, namun refleksi dari pengamatan panjang atas lingkungan sekitar. Nilai-nilai seperti ini bisa dimaknai sebagai cara lokal menjaga keharmonisan antarwarga dan lingkungan.
Gen Z yang terbiasa dengan analisa data dan pendekatan rasional pun mulai melihat sisi lain dari pamali. Tentu bukan sebagai larangan kaku, tetapi sebagai bentuk kebijaksanaan kolektif yang bisa ditafsirkan ulang.
Ketegangan dan Keseimbangan
Perdebatan antara tradisi dan inovasi memang tak pernah berakhir. Namun, alih-alih menempatkan keduanya dalam posisi yang saling meniadakan, generasi masa kini justru berpeluang menjadikannya sebagai dasar kolaborasi. Yakni, rumah sunduk tidak lagi hanya dibaca sebagai ancaman mistis, tetapi juga sebagai titik tolak dialog antara masa lalu dan masa depan.
Ketika arsitektur tumbuh sebagai bahasa budaya, posisi rumah pun menjadi bagian dari narasi sosial. Dan di sanalah Gen Z berdiri. Yaitu, di tengah-tengah antara menghormati yang lama dan menciptakan yang baru.
Warisan Tak Selalu Usang
Pamali rumah sunduk mungkin terdengar kuno, tetapi ia tetap hidup dalam obrolan, pertimbangan, bahkan rancangan masa kini. Gen Z memiliki peran penting untuk tidak sekadar melestarikan atau menggugat, tetapi menafsirkan ulang dengan cara yang cerdas dan relevan. Karena pada akhirnya, rumah bukan sekadar bangunan, melainkan tempat jiwa menemukan keseimbangan antara akar dan arah.*