Tradisi Ujung-Ujung Jawa Masih Dilestarikan, Tuntutan Silaturahmi?

Ilustrasi Ujung-unjung Jawa/Pixabay/Geralt

SastraNusa.id - Di tengah hiruk-pikuk perubahan zaman dan gelombang modernisasi yang kian deras, ada satu tradisi yang tetap teguh berdiri di tengah masyarakat Jawa. Tradisi itu disebut ujung-ujung, yakni, sebuah ritual yang mengakar kuat dalam budaya Jawa sebagai simbol silaturahmi, penghormatan, dan penghargaan terhadap sesama, khususnya dalam momentum Hari Raya Idul Fitri.

Tradisi ini tak sekadar menjadi kebiasaan turun-temurun, melainkan juga menjadi tali pengikat emosional yang mempererat ikatan antarkeluarga, tetangga, hingga sahabat lama.

Banyak kalangan muda yang mulai menyadari kembali pentingnya menjaga warisan leluhur ini. Meski beberapa daerah mengalami pergeseran nilai akibat pengaruh budaya luar, ujung-ujung masih digelar dengan semangat dan kehangatan yang sama.

Biasanya, ritual ini dilakukan dengan mendatangi rumah sanak saudara atau tetangga, membawa bingkisan sederhana seperti jajanan pasar, sirup, atau kue kering, lalu bersalaman sambil mengucapkan permohonan maaf.

Seorang sesepuh di Kabupaten Gresik, yang tidak ingin disebut namanya mengatakan, “Wong Jawa itu kalau lebaran ya kudu ujung-ujung. Ora mung mangan opor, nanging ketemu, guyub, ngampet ego. Niku sing utama.” Ucapannya itu, menggambarkan bahwa tradisi ini bukan soal materi, melainkan ketulusan dan niat baik untuk menyambung hati yang sempat renggang atau mempererat yang sudah akrab.

Meski dunia telah berubah menjadi serba cepat dan digital, tradisi seperti ini tetap memberikan ruang untuk jeda. Ada nilai-nilai luhur yang tidak akan tergantikan oleh pesan singkat atau video call. Kehadiran secara fisik, sapa hangat, serta senyum yang tulus menjadi penyembuh luka batin yang tak terucap.

Mengandung Nilai Sosial dan Spiritual

Lebih dari sekadar ajang berkumpul, ujung-ujung memiliki nilai sosial yang mendalam. Dalam setiap kunjungan, terselip pesan untuk menjaga hubungan baik, menurunkan ego, serta menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Tidak sedikit orang yang akhirnya kembali saling memahami setelah bertahun-tahun terjebak dalam kesalahpahaman.

Bagi masyarakat pedesaan, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tradisi ini menjadi bentuk nyata dari kearifan lokal. Ketika seseorang datang ke rumah kerabat sambil membawa bingkisan, itu bukan soal besar kecilnya isi kantong, tapi bagaimana hati mau terbuka dan bersedia merendah demi menjalin hubungan. Bahkan dalam beberapa kasus, ujung-ujung mampu menyatukan keluarga yang sudah lama berselisih.

Seorang pemuda dari Gresik berinisial K mengaku, bahwa tahun ini dirinya mencoba aktif mengunjungi keluarga dari pihak ayah yang sebelumnya jarang ditemui. “Rasanya beda ya. Biasanya cuma saling lihat di status WA, sekarang bisa ketemu langsung, ngobrol panjang, dan ketawa bareng. Kayak nemu keluarga yang lama hilang,” tuturnya.

Tak sedikit yang menjadikan momen ini sebagai waktu untuk introspeksi. Menyadari bahwa dalam hubungan sosial, selalu ada ruang untuk salah dan memaafkan. Dalam tradisi ujung-ujung, proses saling memaafkan dilakukan tanpa perlu banyak basa-basi. Tatapan mata dan genggaman tangan menjadi bahasa yang lebih jujur dari kata-kata.

Menjadi Simbol Keteguhan Budaya

Keberadaan tradisi ini semakin mempertegas bahwa masyarakat Jawa memiliki mekanisme sosial yang matang dalam merawat harmoni. Tanpa seremoni besar, tanpa aturan baku, ujung-ujung tetap berjalan karena ada kesadaran kolektif untuk menjaga nilai luhur. Bahkan anak-anak kecil pun dilibatkan dalam kegiatan ini, diajarkan cara bersikap sopan, membawa bingkisan, dan menyapa orang yang lebih tua dengan santun.

Tentu saja tidak semua daerah merayakan dengan cara yang sama. Di beberapa kampung, ujung-ujung dilakukan secara berurutan yaitu dari rumah tetangga kiri ke kanan, selama dua hingga tiga hari setelah salat Id. Ada juga yang melakukannya seminggu penuh. Setiap tempat memiliki ragam ekspresi yang berbeda, namun tetap membawa semangat yang sama.

Menariknya, di tengah era digital, sebagian masyarakat mulai mendokumentasikan tradisi ini melalui media sosial. Foto-foto kebersamaan, video pendek tentang kunjungan silaturahmi, hingga cerita-cerita nostalgia masa kecil kini bertebaran sebagai cara baru dalam merayakan warisan lama. Namun demikian, keintiman dalam tatap muka tetap menjadi esensi yang tak tergantikan.

Menjaga dari Kepunahan

Pertanyaan yang muncul kemudian: mampukah tradisi ini bertahan di tengah arus pragmatisme? Jawabannya sangat bergantung pada generasi yang kini tumbuh di tengah dualitas dunia nyata dan maya. Jika nilai dalam ujung-ujung hanya dilihat sebagai formalitas, maka pelan tapi pasti ia akan terkikis. Tapi jika dipahami sebagai jembatan batin yang tulus, maka tradisi ini justru akan menjelma menjadi kekuatan yang melawan keterasingan sosial.

Salah satu budayawan Gresik Z (Inisial) menjelaskan, bahwa ujung-ujung adalah bentuk lokal dari diplomasi sosial yang tidak kaku. “Ini bukan hanya budaya, tapi strategi sosial untuk merawat jaringan antarindividu dalam satu komunitas. Kehilangan ini berarti kehilangan akar dari cara orang Jawa berhubungan,” ungkapnya.

Ke depan, pelestarian tradisi ini tidak harus menolak kemajuan. Kolaborasi antara tradisi dan teknologi justru bisa memperkuat eksistensinya. Misalnya dengan menggelar ujung-ujung bersama di balai desa, sambil menampilkan kisah sejarahnya melalui dokumenter pendek yang ditonton bersama.

Tradisi ujung-ujung bukan sekadar tentang datang dan membawa bingkisan, melainkan bentuk perlawanan terhadap keterputusan hubungan sosial. Ia mengingatkan bahwa dalam setiap lebaran, selalu ada ruang untuk pulang. Namun ini perlu digaris bawahi, yaitu, pulang bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin. Tradisi ini menjadi tanda bahwa manusia tak pernah lahir untuk sendiri, melainkan untuk saling mengunjungi, saling menghormati, dan saling memaafkan.

Inilah wajah Jawa yang sesungguhnya: tidak banyak bicara, tapi penuh makna.*

Tidak ada komentar untuk "Tradisi Ujung-Ujung Jawa Masih Dilestarikan, Tuntutan Silaturahmi? "