Bersiul Malam Hari di Jawa Dianggap Pamali!

Bersiul Malam Hari di Jawa Dianggap Pamali!
Seorang sedang bersiul di malam hari/ilustrasi

SastraNus.id, Jawa - Larangan bersiul di malam hari masih hidup dan menjadi bagian dari tata krama masyarakat Jawa. Bukan hanya sekadar mitos, pamali ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, dibalut dalam kepercayaan spiritual dan nilai kesopanan yang dijunjung tinggi. Bagi sebagian orang tua, siulan saat malam bukan hanya dianggap tidak sopan, tapi juga dipercaya bisa mengundang sesuatu yang tidak diinginkan.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan, waktu malam dianggap sebagai saat tenang yang harus dihormati. Jika siang hari adalah waktunya manusia bekerja, maka malam hari diyakini sebagai waktunya makhluk tak kasat mata berkeliaran. Karena itu, membuat suara mencolok seperti bersiul ang dipandang sebagai tindakan yang bisa mengganggu atau bahkan memanggil keberadaan makhluk gaib.

Mitos ini tidak hanya hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi juga tersebar di daerah lain berbahasa Jawa seperti Yogyakarta, sebagian Banten, dan wilayah-wilayah Madura. Larangan bersiul malam hari sering kali diwujudkan dalam bentuk teguran keras dari orang tua kepada anak-anak. Untuk memperkuat larangan tersebut, masyarakat biasanya menyertakan cerita-cerita mistis yang diwariskan secara lisan.

Pamali yang Dianggap Mengganggu Alam Malam

Kata pamali merujuk pada pantangan yang jika dilanggar bisa mendatangkan celaka, aib, atau kesialan. Dalam konteks ini, siulan malam hari diyakini bisa mengundang kehadiran makhluk halus seperti kuntilanak, genderuwo, atau jin penunggu pohon tua. Oleh sebab itu, orang tua sangat tegas melarang anak-anak bersiul sembarangan, apalagi di sekitar tempat sunyi seperti kebun kosong, pemakaman, atau jalan desa yang sepi.

Di beberapa desa lereng Gunung Merapi, siulan malam juga diyakini sebagai pertanda seseorang sedang digoda makhluk halus. Bahkan, ada anggapan bahwa siulan bisa menjadi panggilan bagi roh penasaran atau arwah yang belum tenang. Keyakinan ini begitu kuat sehingga membuat masyarakat benar-benar berhati-hati menjaga suara di malam hari.

Beberapa warga mengaku pernah mengalami kejadian aneh setelah bersiul malam hari. Mulai dari mendengar suara langkah di belakang rumah, perasaan diawasi, hingga tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab. Meski belum terbukti secara ilmiah, pengalaman-pengalaman seperti ini menjadi alasan kuat bagi masyarakat untuk tetap mematuhi pamali tersebut.

Nilai Adab dan Ketertiban Sosial

Lebih dari sekadar soal mistis, larangan ini sesungguhnya mengandung nilai-nilai sosial. Dalam budaya Jawa, malam adalah waktu untuk beristirahat. Suasana yang tenang merupakan bentuk penghormatan terhadap tetangga dan anggota keluarga lain yang sudah tidur. Siulan dianggap sebagai suara yang mengganggu dan sering dikaitkan dengan perilaku iseng, candaan, atau ajakan yang tidak sopan.

Di beberapa wilayah, bersiul malam bahkan disebut sebagai bentuk “godaan” terhadap dunia gaib. Hal ini secara simbolik menunjukkan bahwa bersiul adalah tindakan sembrono yang tidak menghormati batas antara dunia manusia dan dunia lain. Maka, siapa pun yang melanggarnya dianggap tidak tahu etika, baik dalam dimensi sosial maupun spiritual. 

Salah sorang dari jawa Bernama Samsul menuturkan bahwa pamali itu bukan sekadar mitos, tapi juga bagian dari tata krama yang harus dijaga. Kalau bersiul malam, nantinya bisa mendatangkan sesuatu yang akan berakibat fatal pad diri sendiri. Yakni, sda yang bilang bisa dihampiri jin atau arwah penasaran.”

“Sejak kecil saya sudah dilarang bersiul malam-malam,” ujarnya.

Menurut Samsul, masyarakat desa masih sangat percaya bahwa setiap suara yang dilepas malam hari membawa maksud tertentu. Siulan dianggap tidak punya tujuan yang jelas, sementara bunyi kentongan atau suara salam di masjid dianggap sopan karena bertujuan baik. 

“Kalau niatnya iseng, ya bisa salah paham dengan yang gaib,” tambahnya.

Antara Larangan dan Warisan Budaya

Meski zaman terus berubah, pamali seperti ini tetap bertahan. Bahkan di tengah kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup, banyak keluarga Jawa masih mengajarkan larangan bersiul malam hari kepada anak-anak mereka. Bagi mereka, ini bukan sekadar cerita lama, tetapi bagian dari penghormatan terhadap keseimbangan hidup.

Beberapa orang mungkin menganggap larangan ini tidak logis, tetapi dalam konteks budaya lokal, pamali ini berfungsi sebagai batas tak terlihat yang mengatur sikap dan tindakan. Ia mengajarkan pentingnya menjaga ketenangan malam, menghargai ruang bersama, serta tidak melakukan sesuatu hanya karena ingin bercanda atau menarik perhatian.

Samsul menambahkan, “Pamali itu seperti pagar. Kita tidak tahu apa yang terjadi di balik pagar itu, tapi kalau kita tahu diri, kita juga aman. Bukan takut, tapi lebih ke menghormati.”

Antara Mitos dan Kesadaran Sosial

Meski ada yang menertawakan larangan seperti ini, pamali bersiul malam tetap menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Jawa. Larangan ini bukan sekadar bentuk ketakutan, tetapi ekspresi dari tata nilai yang menempatkan manusia, suara, waktu, dan ruang dalam harmoni.

Alih-alih dianggap sebagai larangan tanpa dasar, pamali ini sebaiknya dipahami sebagai cara orang tua dulu dalam membentuk sikap bijak terhadap lingkungan dan kehidupan sosial. Karena pada akhirnya, suara sekecil siulan pun bisa memiliki makna besar, tergantung di mana dan kapan kamu mengeluarkannya.


Tidak ada komentar untuk " Bersiul Malam Hari di Jawa Dianggap Pamali!"