Bukan Uang, di Lembung Sampang Mendapatkan Rujak Boleh Pakai ini!
![]() |
Seorang Penjual rujak sedang menghaluskan bumbu di samping petani yang mengarit padi/Ilustrasi |
SastraNusa.id, Sampang - Di tengah arus modernisasi yang kian deras, masyarakat Madura masih mempertahankan sejumlah kearifan lokal yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu tradisi unik itu dapat ditemukan di Kampung Lembung, Desa Plakaran, Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang. Di sana, warga tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan seporsi rujak. Cukup dengan membawa beras sepiring, mereka sudah bisa menikmati rujak segar di tengah hamparan sawah yang baru dipanen.
Tradisi tersebut muncul saat kampung memasuki musim panen padi. Menariknya, musim panen di Kampung Lembung dilakukan secara serentak oleh seluruh petani dan berlangsung selama satu bulan penuh. Saat itulah, para penjual rujak dari luar desa mulai berdatangan, menempati sudut-sudut sawah atau berkeliling dengan membawa bahan rujak, menawarkan dagangannya kepada warga yang sedang memanen.
Salah satu Tokoh Masrakat setempat, S (Inisial) mengaku peritiwa itu tidak seperti praktik jual beli pada umumnya, dikarenakan penjual rujak tidak meminta uang. Sebagai gantinya, warga cukup menyerahkan beras atau gabah gilingan satu piring baik dari hasil panennya sendiri maupun dari stok yang tersedia di rumah. Pasalnya, tradisi ini telah berlangsung puluhan tahun dan tetap lestari hingga kini, meskipun banyak kebiasaan lain mulai tergeser oleh zaman.
“Saya masih ingat sejak kecil, waktu ikut orang tua panen, sudah ada tukang rujak yang datang dan menukar rujaknya dengan beras. Sekarang saya sudah tua, ternyata kebiasaan ini tetap ada,” kata S saat ditemui pada Rabu, 9 Juli 2025.
Dijelaskan, penjual rujak yang datang ke Kampung Lembung bukan berasal dari desa setempat. Si penjual datang dari Kecamatan Kedungdung, sebuah wilayah yang berjarak sekitar satu jam perjalanan (Jika ditempuh dengan naik motor) dari lokasi panen. Para penjual ini biasanya membawa bahan rujak dalam bakul besar terbuat dari anyaman kayu khusus (Wadah kuno yang masihb ada di Sampang). Mereka tidak membuka warung permanen, melainkan berjualan di tempat-tempat strategis di dekat lokasi panen.
Lebih lanjut S mengutarkan, rujak yang disajikan cukup sederhana namun menggugah selera. Terdiri dari irisan mangga muda, mentimun, bengkuang, dan nanas yang kemudian disiram bumbu petis khas Madura yang gurih dan pedas. Makanan ini menjadi pelepas dahaga sekaligus penyemangat di tengah teriknya matahari saat panen berlangsung.
“Satu piring beras bisa saya tukar dengan rujak lengkap, kadang malah ditambah kerupuk. Anak-anak juga senang karena rasanya segar,” ujar S sambil tertawa kecil.
Menurut S, tradisi ini tidak hanya bermakna ekonomi, tetapi juga menyimpan nilai sosial dan budaya yang tinggi. Di satu sisi, penjual rujak tetap mendapatkan bahan pangan untuk dibawa pulang, sedangkan petani yang sedang bekerja keras tetap bisa menikmati hidangan tanpa harus mengeluarkan uang tunai. Namun yang sangat sakral, tradisi ini mempererat hubungan antara pendatang dan warga lokal.
Dikatakan S, Hubungan timbal balik seperti ini dianggap sebagai bentuk gotong royong gaya lama yang masih bertahan di tengah tekanan sistem pasar modern. Barter menjadi simbol keterikatan antara sesame. Hal itu bukan semata-mata soal keuntungan, tetapi juga tentang kepercayaan dan kebersamaan.
“Bagi warga desa, sepiring beras itu tidak berat. Tapi rujak yang dibalas dengan senyuman hangat, itu yang membuat orang betah dan merasa dihargai,” tambah S dengan mata berkaca-kaca mengingat masa kecilnya.
Selama masa panen yang berlangsung sebulan penuh, Kata S lebih lanjut mengutarakan, suasana Kampung Lembung menjadi lebih hidup. Ditambah lagi anak-anak yang berlarian membawa beras untuk ditukar rujak, ibu-ibu menyiapkan tempat duduk darurat di sawah untuk menikmati makanan bersama, sementara para penjual rujak sibuk menumbuk bumbu dan mengiris buah dengan cekatan. Tentuya hal ini semua terjadi dalam harmoni yang jarang ditemukan di kota besar.
S mengungkapkan, Tradisi ini tidak memiliki aturan tertulis. Tidak ada standar jumlah beras berlebihan yang harus diberikan (Cukup sepiring), tidak pula ada pembatasan siapa saja yang boleh membeli. Semua berjalan berdasarkan rasa saling percaya dan keikhlasan. Bahkan, jika seseorang hanya memiliki setengah piring beras, rujak tetap diberikan tanpa perhitungan.
“Ada kalanya yang datang cuma sepiring paras. Kami tetap dikasih. Menururt kami, si penjual datang dan ingin menjalin silaturahmi,” jelas S tampak mengingat masa lalunya soal ini.
S berpendapat, melalui pendekatan yang tepat tradisi ini bukan hanya bisa dipertahankan, tetapi juga dikenalkan ke masyarakat yang lebih luas. Kalau dikelola dengan pas bukan tidak mungkin Kampung Lembung akan menjadi ikon budaya baru di Madura. Pastinya hal ini bisa menjadi tempat orang bisa belajar tentang makna berbagi, keikhlasan, dan nilai kemanusiaan yang sederhana.
“Kalau semua tradisi diganti dengan uang, nanti yang hilang bukan cuma budaya, tapi juga rasa. Di sini, beras dan rujak bisa menyatukan hati,” tutup S dengan penuh harap.
Tidak ada komentar untuk " Bukan Uang, di Lembung Sampang Mendapatkan Rujak Boleh Pakai ini!"