Darurat Moral, Semua Orang Nyaris Korupsi!
Seorang sesepuh mengingatkan pemuda agar tidak korupsi/Ilustrasi
SastraNusa.id - Coba kamu bayangkan di sudut kantor pelayanan publik, antrean panjang masih menjadi pemandangan sehari-hari. Namun, sering kali terlihat seseorang yang melenggang lebih dulu setelah menyerahkan sejumlah uang kepada petugas. Orang-orang yang menunggu hanya bisa diam. Sebagian merasa jengkel, sebagian lainnya menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang biasa.
Kemudian di pedalaman desa, cerita tentang aparat yang meminta uang pelicin agar pengurusan dokumen berjalan lancar terus terdengar dari mulut ke mulut. Apakah itu yang namanya korupsi?
Kemudian bagaimana di ruang kelas, praktik bolos sekolah oleh siswa yang seharusnya mengikuti pelajaran juga dapat dikaitkan dengan bentuk lain dari korupsi, meskipun dalam skala berbeda.
Semua kejadian tersebut seperti untaian benang kusut yang saling terhubung. Ketika tindakan semacam itu terus terjadi dan dibiarkan, tentu korupsi tidak lagi dianggap sebagai kesalahan. Tetapi, bisa dikatakan bagian dari kelaziman yang diwariskan secara tak sadar.
Korupsi Bukan Hanya Tentang Uang
Saat direnungi, korupsi memang tidak hanya berkaitan dengan penggelapan dana dalam jumlah besar yang dilakukan oleh pejabat tinggi. Praktik ini, ternyata juga merembes hingga ke hal-hal kecil yang kerap dianggap sepele. Salah satu contohnya, penggunaan waktu kerja secara tidak efektif seperti buruh yang beristirahat lebih lama dari kesepakatan tanpa izin.
Tindakan seperti itu memang tidak menghasilkan kerugian negara secara langsung. Namun, tetap termasuk kategori korupsi, karena melibatkan penyalahgunaan kewajiban dan pengambilan hak tanpa dasar. Pada dasarnya, korupsi adalah penyimpangan dari tanggung jawab untuk keuntungan pribadi, sekecil apa pun bentuknya.
Lebih menyedihkan lagi, ketika pelanggaran semacam ini terjadi berulang dan tidak disadari sebagai bentuk kejahatan. Jika tidak ada rasa bersalah dalam setiap tindakan tersebut, maka besar kemungkinan perilaku ini akan terus diulang dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Tradisi yang Terbentuk Karena Pembiaran
Ketika korupsi tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran, maka secara perlahan tindakan tersebut berubah menjadi kebiasaan yang mengakar. Kondisi ini tentu diperparah oleh lemahnya penegakan hukum dan minimnya sanksi terhadap pelaku. Faktualnya, tidak sedikit yang pernah terjerat kasus korupsi justru bisa kembali menduduki jabatan publik.
Nah, pembiaran semacam ini justru menciptakan kesan bahwa korupsi dapat dinegosiasikan. Akibatnya, masyarakat merasa tidak lagi memiliki harapan terhadap keadilan. Bahkan, sebagian justru mengikuti arus demi bertahan hidup dalam sistem yang dianggap telah rusak sejak lama.
Padahal membiarkan korupsi tumbuh, sama artinya dengan merusak masa depan. Nyaris sih, sebab generasi muda nantinya akan tumbuh di lingkungan yang membenarkan perilaku curang, dan pada akhirnya menganggap suap serta pungli sebagai jalan pintas yang sah.
Dari Sekolah Hingga Kantor Pemerintahan
Korupsi tidak hanya terjadi di ruang politik atau lembaga pemerintahan. Dunia pendidikan pun tak luput dari praktik serupa. Contohnya ketika seorang siswa bolos dari kelas, padahal kewajibannya belajar selama delapan jam. Secara teknis, waktu yang diambil untuk kepentingan pribadi itu pun termasuk pelanggaran terhadap tanggung jawab, sehingga bisa dikaitkan dengan bentuk korupsi.
Di sisi lain, banyak pejabat desa yang memanfaatkan wewenang untuk meminta bayaran dari warga saat mengurus dokumen administratif. Meskipun jumlahnya kecil, tindakan seperti ini tentu sangat merugikan, karena merusak prinsip pelayanan publik yang seharusnya bebas biaya.
Kejadian tersebut menunjukkan bahwa korupsi tidak mengenal batas usia atau profesi. Baik pelajar, buruh, maupun aparat pemerintah, semua bisa terjerumus jika tidak memiliki integritas dan kesadaran hukum.
Apatisme sebagai Tantangan Terbesar
Salah satu tantangan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sikap apatis masyarakat. Banyak orang merasa tidak berdaya saat melihat korupsi terjadi di berbagai sektor. Tidak sedikit yang percaya bahwa perjuangan melawan korupsi sia-sia, karena sistemnya sudah terlanjur rusak.
Padahal sikap apatis itu, justru memperkuat cengkeraman korupsi loh! Ketika tidak ada perlawanan, pelaku merasa bebas dan tidak tersentuh hukum. Nah, situasi ini hanya bisa berubah jika masyarakat mulai bersuara dan berani mengambil tindakan, meskipun dalam skala kecil seperti menolak memberi uang pelicin atau melaporkan pungutan liar.
Pada intinya, setiap aksi kecil akan berarti besar jika dilakukan bersama-sama secara konsisten dan berkelanjutan.
Pendidikan Anti Korupsi Sejak Dini Sangat Penting
Salah satu cara efektif untuk menghentikan tradisi korupsi adalah dengan membangun kesadaran sejak dini. Tampaknya, pendidikan antikorupsi perlu masuk dalam kurikulum sekolah. Bukan hanya sebagai pelajaran formal, tetapi juga melalui praktik langsung dan keteladanan dari para pendidik.
Dalam ranah ini guru, orang tua, dan lingkungan sekitar memiliki peran besar guna menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab. Dipastikan, jika anak-anak dibiasakan untuk menghargai integritas, maka mereka akan tumbuh menjadi generasi yang berani menolak korupsi.
Selain itu, media dan tokoh masyarakat juga perlu terlibat aktif dalam menyuarakan semangat antikorupsi. Kalau perlu adakan kampanye publik. Tentunya upaya semacam ini akan menyentuh kehidupan sehari-hari, sehingga lebih mudah diterima dibandingkan slogan politik yang terasa kosong.
Harapan di Tengah Tradisi
Meskipun korupsi terasa seperti warisan yang sulit diputus, bukan berarti harapan telah sirna. Masih banyak komunitas, organisasi sipil, dan individu yang terus berjuang membangun budaya antikorupsi di tengah masyarakat.
Langkah sederhana seperti menolak pungutan liar, bersikap jujur, dan tidak mengambil hak orang lain ternyata juga bisa menjadi awal dari perubahan besar. Ya terus terang saja, Indonesia membutuhkan lebih banyak orang jujur, bukan hanya yang pandai bicara.
Pada intinya, jika kejujuran menjadi pilihan mayoritas, maka perlahan tradisi buruk akan digantikan oleh semangat perbaikan. Saat hal ini benar-benar terjadi, korupsi tidak lagi menjadi bagian dari budaya, melainkan kenangan kelam yang berhasil diakhiri.*
Tidak ada komentar untuk "Darurat Moral, Semua Orang Nyaris Korupsi!"