Ketika Tulisan Liar Mengisi Ruang Berita, Di Mana Keberimbangan?
![]() |
Ketika Tulisan Liar Mengisi Ruang Berita, Di Mana Keberimbangan? |
SASTRANUSA, - Di tengah gempuran informasi tanpa henti, media massa hari ini dihadapkan pada tantangan besar: menjaga keberimbangan dalam pemberitaan. Namun realitas menunjukkan, ruang-ruang redaksi justru mulai dipenuhi oleh tulisan liar—konten berita yang menyimpang dari prinsip dasar jurnalisme, tidak berimbang, dan cenderung menggiring opini. Fenomena ini menjadi persoalan serius karena mengancam fungsi pers sebagai penyampai informasi yang akurat dan dapat dipercaya.
Ketika Berita Tak Lagi Berdiri di Atas Fakta
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Fungsi ini mengandung tanggung jawab besar: menyampaikan informasi yang benar, berimbang, dan tidak menyesatkan. Namun realitas pemberitaan hari ini menunjukkan banyak media yang abai terhadap fungsi tersebut.
Tulisan liar yang tersebar dalam ruang berita biasanya bersumber dari dua hal: minimnya verifikasi dan absennya keberimbangan. Berita hanya memuat satu narasumber, mengutip secara sepotong, bahkan tidak jarang dibumbui oleh opini penulis yang disisipkan tanpa etiket. Publik pun disuguhi berita yang dangkal, tidak mendalam, dan sarat emosi. Pada akhirnya, berita tak lagi menjadi jendela realitas, melainkan cermin bias dan keberpihakan.
Menyimpang dari Kode Etik Jurnalistik
Keberimbangan sejatinya bukan sekadar standar teknis, melainkan etika yang tertulis jelas dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disahkan oleh Dewan Pers.
Dalam Pasal 1 KEJ disebutkan: "Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk."
Selanjutnya, Pasal 3 KEJ menyatakan: "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah."
Dengan kata lain, setiap jurnalis yang tidak menguji informasi, menyajikan hanya satu versi cerita, atau menggiring opini publik tanpa landasan fakta, berarti telah melanggar etika profesi dan berpotensi melanggar hukum.
Sayangnya, pelanggaran-pelanggaran ini justru kerap terjadi secara sistemik. Banyak redaksi yang membiarkan jurnalisnya menulis berdasarkan asumsi atau kecenderungan pribadi. Bahkan ada media yang memelihara narasi-narasi tendensius demi kepentingan pemilik modal, politik, atau kelompok tertentu.
Sensasi Mengalahkan Substansi
Di era digital, di mana algoritma memengaruhi arus informasi, media tidak hanya bersaing dalam akurasi, tapi juga dalam atensi. Judul-judul clickbait, framing bombastis, dan narasi hiperbola menjadi strategi umum untuk meningkatkan trafik. Namun cara-cara ini menciptakan ekosistem informasi yang tidak sehat.
Dalam situasi seperti ini, tulisan liar menjadi “komoditas”. Ia bukan lagi produk kesalahan semata, tapi hasil strategi bisnis. Padahal, menurut Pasal 5 ayat (1) UU Pers, media berkewajiban untuk: “memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.”
Tulisan liar jelas bertentangan dengan norma tersebut. Ia tidak menghormati objektivitas, sering kali menyerang karakter seseorang, dan tidak jarang memperkeruh situasi sosial. Lebih dari itu, berita yang tidak berimbang juga bisa dijerat oleh Pasal 18 ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa: “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan mengenai pemberitaan dapat dikenai sanksi berupa permintaan maaf, koreksi, atau bahkan gugatan hukum.”
Masyarakat Jadi Korban Kebingungan
Ketika tulisan liar menyebar luas, masyarakat menjadi korban utama. Mereka dibanjiri informasi yang membingungkan, sulit dibedakan antara fakta dan fiksi.
Literasi media yang rendah semakin memperburuk keadaan. Publik cenderung percaya pada informasi yang emosional, tanpa sempat mengecek sumbernya.
Ketidakberimbangan dalam pemberitaan juga berdampak pada kehidupan sosial.
Konflik antarkelompok, polarisasi politik, hingga perpecahan di tengah masyarakat sering kali dipicu oleh informasi yang tidak netral. Pers, yang seharusnya menjadi pemersatu, justru berpotensi menjadi pemicu perpecahan jika tidak menjaga etika.
Menjaga Integritas Profesi Jurnalis
Tantangan terbesar hari ini bukan sekadar menjaga kecepatan dalam menyampaikan berita, tetapi menjaga keakuratan dan integritas. Jurnalis harus sadar bahwa setiap kalimat yang ia tulis adalah tanggung jawab publik. Berita yang tidak berimbang bukan hanya melanggar etika, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat.
Perusahaan pers harus memperkuat ruang redaksi dengan prinsip kehati-hatian, bukan sekadar mengejar viralitas. Proses penyuntingan, klarifikasi, dan verifikasi harus menjadi standar. Sementara organisasi profesi seperti Dewan Pers harus lebih aktif dalam mengawasi dan memberikan sanksi pada media yang menyebarkan tulisan liar.
Pendidikan dan Literasi Media: Solusi Jangka Panjang
Selain reformasi internal media, literasi media harus ditingkatkan. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk membedakan mana berita yang kredibel dan mana yang tendensius. Pemerintah, akademisi, dan komunitas media harus bergandengan tangan dalam memberikan edukasi literasi informasi sejak usia sekolah.
Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat akan lebih kritis terhadap isi berita. Mereka tidak akan mudah terprovokasi oleh narasi sepihak atau judul bombastis. Inilah kekuatan utama dalam menghadapi tsunami tulisan liar: publik yang cerdas, kritis, dan tidak mudah dibodohi.
Kembali ke Hati Nurani Jurnalisme
Tulisan liar dalam ruang berita bukan sekadar persoalan teknis. Ia adalah refleksi dari keretakan etika, lemahnya tanggung jawab, dan krisis integritas dalam dunia pers. Padahal, di pundak media, tanggung jawab peradaban berada.
Jurnalisme yang baik bukan yang cepat, bukan yang viral, tetapi yang berimbang dan benar. Kebenaran tak akan pernah bisa dikompromikan atas nama kepentingan.
Media boleh berubah, platform boleh berkembang, tapi nilai dasar jurnalisme yaitu kejujuran, keberimbangan, dan verifikasi yang harus tetap dijaga.
Karena bila tidak, maka ruang informasi kita akan terus dipenuhi oleh tulisan liar, dan keberimbangan akan tinggal sebagai utopia yang tak pernah tercapai.*