Manual Vs Mesin Padi, Begini Petuah Petani Sampang!

Manual Vs Mesin Padi, Begini Petuah Petani Sampang!
Panen Padi Manual Vs Menggunakan Mesin/Ilustrasi

SastraNusa.id, Sampang - Hamparan sawah di Kabupaten Sampang masih menjadi saksi bisu aktivitas pertanian yang turun-temurun dilakukan. Hal itu sangat terlihat saat musim panen tiba, suasana berubah menjadi lebih hidup. Pastinya para petani terlihat sibuk mengangkut hasil tanam yang telah dirawat selama berbulan-bulan.

Namun di tengah geliat panen itu, mulai terlihat dua pemandangan yang berbeda, yakni ada sebagian petani tetap memanen secara manual dengan arit atau sabit. Sementara lainnya memilih teknologi mesin panen padi sebagai solusi cepat. Keduanya hidup berdampingan namun menghasilkan dinamika tersendiri di tengah masyarakat tani.

Perbedaan hasil, waktu, dan biaya sangat asik bahkan bisa menjadi topik pembahasan di berbagai sudut perkampungan. Tentunya sudah lumrah jika banyak yang mulai membandingkan efektivitas dari dua cara tersebut. Hal itu, sembari mereka mempertimbangkan tradisi dan kondisi keuangan masing-masing.

Seorang warga sekaligus petani Sampang H Isa, mengatakan, cara manual masih digunakan oleh sebagian besar petani tradisional di wilayahnya.

“Kalau manual, memang lebih lama. Tapi hasilnya bisa lebih terkontrol. Tidak semua petani langsung percaya mesin,” ujarnya ketika ditemui di tengah sawahnya yang baru dipanen.

H Isa menyebutkan, proses panen manual biasanya melibatkan sekitar 10 pekerja harian dengan setiap orang mendapat jatah baris tertentu dan akan memotong batang padi satu per satu. Meski membutuhkan waktu dua sampai tiga hari untuk satu 5 sawah, namun hasil gabah lebih bersih dan potensi kerusakan tanaman lebih kecil.

Selain itu, kata dia melanjutkan tuturannya, ada nilai kebersamaan dalam panen tradisional. Setiap pekerja membawa bekal dari rumah dan makan siang dilakukan secara bersama di pinggir sawah. Ini menjadi momen sosial yang tak tergantikan dengan suara bising mesin.

Dia menambahkan, bahwa berbeda dengan cara manual, panen menggunakan mesin hanya melibatkan dua atau tiga operator. Mesin combine harvester, misalnya, mampu memanen satu hektare sawah hanya dalam waktu dua jam.

Bahkan dalam sehari, satu unit mesin bisa menjangkau tiga hingga lima hektare. Artinya satu kali panen dengan mesin, bisa menghabiskan biaya sekitar Rp800 ribu hingga Rp1 juta per hektare.

“Kalau pakai mesin, memang lebih cepat. Tenaga kerja sedikit, hemat waktu, dan tidak repot angkut-angkut padi. Tapi ongkos sewanya juga lumayan,” ucap H Isa sambil tersenyum.

Meski demikian, imbuh H Isa melanjutkan, efisiensi tenaga dan waktu menjadi pertimbangan utama bagi sebagian petani yang lahannya cukup luas. Artinya, mereka memilih teknologi agar tak tertinggal masa tanam berikutnya. Selain itu, cuaca tak menentu membuat petani perlu mempercepat panen agar tidak terjebak hujan yang bisa merusak hasil.

"Namun penggunaan mesin bukan tanpa risiko. Dalam beberapa kasus, hasil gabah yang dipanen mesin memiliki kadar kotoran lebih tinggi. Selain itu, batang padi bisa patah atau tergiling habis sehingga sulit dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau pupuk kompos," ungkapnya.

H Isa menilai, keputusan memakai mesin atau manual tergantung kondisi lahan dan modal petani. Kalau lahannya miring atau kecil-kecil, lebih baik pakai manual. Tapi kalau lahan luas dan rata, mesin lebih efisien. Pada intinya semua itu pasti ada untung ruginya.

Dia juga mengutarakan, bahwa tidak semua petani memiliki akses ke mesin panen. Sebagian besar hanya bisa menyewa dari luar desa, sehingga perlu antre dan bergiliran. Hal itu juga jadi kendala ketika musim panen datang serentak dan semua petani butuh mesin bersamaan.

"Di sisi lain, pemerintah daerah mendorong penggunaan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas. Melalui kelompok tani, beberapa desa sudah mendapat bantuan mesin panen. Namun, pelatihan penggunaan dan perawatan masih menjadi tantangan tersendiri," imbuhnya.

Menurut dia, petani yang belum terbiasa dengan mesin juga merasa khawatir jika terjadi kerusakan. Mereka menganggap lebih aman memakai tenaga manusia karena risiko kesalahan bisa diminimalkan. Apalagi jika panen dilakukan sendiri tanpa perlu membayar banyak.

"Ini bukan soal cepat atau lelet, tetapi hasil yang masih bagus. Panen itu soal harapan. Hasilnya bisa menentukan masa depan keluarga,” papar  Isa penuh makna.

Sekedar tambahan: meski teknologi terus berkembang, pertanian tetap menjadi bagian dari budaya yang kaya nilai dan tradisi. Setiap pilihan punya alasan tersendiri. Baik manual maupun mesin, semua kembali pada konteks petani di lapangan.

Banyak kalangan berharap ada keseimbangan antara pelestarian cara lama dan penerapan cara baru. Dengan begitu, pertanian bisa berkembang tanpa meninggalkan akar budaya yang sudah lama mengakar.

Kebijakan yang adil dan dukungan alat pertanian yang merata menjadi langkah strategis agar semua petani, baik tradisional maupun modern, bisa panen dengan tenang dan sejahtera.*

Tidak ada komentar untuk "Manual Vs Mesin Padi, Begini Petuah Petani Sampang! "