Asal Usul Desa Sukun Panceng Gresik Membuka Tabir Sejarah Sukodono
![]() |
Sumur sukun/sastraNusa.id/Dok.Bapak Romadji |
SastraNusa.id.Gresik-Desa Sukodono di Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, menyimpan narasi sejarah yang menarik dan penuh makna. Permukiman ini dikenal sebagai pusat kehidupan masyarakat dengan akar budaya yang kuat. Perjalanan panjang desa ini menjadi cerminan dinamika sosial dan kearifan lokal warganya. Pemahaman tentang asal usul Sukodono memberikan perspektif mendalam tentang identitas dan perkembangan wilayah tersebut hingga menjadi desa yang dikenal sekarang.
Nama Sukodono tidak muncul begitu saja melainkan hasil dari proses penggabungan dan keinginan masyarakat untuk hidup lebih baik. Dua komunitas awal menjadi fondasi utama berdirinya desa ini. Cerita turun-temurun menjadi sumber utama untuk memahami peristiwa masa lampau tersebut. Kisah ini bukan hanya tentang tempat tetapi juga tentang manusia, perjuangan, dan harmoni yang dicapai melalui penyatuan.
Keberadaan Sukodono saat ini merupakan warisan dari keputusan strategis dan kondisi sosial yang dialami pendahulu. Transformasi dari dua kampung terpisah menjadi satu kesatuan administratif menandai babak baru. Peninggalan fisik maupun kisah lisan terus dirawat sebagai pengingat akan perjalanan panjang desa. Memahami awal mula Sukodono sama dengan menghormati jejak para pendiri dan penghuni pertamanya.
Penyatuan Dua Kampung Sukun dan Bawono
Sejarah Desa Sukodono bermula jauh sebelum tahun 1948, tepatnya pada masa dua perkampungan terpisah masih berdiri sendiri. Kampung pertama bernama Sukun, dikenal sebagai tempat bermukimnya individu-individu dengan kemampuan khusus. Masyarakat Sukun diyakini memiliki pengetahuan dan ketangguhan yang membuat wilayah tersebut relatif aman. Kehidupan di Sukun berjalan dengan tatanan tradisional yang kuat dan penghormatan pada nilai-nilai tertentu.
Kampung kedua, Bawono, menghadapi tantangan berbeda. Wilayah ini dikenal sebagai kawasan dengan tingkat kemakmuran ekonomi yang mencolok. Banyak warga Bawono tergolong *sugeh* atau berkecukupan harta. Namun, kemakmuran ini menarik perhatian pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Bawono kerap mengalami gangguan keamanan, terutama perampokan, yang membuat suasana hidup tidak tenang. Ketidaknyamanan dan ancaman keamanan terus-menerus ini menjadi tekanan berat bagi penduduk.
Kesulitan yang dialami warga Bawono memicu perpindahan besar-besaran. Keputusan untuk meninggalkan Bawono dan mencari perlindungan di wilayah lain diambil sebagai solusi. Kampung Sukun, dengan reputasi keamanan dan kekuatan penduduknya, menjadi tujuan utama. Proses hijrah ini berlangsung secara bertahap namun signifikan. Penyatuan masyarakat Bawono yang berpindah dengan penduduk asli Sukun menciptakan komunitas baru yang lebih besar dan beragam. Nama desa pun mengikuti penyatuan ini, menggabungkan Sukun dan Bawono menjadi Sukodono, sebuah nama yang mencerminkan asal usulnya.
Bukti Sejarah dan Peninggalan Masa Lalu
Bukti nyata dari sejarah panjang Sukodono masih dapat ditemukan dalam bentuk beberapa situs penting. Peninggalan ini menjadi saksi bisu keberadaan kampung-kampung awal dan aktivitas masyarakatnya. Sumur Sukun dan Sumur Bono merupakan dua lokasi vital yang secara langsung terkait dengan nama kampung asal. Sumur Sukun dipercaya sebagai sumber air utama bagi penduduk kampung Sukun dulu. Sumur Bono memiliki kaitan erat dengan kehidupan di Kampung Bawono sebelum perpindahan.
Sumur Tungkak adalah situs lain yang memiliki makna khusus dalam cerita rakyat setempat. Nama dan lokasinya sering dikaitkan dengan peristiwa atau tokoh tertentu dalam sejarah lisan desa. Keberadaannya menambah kekayaan bukti arkeologis sederhana namun bermakna. Sementara itu, Tegal Semiigit merujuk pada sebuah area yang dahulu menjadi lokasi tempat ibadah atau *semigit* di Kampung Bawono. Tempat ini menjadi pusat kegiatan spiritual masyarakat Bawono sebelum mereka hijrah ke Sukun.
![]() |
Sendang biru/SastraNusa.id/Dok.Romadji |
Sendang Biru juga termasuk dalam daftar peninggalan bernilai sejarah. Sendang atau mata air ini kemungkinan besar berfungsi sebagai sumber air bersih bagi penduduk setempat pada masa lalu. Warna biru yang mungkin menjadi ciri khas atau legenda terkait sendang ini memberi kesan tersendiri. Tidak jauh dari Sukodono, terdapat juga Kampung Pakndero. Kampung ini merupakan bagian dari lingkungan sekitar Sukodono, menunjukkan bahwa permukiman di wilayah tersebut memang berkembang dari beberapa titik fokus. Keberadaan Pakndero menambah kompleksitas dan jalinan sejarah sosial kawasan Panceng.
Perjalanan Pemerintahan Desa Sukodono
Struktur pemerintahan Desa Sukodono mulai terbentuk lebih formal setelah penyatuannya. Tahun 1948 menjadi penanda resmi berdirinya Desa Sukodono sebagai satu kesatuan administratif. Sejak itu, desa ini dipimpin oleh sejumlah pemimpin yang bergelar Petinggi atau Kepala Desa. Merekalah yang mengarahkan perkembangan desa dari masa ke masa. Catatan tentang para pemimpin ini menjadi bagian penting dari historiografi Sukodono.
Petinggi ketiga yang tercatat dalam ingatan masyarakat bernama Kasnari, yang juga dikenal dengan nama Singo Asro Kasnari. Masa kepemimpinannya meninggalkan kesan tertentu dalam memori kolektif warga. Petinggi Kasnari mempunyai bayan bernama Rajit, yang kerap disebut dengan gelar Bayan Lawas. Periode kepemimpinan Singo Asri Kasnari merupakan bagian dari fase awal konsolidasi desa pasca penyatuan.
Petinggi keempat yang memimpin adalah Kastur. Kepemimpinan Kastur merupakan mata rantai penting dalam menjaga keberlanjutan pemerintahan desa.
Petinggi kelima adalah Haji Sultoni, yang memegang tampuk kepemimpinan dalam rentang waktu cukup panjang, dari tahun 1990 hingga 2006. Masa ini mencakup periode perkembangan menuju akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, membawa Sukodono menghadapi tantangan modernisasi.
Era selanjutnya dipimpin oleh Kaji Sun'an sebagai Petinggi keenam dari tahun 2007 sampai 2018. Kepemimpinan Kaji Sun'an membawa desa melangkah lebih jauh dalam pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Kepemimpinan Desa Sukodono saat ini dipegang oleh Ahmad Agam Prasetyo, Petinggi ketujuh, yang mulai menjabat sejak tahun 2019. Tugasnya adalah melanjutkan estafet kepemimpinan dan menjawab tantangan kontemporer desa.
Warisan Budaya dan Kehidupan Masa Kini
Sejarah penyatuan Sukun dan Bawono menjadi fondasi identitas kolektif warga Sukodono saat ini. Nilai-nilai seperti gotong royong, ketahanan menghadapi kesulitan, dan semangat membangun komunitas yang aman terus diwariskan. Tradisi lisan tentang asal usul desa dan tokoh-tokoh masa lalu masih diceritakan, terutama pada kesempatan tertentu atau kepada generasi muda.
Peninggalan seperti sumur-sumur kuno dan situs lainnya tetap diakui keberadaannya, meskipun fungsi praktisnya mungkin telah berubah. Upaya pelestarian situs sejarah ini menjadi bagian dari penghormatan terhadap leluhur. Kehidupan di Sukodono masa kini merupakan perpaduan antara memegang teguh tradisi dan merespon perkembangan zaman. Ekonomi desa bertumpu pada sektor pertanian, perdagangan lokal, dan semakin banyak warga yang bekerja di sektor industri di sekitar Gresik.
Pemerintahan desa di bawah kepemimpinan Petinggi Ahmad Agam Prasetyo terus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur jalan, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ruang publik menjadi prioritas. Dinamika sosial terus berlangsung, namun semangat kebersamaan yang lahir dari sejarah penyatuan dua kampung tetap menjadi perekat utama.
Desa Sukodono berdiri sebagai bukti nyata bahwa perbedaan latar belakang dan tantangan masa lalu dapat diatasi untuk membangun masa depan bersama yang lebih baik. Pemahaman akan asal usulnya bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menjadi kompas untuk langkah ke depan.*
Tidak ada komentar untuk "Asal Usul Desa Sukun Panceng Gresik Membuka Tabir Sejarah Sukodono"