Kenapa Orang Dahulu Melarang Bepergian Saat Senja Muncul!

Kenapa Orang Dahulu Melarang Bepergian Saat Senja Muncul!
Kenapa Orang Dahulu Melarang Bepergian Saat Senja Muncul! (Ilustrasi)

SastraNusa.id - Bayangan panjang merayap di tanah saat matahari mulai tenggelam. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan suara jangkrik perlahan menggantikan riuh suara siang. Di banyak desa, langkah kaki mulai berkurang. Tidak ada yang berseliweran, kecuali suara pintu yang ditutup dari dalam.

Di tengah aroma tanah yang mengering, terdengar bisikan larangan yaitu “Jangan keluar selepas magrib.” Ujaran itu diwariskan turun-temurun. Bukan sekadar omong kosong, melainkan peringatan yang dibungkus oleh ketakutan kolektif. Sebuah pesan yang menempel erat di kepala anak-anak hingga mereka tumbuh dewasa.

Cerita tentang larangan tersebut hidup bukan hanya di satu wilayah. Dari tanah Sunda, Jawa, hingga pelosok Sumatra, larangan serupa terus bergema. Ada yang percaya karena mitos, ada pula yang menjadikannya bagian dari etika sosial yang sakral.

Akar Tradisi dan Kepercayaan Leluhur

Larangan bepergian saat matahari tenggelam tidak muncul begitu saja. Dalam kacamata budaya, senja menjadi batas antara dua dunia. Masing-masing, dunia manusia dan dunia makhluk tak kasat mata. Transisi ini dianggap waktu paling rawan, ketika gerbang halus mulai terbuka.

Kepercayaan masyarakat Jawa mengenal “wewayangan”, saat bayangan menjadi samar dan makhluk halus berkeliaran. Senja dianggap sebagai saat ketika kekuatan tak terlihat lebih leluasa. Maka, larangan keluar rumah bukan hanya tentang keselamatan fisik, melainkan juga perlindungan spiritual.

Di masyarakat Bugis, dikenal pula istilah “mallise’”, waktu petang yang sakral, yang menandai saat anak-anak harus sudah berada di rumah. Tradisi ini mengakar kuat, bahkan ketika alasan rasional belum mampu menjelaskan secara gamblang bahaya nyata yang ditakutkan.

Pertimbangan Sosial yang Tersembunyi

Meski larangan ini tampak berbalut mistis, ada alasan sosial yang sebenarnya cukup masuk akal. Waktu senja hingga malam adalah waktu berkumpulnya keluarga. Kehangatan rumah diharapkan bisa menjadi pelindung terakhir setelah aktivitas luar yang melelahkan.

Orang tua menginginkan anak-anaknya berkumpul sebelum malam benar-benar datang. Dalam konteks ini, larangan bepergian bukan hanya bentuk kepedulian, melainkan cara lembut untuk membangun keterikatan. Senja menjadi penanda waktu istirahat, bukan saat memulai perjalanan.

Selain itu, pada masa lalu, penerangan sangat terbatas. Berjalan di malam hari mengundang bahaya yakni hewan buas, perampok, atau kecelakaan di jalanan yang tidak rata. Larangan tersebut, dalam wujudnya yang sederhana, menjadi bentuk pencegahan yang efektif dan penuh makna.

Peran Cerita Mistis dalam Menjaga Ketaatan

Mitos-mitos sering kali menjadi alat penguat larangan. Cerita tentang hantu penunggu senja, pocong yang berjalan di batas kampung, atau kuntilanak yang menunggu di pohon besar. Jadi semua itu bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Narasi tersebut menjadi “tameng sosial”.

Anak-anak lebih mudah diatur dengan rasa takut. Maka, cerita mistis menjadi strategi orang tua untuk memastikan tak ada yang berani keluar rumah saat malam menjelang. Di balik itu, nilai-nilai moral seperti sopan santun, hormat pada waktu, dan kedisiplinan ikut terbentuk.

Keberadaan makhluk halus dalam narasi rakyat bukan sekadar horor, melainkan simbol dari hal-hal yang tak bisa dijelaskan logika. Mereka menjadi metafora untuk bahaya yang tak kasat mata baik secara fisik maupun sosial.

Transisi Menuju Zaman Modern

Seiring berkembangnya teknologi, larangan bepergian selepas matahari tenggelam mulai terkikis. Jalanan kini terang benderang, kendaraan lebih cepat dan aman, serta kepercayaan pada hal-hal mistis mulai luntur.

Namun, warisan budaya tidak mudah hilang. Di banyak tempat, pantangan itu tetap dijaga, meski dengan alasan yang berbeda. Bukan lagi soal makhluk halus, melainkan soal kebiasaan menjaga diri, rasa aman, dan prioritas untuk waktu bersama keluarga.

Beberapa keluarga bahkan menjadikan waktu senja sebagai momen refleksi. Tak sedikit yang masih mengajarkan anak-anak mereka untuk menghormati waktu magrib, berhenti bermain, dan kembali ke rumah.

Menimbang Ulang Nilai di Balik Larangan

Membongkar alasan di balik larangan orang dulu bukan berarti menolaknya. Justru sebaliknya, dari sana bisa ditemukan nilai-nilai penting yang relevan dengan kehidupan masa kini yakni rasa aman, keterikatan keluarga, dan penghormatan pada waktu.

Tradisi dan budaya adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Ketika nilai-nilai luhur tetap dijaga, meski dibalut oleh alasan baru, budaya tidak punah. Apa itu? Tentu jawabannya berevolusi. Larangan yang dulunya terdengar mistis, kini bisa dimaknai sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang.

Waktu senja tetap menjadi momen magis. Saat cahaya mulai meredup dan langit berubah warna, ingatan akan pesan orang tua kembali hadir. Bukan untuk ditakuti, tetapi untuk direnungkan: bahwa dalam diamnya senja, ada kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman.

Larangan bepergian saat matahari tenggelam bukan sekadar mitos atau tradisi kosong. Di baliknya, tersimpan nilai-nilai sosial, spiritual, dan budaya yang dalam. Meski zaman telah berubah, pesan moral yang terkandung di dalamnya tetap relevan. Senja tak lagi menakutkan, tetapi tetap sakral sebagai pengingat bahwa hidup butuh jeda, dan setiap waktu memiliki makna.*

Tidak ada komentar untuk "Kenapa Orang Dahulu Melarang Bepergian Saat Senja Muncul!"