Kirana, Denting Karya yang Menari di Atas Panggung Jawa Timur
![]() |
Siswi SMA WAHID HASYIM MODEL Sumberwudi/SastraNusa.id/Zuhdi.swt |
SastraNusa.id - Langit sore di atas gedung kesenian itu tampak bersahabat. Semilir angin menyusup pelan melalui celah-celah jendela tua, mengantar aroma harum dupa dan bedak panggung yang melekat kuat di balik layar.
Dalam balutan gamelan yang mengalun syahdu, satu per satu peserta dari berbagai SMA di Jawa Timur menampakkan diri ke atas panggung.
Mereka membawa ragam tarian kreasi tradisional, hasil perenungan budaya dan kerja keras berbulan-bulan.
Namun, dari semua pertunjukan yang memadati hari itu, satu penampilan mencuri perhatian nyaris tanpa ampun.
SMA Wahid Hasyim Model Sumberwudi memecah keramaian dengan suguhan karya bertajuk Kirana, koreografi memikat dari tangan Ferry Irawan.
Kirana bukan sekadar tarian. Ia adalah narasi visual yang menyusupkan kisah, rasa, dan warna ke dalam jiwa siapa pun yang menyaksikan.
Sorotan lampu menari lembut di atas kain batik yang dikenakan para penari. Gerakannya ringan, namun penuh makna, menggambarkan ketegasan dan keanggunan dalam satu helaan nafas.
Di bawah gemuruh tepuk tangan penonton, terlihat jelas bahwa Kirana bukan hanya dirancang untuk ditonton—namun juga untuk dirasakan.
Koreografi Ferry Irawan menunjukkan kematangan konsep yang tidak hanya menjual gerak, tetapi juga kedalaman cerita.
Melalui gerak tangan yang melengkung dan permainan mimik yang presisi, Kirana menggambarkan perjalanan jiwa perempuan Jawa dalam menghadapi zaman. Dia tak sekadar berjalan dalam tradisi, tapi juga menari bersamanya justru membentuk makna baru dari warisan lama.
Perhelatan ini digelar sebagai bentuk apresiasi terhadap seni tari kreasi tradisional yang kian hidup di kalangan generasi muda. Kemudian, puluhan SMA dari berbagai kota di Jawa Timur ambil bagian dengan semangat yang menggelora.
Ada yang membawa tari bertema legenda, ada yang memilih kisah rakyat setempat, namun semua menunjukkan satu hal, yakni, budaya bukan peninggalan, tapi napas yang terus dihidupkan.
Dalam atmosfer ini, Kirana berdiri kokoh sebagai karya yang tak hanya indah secara estetika, tetapi juga kuat secara pesan.
Data panitia mencatat lebih dari 30 penampilan ditampilkan dalam rangkaian acara yang berlangsung dua hari penuh.
Jumlah penonton yang hadir secara langsung pun membludak hingga ratusan, belum termasuk yang menonton melalui siaran langsung daring.
Keterlibatan Ferry Irawan sebagai koreografer juga memberikan sentuhan khas yang membedakan Kirana dari tarian lain di ajang ini.
Namanya bukan asing dalam dunia tari kontemporer berakar tradisi di Jawa Timur.
Melalui tangan Ferry, Kirana disulam dengan detail yang teliti—mulai dari pemilihan musik pengiring, pola gerakan, hingga nuansa kostum.
Ia memastikan bahwa setiap aspek menyatu dalam satu kesatuan naratif yang utuh dan memikat.
Menurut analisa dari pengamat seni lokal, Kirana mencerminkan keberanian dalam menyuarakan identitas lokal tanpa terjebak pada pola lama.
Ada elemen inovatif yang tetap berpijak pada akar tradisi, membuatnya relevan dengan selera generasi sekarang.
Bagi SMA Wahid Hasyim Model Sumberwudi, keberhasilan ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang dalam ranah kesenian.
Mereka menanamkan bahwa belajar tidak hanya soal angka dan teori, tapi juga tentang menjiwai apa yang menjadi bagian dari kebudayaan.
Seni menjadi jembatan yang menyatukan banyak hal, yakni sejarah, ekspresi, hingga mimpi.
Dan di atas panggung itu, Kirana menjelma menjadi manifestasi dari semangat muda yang berakar kuat dalam budaya lokal.
Tarian ini bukan hanya tentang tubuh yang bergerak. Ia adalah bahasa tak bersuara yang menggema lebih nyaring dari kata-kata.
Tak dapat dipungkiri, acara tahunan seperti ini menjadi bukti bahwa Jawa Timur masih menjadi ladang subur bagi lahirnya karya-karya tari yang menginspirasi.
Dengan pendampingan yang baik dan ruang ekspresi yang terbuka, generasi muda mampu menghasilkan karya yang tidak hanya layak tonton, tetapi juga layak dikenang.
Kirana menjadi contoh nyata bagaimana sebuah sekolah bisa hadir membawa nama, bukan hanya dalam dunia akademik, tapi juga dalam arena kebudayaan.
Di sinilah pendidikan menemukan wajah lengkapnya—antara kepala yang berpikir dan tubuh yang menari bersama nilai-nilai warisan bangsa.
Sebagaimana tari yang tak pernah benar-benar berhenti, semangat anak-anak muda ini juga akan terus berlanjut.
Mereka akan terus mencipta, menari, dan menyuarakan apa yang belum sempat dikisahkan oleh generasi sebelumnya.
Dengan demikian, Kirana bukan sekadar kemenangan dalam satu ajang seni. Ia adalah bukti bahwa tradisi bisa tetap muda di tangan yang tepat.
Dan saat panggung kembali gelap, aroma dupa perlahan hilang dari udara. Namun, jejak langkah Kirana tetap tertinggal dalam benak siapa pun yang menyaksikannya, yakni, menari dalam ingatan, selamanya.*