Sebagian Orang Lamongan Melarang Diri Makan Ikan Lele, Kenapa?

Sebagian Orang Lamongan Melarang Diri Makan Ikan Lele, Kenapa?
Sebagian Orang Lamongan Melarang Diri Makan Ikan Lele, Kenapa? (Ilustrasi) 

SastraNusa.id, Lamongan - Langit senja menggantung di atas pematang sawah Lamongan, tempat suara gemericik air berpadu dengan denting kehidupan desa. Di satu sudut warung tenda, aroma ikan goreng menggoda selera. Namun, saat ditanya mengapa tak memesan lele, seorang pria tua hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Ndak doyan, Mas. Sudah dari kecil, ndak makan itu."

Cerita seperti itu bukan hal asing di daerah pesisir Jawa Timur tersebut. Di balik keputusan sederhana itu, tersimpan warisan nilai dan kisah lama yang terus terpelihara. Pilihan untuk tak menyentuh lele bukan sekadar soal selera, melainkan jejak panjang dari keyakinan yang masih hidup di tengah masyarakat.

Banyak yang mengira alasan tersebut berkaitan dengan rasa atau kebersihan. Namun, semakin digali, semakin tampak bahwa keputusan ini berakar dalam pada sesuatu yang tak kasat mata: mitos, sejarah, dan spiritualitas lokal yang terus bertahan melampaui zaman.

Jejak Sejarah dan Warisan Cerita Rakyat

Masyarakat Lamongan tumbuh dalam lanskap sosial yang sarat cerita rakyat. Salah satunya berkaitan dengan legenda Sunan Giri dan pengaruh penyebaran Islam di Jawa. Konon, dalam beberapa versi tutur, ikan lele dianggap sebagai hewan yang tidak patuh atau terkait dengan peristiwa tidak baik. Oleh karena itu, muncul pantangan tak tertulis untuk menghindari konsumsi lele.

Cerita ini diwariskan turun-temurun. Meski tak tertulis dalam naskah resmi sejarah, ia hidup dalam ingatan kolektif. Ketika anak-anak tumbuh, mereka tak hanya diajarkan sopan santun, tetapi juga disuguhkan kisah yang membentuk identitas termasuk pilihan makan.

Simbolisme dalam Kehidupan Spiritual

Bagi sebagian orang Lamongan, lele bukan hanya makhluk air biasa. Ia menjadi simbol tertentu dalam praktik kepercayaan setempat. Di kalangan tertentu, lele dikaitkan dengan energi negatif atau dianggap sebagai binatang ‘penjaga’ dari entitas tak kasat mata.

Karena itulah, mengonsumsi lele bisa dianggap mengundang ‘ketidakharmonisan’ dalam hidup. Kepercayaan seperti ini kerap diiringi oleh laku prihatin, semacam pengendalian diri dari hal-hal yang bisa mengganggu keseimbangan batin dan alam.

Preferensi Kultural dan Tekanan Sosial

Di beberapa komunitas, memilih tidak makan lele juga berfungsi sebagai identitas kultural. Ini bisa menjadi simbol dari kelompok atau keluarga tertentu. Bahkan dalam pergaulan, tekanan sosial turut berperan. Saat seseorang tumbuh dalam lingkungan yang menjauhi lele, ikut-ikutan menjadi hal yang wajar.

Lambat laun, larangan itu menjadi kebiasaan. Walaupun alasan spiritual atau mitologisnya sudah kabur, praktiknya tetap dijalankan. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh norma sosial dalam menentukan pola makan seseorang.

Perubahan di Era Modern

Kendati sebagian masih memegang teguh pantangan tersebut, arus modernisasi mulai mengikis batas-batas lama. Restoran cepat saji dan olahan lele modern menggoda generasi muda yang mulai berpikir praktis. Tak sedikit yang memilih mencoba, lalu terbiasa.

Namun, ada pula yang tetap bertahan. Bukan karena takut, melainkan menghormati nilai-nilai yang telah diwariskan. Di balik itu semua, tersimpan usaha menjaga keutuhan identitas, meski harus berhadapan dengan godaan zaman.

Antara Mitos dan Realitas

Tak dapat dipungkiri, banyak pantangan makan di berbagai daerah sering berakar pada mitos yang sulit diverifikasi. Namun, bukan berarti cerita itu tak berarti. Justru dari mitos, bisa digali pemahaman tentang nilai lokal, cara pandang terhadap alam, serta etika hidup masyarakat tradisional.

Lamongan menjadi contoh menarik bagaimana makanan tak hanya soal rasa dan gizi, tetapi juga tentang warisan, kehormatan, serta identitas. Lele, dalam hal ini, menjadi cermin dari bagaimana masyarakat memaknai kehidupan secara lebih dalam.

Menolak makan lele di Lamongan bukanlah hal yang aneh jika menilik akar sejarah dan spiritual yang membentuknya. Pilihan ini bukan hanya tentang rasa, melainkan cermin dari penghormatan terhadap tradisi. Meski zaman berubah, nilai-nilai semacam ini masih bertahan, menjadi penanda bahwa dalam setiap hidangan terselip kisah dan keyakinan yang tak bisa diabaikan.*

Link copied to clipboard.