Tradisi Pelandang Gresik Semakin Keren, Kok Bisa?
![]() |
Gamabar ini Ilustrasi |
SastraNusa.id - Gresik bukan sekadar kota industri dan sejarah, melainkan ruang hidup yang menyimpan kekayaan budaya lokal yang unik. Salah satu warisan tradisi yang terus bertahan dan bahkan semakin berkembang dari waktu ke waktu adalah Pelandang.
Di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi ini justru mampu menemukan ritmenya sendiri dalam perubahan zaman. Pelandang bukan sekadar kegiatan budaya musiman, melainkan cermin dari daya hidup masyarakat pesisir yang begitu kokoh merawat identitasnya.
Pelandang merujuk pada tradisi berburu ikan atau hasil laut lainnya di malam hari, menggunakan obor dari bambu atau lampu minyak sebagai pencahayaan. Aktivitas ini awalnya lahir dari kebutuhan ekonomi warga nelayan, namun perlahan berkembang menjadi budaya lokal yang penuh makna simbolis.
Di sejumlah desa pesisir Gresik seperti Banyuurip, Lumpur, dan Kroman, tradisi ini telah hidup berpuluh-puluh tahun lamanya. Yang membedakan masa kini dari masa lalu adalah bagaimana Pelandang menjelma dari aktivitas ekonomi menjadi seni pertunjukan dan atraksi budaya.
Apa itu Pelandang?
Pelandang adalah sebuah tradisi sosial yang hidup dan tumbuh subur dalam masyarakat Gresik, khususnya di wilayah Kecamatan Dukun. Tradisi ini bukan sekadar aktivitas gotong royong biasa, melainkan perwujudan nilai kebersamaan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pelandang terjadi dalam momen istimewa, yakni ketika salah satu warga akan melangsungkan hajat pernikahan.
Pada hari sebelum akad, sejak pagi buta, tetangga dan sanak saudara berdatangan ke rumah calon pengantin. Mereka hadir bukan sebagai tamu, melainkan sebagai tangan-tangan yang siap membantu, sebagai wujud solidaritas dan rasa memiliki terhadap sesama.
Dalam peristiwa pelandang, berbagai persiapan teknis dilakukan secara bersama-sama. Warga yang datang akan membantu memasang janur kuning di depan rumah sebagai simbol sukacita, menata meja dan kursi untuk tamu undangan, hingga membersihkan halaman agar tampak rapi dan layak.
Tidak jarang pula kaum ibu turut serta menyiapkan konsumsi, mulai dari memasak hingga menyusun hidangan untuk acara besar keesokan harinya. Segala proses itu dilakukan tanpa pamrih, tanpa perlu diminta secara formal. Pelandang bukan sekadar kerja bakti, melainkan ekspresi rasa saling peduli dan semangat kekeluargaan yang mengakar kuat.
Tradisi ini memperlihatkan bahwa masyarakat Dukun, Gresik, tidak hanya memaknai pernikahan sebagai urusan dua insan, melainkan sebagai perayaan bersama yang harus dipersiapkan dan dirayakan secara kolektif.
Bahkan anak-anak pun diajak serta agar nilai-nilai ini mengalir alami dalam diri generasi berikutnya. Dalam pelandang, tidak ada hirarki antara kaya dan miskin, tua dan muda—semua melebur dalam peran masing-masing, bekerja sama tanpa memandang status sosial.
Kehadiran pelandang juga menunjukkan bahwa budaya lokal masih memegang peran penting dalam merawat jalinan sosial di tengah arus modernisasi.
Di era ketika banyak hubungan sosial mulai renggang oleh kesibukan dan individualisme, pelandang tampil sebagai pengingat bahwa masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang saling terlibat, saling membantu, dan tidak membiarkan satu sama lain berdiri sendiri dalam menghadapi momen penting dalam hidup.
Dari Kebutuhan ke Atraksi Budaya
Pergeseran fungsi Pelandang menjadi tontonan yang dinanti banyak orang, tak lepas dari kreativitas masyarakat lokal yang tak ingin warisan leluhur tergerus zaman. Dalam dua dekade terakhir, tradisi ini disulap menjadi bagian dari festival budaya tahunan yang diselenggarakan secara kolaboratif oleh warga, pemerintah daerah, serta komunitas seni setempat.
Pemandangan para pelandang berjalan di tengah gelapnya malam, dengan cahaya obor yang berkedip-kedip di sepanjang garis pantai, kini bukan hanya urusan mencari ikan, tetapi juga peristiwa visual yang memukau dan simbolis.
Lanskap pantai yang gelap justru menjadi panggung alam yang menyatukan manusia dengan laut, tradisi dengan alam, kerja keras dengan spiritualitas. Ada semacam semangat kontemplatif dalam setiap langkah kaki para pelandang yang menelusuri pasir basah, menyibak air, dan menantang sunyi mmalam
Unsur estetika inilah yang akhirnya membuka ruang apresiasi lebih luas dari publik. Tak sedikit fotografer, pegiat seni, hingga wisatawan lokal tertarik menyaksikan dan mengabadikan momen langka ini.
Transformasi Visual dan Teknologi Tradisi
Tradisi yang dulunya sederhana ini kini tampil lebih artistik dan terorganisir. Beberapa komunitas seni mengembangkan Pelandang menjadi pertunjukan visual dengan kostum, pencahayaan buatan, serta tata musik yang menyatu dengan suara ombak.
Bahkan di sejumlah kesempatan, tarian massal pun dikolaborasikan untuk membuka acara. Meski ada penambahan elemen modern, esensi Pelandang tetap terjaga sebagai bentuk penghormatan terhadap laut dan keberanian menantang malam.
Teknologi justru menjadi alat penguat tradisi, bukan penghancurnya. Dokumentasi digital melalui media sosial telah mengangkat Pelandang ke tingkat popularitas baru. Video-video yang menampilkan para pelandang dengan sinar api yang bergerak di tengah malam, mampu menyita perhatian netizen dari luar daerah. Di sinilah letak kekerenan baru Pelandang: ia tidak hanya hidup di medan fisik Gresik, tapi juga di ruang virtual yang tak berbatas.
Ruang Edukasi dan Regenerasi Tradisi
Tradisi ini tidak lagi eksklusif milik para nelayan senior. Anak-anak muda mulai dilibatkan dalam perhelatan budaya ini sebagai bentuk regenerasi. Pelatihan dilakukan melalui komunitas pemuda, karang taruna, hingga sanggar seni lokal.
Ada kesadaran bersama bahwa warisan budaya tidak akan bertahan tanpa pelibatan generasi baru. Maka Pelandang tidak hanya dikenalkan sebagai tontonan, tetapi juga sebagai pengetahuan hidup yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Beberapa sekolah dan lembaga pendidikan di Gresik mulai mengangkat Pelandang sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal. Murid-murid diajak mengenali sejarah, simbol, serta nilai-nilai filosofis di balik tradisi tersebut.
Langkah ini membuka harapan bahwa Pelandang tidak akan berhenti di zaman ini, tetapi terus berjalan ke masa depan sebagai identitas kebudayaan yang tetap relevan.
Pelandang Sebagai Perlawanan Lembut Terhadap Globalisasi
Tak bisa dimungkiri, arus globalisasi membawa banyak tantangan bagi budaya lokal. Namun Pelandang mampu menunjukkan bahwa tradisi tidak harus ditinggalkan agar terlihat modern. Justru, kekuatan budaya lokal terletak pada kemampuannya beradaptasi tanpa kehilangan akar.
Pelandang menjadi bentuk perlawanan lembut terhadap homogenisasi budaya global yang sering kali menepikan kearifan lokal. Tradisi ini membuktikan bahwa kearifan masyarakat pesisir bisa tampil keren, memesona, dan bermakna.
Apa yang menjadikan Pelandang semakin keren bukan karena ia berubah menjadi spektakel semata, melainkan karena ia tetap hidup, bergerak, dan dimaknai ulang oleh masyarakatnya.
Di tengah dunia yang sibuk dengan kecepatan, tradisi ini hadir seperti pelan tapi dalam, tenang tapi menancap. Gresik tak hanya menyimpan sejarah, tetapi juga menghidupinya dalam bentuk yang tak lekang oleh zaman.*
Tidak ada komentar untuk "Tradisi Pelandang Gresik Semakin Keren, Kok Bisa?"