Kisah di Balik Isu Mandangin Sebagai Tempat Pembuangan Orang Berpenyakit Kulit
![]() |
Bangsacara dan Ragapatmi duduk bersama di Hutan/Ilustrasi |
SastraNusa.id, Sampang - Pulau Mandangin di pesisir selatan Kabupaten Sampang dikenal sebagai pulau nelayan yang tenang dan sederhana. Namun, di balik suara perahu motor dan riuh anak-anak bermain di pesisir, tersimpan kisah cinta yang menggurat luka dalam sejarah lisan Madura.
Kini, isu tentang pulau Mandangin pernah menjadi tempat pembuangan orang-orang yang mengidap penyakit lepra pada masa kolonial menyeruak kembali. Namun dibalik itu ada cerita yang lebih dalam, lebih menyentuh, dan lebih romantis.
Apa itu? Yakni sebuah legenda yang telah beredar turun-temurun. Kisah itu bukan berkenaan dengan rakyat biasa, tapi tentang seorang putri (Ada yang bilang istri) raja dan abdi setia yang kisahnya menyerupai Romeo dan Juliet dalam balutan khas budaya lokal.
Nama-nama dalam cerita itu terus dihidupkan dari mulut ke mulut. Yakni, Ragapadmi (seorang permaisuri atau puti kerajaan) dan Bangsacara (Sebagai abdi kerajaan yang setia). Cinta mereka tumbuh bukan dalam kemewahan istana. Tetapi lahir dalam luka, pengasingan, dan pengkhianatan.
Putri Ragapadmi dan Penyakit yang Mengubah Takdir
Ragapadmi adalah istri Raja Widarba. Sosok perempuan ini konon sangat cantik, anggun, dan mencerminkan kemuliaan kerajaan. Namun takdir berubah saat dia tiba-tiba terserang penyakit kulit yang menjijikkan. Tubuhnya dipenuhi borok, wajahnya tertutup cacar, dan aroma tubuhnya membuat orang-orang menjauh. Waktu itu, sebagian masyarakat menyebut penyakit itu adalah lepra. Sebagiannya lagi hanya menyebut sebagai borok busuk yang tak tersembuhkan.
Karena dianggap aib dan memalukan jika tetap berada di lingkungan istana, sang raja pun memerintahkan abdi kepercayaannya, yakni Bangsacara, untuk membawa permaisuri pergi jauh dari pusat kerajaan. Tempat yang dipilih bukan rumah pengasingan, melainkan rumah ibunya sendiri di sebuah desa terpencil.
Tinggal jauh dari kemewahan istana, Ragapadmi dirawat penuh kasih oleh ibu Bangsacara. Air bunga dan ramuan tradisional diberikan setiap hari. Perlahan, kondisi Ragapadmi membaik. Luka di tubuhnya mengering. Wajahnya kembali cantik dan corak bersinar. Keanggunannya kembali tumbuh. Akhirnya perempuan istana ini pulih sepenuhnya, tak hanya dari sisi fisik, tetapi juga batin yang sempat terpuruk.
Cinta Bersemi, Namun Tak Direstui Takdir
Saat Bangsacara kembali ke desa dan melihat perubahan Ragapadmi, perasaan yang lama dipendam tumbuh tak terbendung. Tatapan matanya tak lagi melihat permaisuri sang raja, melainkan seorang perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta. Ragapadmi pun membalas perasaan itu. Sehingga akhirnya mereka hidup bersama dengan damai, jauh dari hiruk pikuk kerajaan, melupakan status, melupakan aturan.
Namun cinta sejati jarang dibiarkan tumbuh tanpa rintangan. Di istana, Bangsapati yang selama ini memendam rasa cemburu dan haus kekuasaan mulai menggerakkan intrik. Patih antagonis ini melaporkan kepada sang raja, bahwa Ragapadmi sudah sehat dan seharusnya kembali ke istana. Namun dia justru menambahkan kabar fitnah, yakni penyakit sang permaisuri menular dan bisa membahayakan kerajaan jika kambuh lagi.
Mendengar laporan itu, raja memutuskan mengirim Bangsacara berburu ke Pulau Mandangin, sebuah pulau sepi yang terkenal dengan hutannya. Namun misi itu hanyalah jebakan. Di tengah sunyi pepohonan pulau, Bangsacara dibunuh secara diam-diam oleh sang patih yang licik.
Tragedi di Pulau Mandangin
Singkatnya, kematian Bangsacara mengiris hati Ragapadmi. Saat kabar itu sampai di telinganya, perempuan ini langsung menuju Pulau Mandangin. Ketika melihat jasad kekasihnya terbaring tak bernyawa, kesedihan meruntuhkan segalanya. Dengan keris kecil yang dibawanya, Ragapadmi menghunuskan senjata itu ke dadanya sendiri. Akhirnya dia meninggal di sisi lelaki yang mencintainya sepenuh jiwa.
Menurut data yang berhasil SastraNusa.id himpun, kematian mereka menjadi kabar duka yang menyentuh masyarakat. Pengkhianatan Patih Bangsapati akhirnya terbongkar dan hukum kerajaan dijatuhkan padanya. Dia dihukum mati karena telah membunuh abdi setia dan menyebabkan kematian sang permaisuri.
Kabarnya, jasad Ragapadmi dan Bangsacara tidak dibawa kembali ke istana. Seorang pedagang yang singgah di pulau itu menguburkan mereka berdampingan. Makam mereka hingga kini, dipercaya masih ada dan menjadi tempat ziarah.
Legenda Cinta yang Dihidupkan Kembali
Kisah Ragapadmi dan Bangsacara bukan hanya dongeng yang mengendap dalam ingatan tua. Di kalangan budayawan Madura, cerita ini dianggap sebagai kisah cinta paling menyentuh yang dimiliki pulau garam. Bahkan ada yang mengatakan tragedi Romeo dan Juliet Madura, yakni dengan kekuatan budaya yang lebih kuat dan khas.
Legenda ini pernah dihidupkan kembali oleh komunitas teater kampus di Madura. Yaitu dengan sebuah pementasan epik yang berhasil digelar dengan menggabungkan kisah cinta, intrik istana, dan aroma lokal lewat iringan gamelan Madura. Pertunjukan itu tak hanya menyajikan cerita, tetapi juga membangkitkan rasa bangga pada warisan sastra dan sejarah lisan Madura.
Musik gamelan dan tembang berbahasa Madura digunakan untuk memperdalam suasana. tentunya saat pementasan, ada sorotan lampu yang mengiringi adegan pembunuhan dan bunuh diri secara gerakan simbolik. Pastinya saat pementasan, penonton dibuat larut dalam alur, seolah ikut merasakan getirnya cinta yang tertindas kekuasaan dan fitnah.
Warisan Budaya di Tengah Laut
Pulau Mandangin kini masih berdiri sebagai saksi bisu legenda itu. Masyarakatnya hidup dengan kesadaran bahwa tanah yang dipijak menyimpan kisah yang tak kalah sakral dari dongeng-dongeng besar dunia. Setiap kali perahu melintas di sekitar pulau itu, sebagian pelaut masih menunduk sebentar, sebagai bentuk penghormatan pada cinta yang abadi.
Bagi sebagian kalangan muda Madura, kisah ini menjadi inspirasi dalam membentuk karya seni. Bahkan tidak sedikit yang menuangkan ceritanya ke dalam puisi, drama, bahkan naskah film pendek. Semua itu memperkuat posisi cerita Ragapadmi dan Bangsacara sebagai bagian dari ingatan kolektif masyarakat Madura yang tak lekang oleh waktu.
Legenda ini membuktikan bahwa cinta sejati mampu menembus batas, bahkan ketika dunia seolah tidak mengizinkannya terjadi. Di tengah laut, di pulau kecil yang tenang, cinta itu tetap hidup. Melalui dituturkan dan dipercaya sebagai kisah nyata yang telah menjadi bagian dari jiwa Madura, kisah ini tentu aset atau termasuk kekayaan Madura.
Tidak ada komentar untuk "Kisah di Balik Isu Mandangin Sebagai Tempat Pembuangan Orang Berpenyakit Kulit"