TERBARU

Mengapa Sebagian Orang Indonesia Sulit Menerima Pendapat Berbeda?

Mengapa Sebagian Orang Indonesia Sulit Menerima Pendapat Berbeda?
Mengapa Sebagian Orang Indonesia Sulit Menerima Pendapat Berbeda? (Ilustrasi) 

SASTRANUSA - Indonesia terkenal dengan keberagaman budaya, bahasa, dan adat istiadat. Di tengah kekayaan tersebut muncul kebiasaan yang sering dibicarakan, yaitu, kecenderungan sebagian masyarakat menolak pandangan yang tidak sejalan. Fenomena ini bukan sifat bawaan, melainkan hasil dari perjalanan sejarah, pola pendidikan, serta kebiasaan sosial yang diwariskan. Sementara memahami penyebabnya, tentu akan membantu kita menumbuhkan budaya dialog yang lebih terbuka dan menghargai perbedaan.

Budaya Hierarki yang Masih Mengikat

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia menjunjung tinggi rasa hormat kepada orang yang lebih tua atau memiliki kedudukan. Nilai ini bernilai positif, tetapi kerap membuat percakapan menjadi berat sebelah. Saat seseorang menyampaikan gagasan berbeda kepada atasan atau tokoh senior, sikap itu sering dianggap menentang. Maka itu demi menjaga keharmonisan dan wibawa, banyak orang memilih mempertahankan pandangan sendiri meskipun sebenarnya dapat menerima masukan baru.

Kebiasaan hierarkis terlihat jelas di kantor maupun lingkungan pendidikan. Diskusi dengan pemimpin atau guru sering berjalan satu arah karena bawahan atau siswa merasa sungkan bertanya kritis. Diam menjadi pilihan aman agar tidak dianggap tidak sopan. Perlahan, sikap seperti ini menumbuhkan rasa defensif yang menghambat proses pertukaran ide dan mempersulit pemahaman bersama.

Ketimpangan kekuasaan juga memperkuat keyakinan bahwa pendapat seseorang yang memiliki jabatan tinggi selalu benar. Perbedaan pandangan kerap dipandang sebagai ancaman bagi tatanan yang sudah ada. Ketika perbedaan dianggap bahaya, dialog berhenti dan kesempatan menemukan kesepahaman pun hilang.

Nilai Harmoni yang Dijaga Ketat

Prinsip hidup rukun dan gotong royong menjadi ciri khas masyarakat Nusantara. Nilai kebersamaan ini mendorong banyak orang mengutamakan kedamaian dibanding kemenangan dalam perdebatan. Perbedaan opini sering dianggap sebagai pemicu pertengkaran sehingga penolakan terhadap pendapat lain muncul agar suasana tetap tenang. Sikap tersebut lahir dari niat baik, tetapi menahan perkembangan tradisi berdiskusi.

Dorongan menjaga keharmonisan membuat sebagian orang menahan diri ketika memiliki argumen kuat. Mereka khawatir percakapan akan berubah menjadi konflik. Akibatnya, kesempatan memperluas wawasan berkurang karena perbedaan dilihat sebagai masalah, bukan peluang. Padahal, diskusi sehat mampu memperkaya pemahaman dan mempererat hubungan antarindividu.

Tekanan sosial untuk selalu sejalan dengan kelompok juga menambah tantangan. Lingkungan yang terbiasa seragam merasa terganggu ketika ada anggota yang berbeda pandangan. Ide baru yang seharusnya membuka cakrawala malah ditolak demi mempertahankan kenyamanan bersama.

Pendidikan yang Minim Latihan Dialog

Sistem pendidikan di Indonesia masih menekankan hafalan daripada kemampuan analisis. Murid dilatih mengingat jawaban, bukan mengajukan pertanyaan. Akibatnya, keterampilan berargumen dan mendengarkan pendapat orang lain tidak berkembang optimal. Saat dewasa, banyak orang belum terbiasa berdiskusi secara sehat dan setara.

Guru dan dosen sering dipandang sebagai pemilik kebenaran mutlak. Siswa jarang diberi ruang mempertanyakan materi, sehingga terbentuk keyakinan bahwa mengkritik pengajar berarti tidak sopan. Ketika menghadapi perdebatan yang menuntut logika, orang mudah merasa diserang dan bertahan pada pendapat awal. Kondisi ini menutup kesempatan bagi lahirnya pemikiran kreatif.

Minimnya latihan berdialog juga membuat kritik kerap dianggap serangan pribadi. Kritik yang seharusnya menjadi masukan positif malah dipandang sebagai upaya merendahkan. Reaksi emosional pun lebih dominan daripada keinginan memahami isi pesan. Budaya diskusi yang matang hanya lahir jika pendidikan sejak dini mendorong keberanian mengemukakan ide dan mendengarkan dengan terbuka.

Ego Diperkuat Media Sosial

Media sosial mempercepat arus informasi sekaligus memunculkan tantangan baru. Percakapan daring cenderung singkat sehingga pesan mudah disalahartikan. Tulisan tanpa intonasi dapat menimbulkan kesalahpahaman dan memicu perdebatan panas. Perbedaan pendapat yang seharusnya sehat sering berubah menjadi pertengkaran.

Algoritma platform digital menampilkan konten sesuai minat pengguna. Akibatnya, orang lebih sering melihat pendapat yang sejalan dengan keyakinannya sendiri. Ketika bertemu pandangan yang benar-benar berbeda, reaksi defensif muncul karena merasa zona nyaman terganggu. Alih-alih memperluas wawasan, media sosial justru menciptakan ruang gema yang memperkuat ego.

Selain itu, sifat anonim di dunia maya membuat sebagian orang berani menulis komentar tajam tanpa memikirkan etika. Diskusi pun mudah bergeser menjadi serangan pribadi yang jauh dari tujuan awal. Situasi ini semakin menegaskan kesan bahwa masyarakat sulit menerima perbedaan, padahal masalah utamanya terletak pada cara komunikasi yang kurang terarah.

Langkah Menuju Budaya Dialog Terbuka

Kesulitan menerima pendapat bukan sifat yang permanen. Dengan langkah tepat, kebiasaan itu dapat bergeser menjadi sikap terbuka yang menguntungkan semua pihak. Salah satu kuncinya adalah mendengar aktif, yakni mendengarkan bukan untuk membalas, melainkan untuk memahami. Kebiasaan ini menumbuhkan empati dan mengurangi kesalahpahaman.

Pendidikan perlu memberi porsi besar pada pelatihan berpikir kritis. Guru dapat mendorong siswa bertanya, berdiskusi, dan menilai argumen dengan logis. Generasi muda yang terbiasa menghargai perbedaan akan tumbuh menjadi masyarakat yang siap menerima masukan. Lingkungan kerja, komunitas, dan keluarga pun bisa meniru pola dialog ini agar budaya terbuka menyebar ke seluruh lapisan.

Selain itu, literasi digital memegang peran penting. Masyarakat perlu memahami etika berkomunikasi di dunia maya dan belajar membedakan fakta dari opini. Edukasi ini membantu mengurangi ketegangan akibat informasi menyesatkan dan memupuk rasa saling menghargai.

Kecenderungan menolak pendapat berbeda bukanlah karakter abadi bangsa Indonesia. Faktor budaya, pola pendidikan, dan pengaruh media digital membentuk cara masyarakat merespons perbedaan. Dengan membiasakan diskusi sehat, mendukung pendidikan kritis, dan meningkatkan literasi digital, masyarakat dapat menumbuhkan semangat persatuan yang lebih kuat. Indonesia akan semakin kokoh bila warganya mampu berdialog dengan rasa hormat dan pikiran terbuka.*

Penulis: Sdw