Dilarang Bersiul di Malam Hari!
Dilarang Bersiul di Malam Hari! (Ilustrasi)
SastraNusa.id - Malam selalu punya cara sendiri untuk bicara. Lewat desir angin yang menyusup di celah-celah genting. Lewat daun-daun yang gemetar meski tak disentuh tangan. Lewat suara jangkrik yang seolah tidak pernah tidur. Dalam keheningan seperti itu, satu larangan mengendap di udara. Jangan bersiul di malam hari.
Larangan
itu tak pernah dijelaskan dengan panjang lebar. Tak lahir dari buku, bukan pula
dari hitungan logika. Larangan itu turun dari mulut ke mulut, dari suara para
sesepuh yang nadanya tak pernah terdengar main-main. Kamu mungkin mendengarnya
dari nenek yang duduk di tepi ranjang sambil merajut. Atau dari ayah yang
bersuara rendah saat mematikan lampu. Larangannya sederhana, tapi nadanya
menggantung. Kalau kamu bersiul di malam hari, sesuatu akan datang. Sesuatu
yang sebaiknya tidak kamu temui.
Zaman
berubah. Kota tumbuh tinggi. Cahaya tak lagi tidur. Namun larangan itu belum
sepenuhnya mati. Mungkin tak lagi disebut di sekolah, tapi tetap bernafas dalam
cerita. Jika kamu cukup peka, kamu akan tahu bahwa larangan itu menyimpan
sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa takut.
Siulan yang Tak Sederhana
Mengapa
harus siulan? Mengapa bukan teriakan, atau tawa, atau batuk? Karena siulan
bukan hanya suara. Suara itu adalah nada. Berputar. Mengalir pelan lalu menusuk
jauh ke dalam senyap. Dalam kepercayaan lama, suara semacam itu adalah isyarat.
Undangan yang dikirim tanpa alamat. Dan setiap undangan, sebagaimana kamu tahu,
berpotensi mendatangkan tamu.
Orang-orang
tua percaya bahwa malam bukan hanya milik manusia. Ada penghuni lain yang tak
bernama. Yang berjalan tanpa kaki. Yang mengamati tanpa mata. Suara siulan,
dengan seluruh keanehan nadanya, dianggap seperti kunci yang membuka tirai
dunia lain.
Tak
sedikit kisah lahir dari pelanggaran kecil ini. Orang bersiul, lalu mendengar
balasan dari arah yang kosong. Merasa diikuti. Tubuhnya menggigil bukan karena
dingin. Bulu kuduknya berdiri meski tak ada yang mendekat. Cerita seperti itu
terus hidup, sebab rasa takut jarang kehilangan tempat.
Pelindung yang Tersembunyi dalam Larangan
Bukan
semua larangan lahir dari rasa ingin menakuti. Banyak di antaranya justru
dilahirkan oleh cinta. Orang-orang dulu tahu bahwa malam menyimpan lebih banyak
rahasia daripada siang. Maka mereka membungkus nasihat dalam bentuk larangan
agar anak-anak tidak bermain terlalu jauh. Agar batas-batas tidak dilanggar
tanpa sadar.
Larangan
bersiul di malam hari adalah pagar tak kasat mata. Peringatan lembut yang
dibalut keheningan. Bukan sekadar aturan, tapi pengingat bahwa tidak semua
waktu diciptakan untuk kegembiraan. Ada jam-jam di mana alam harus dibiarkan
bicara sendiri tanpa campur suara manusia.
Dalam
larangan ini, ada cara orang tua mengajarkan rasa hormat. Hormat kepada malam.
Hormat kepada suasana. Hormat kepada yang tidak bisa dijelaskan.
Bunyi yang Membuka Celah
Bagi
masyarakat di pesisir dan pegunungan, siulan bukan hanya nyanyian bibir. Suara
itu adalah pemantik. Dalam malam yang sunyi, suara siulan bisa menjalar jauh,
lebih jauh dari yang bisa kamu bayangkan. Menyelinap ke sela-sela pohon,
menembus kabut, dan kadang, menyentuh sesuatu yang tak ingin disentuh.
Pernahkah
kamu berada di tengah malam lalu tiba-tiba merasa bahwa udara menjadi lebih
berat? Angin berhenti, seolah menahan napas. Kamu merinding meski tak ada satu
pun yang berubah di matamu. Saat itu terjadi, bahkan satu suara kecil bisa
menjadi gerbang. Dan siulan, entah kenapa, adalah kunci yang paling mudah
memutarnya.
Banyak
yang percaya bahwa siulan bisa menembus batas antara dunia. Suara itu adalah
bunyi asing, bahkan bagi alam. Maka tak heran jika sesuatu dari sisi lain
merasa penasaran lalu datang mendekat.
Legenda yang Tidak Mati
Teknologi
boleh maju. Jalanan boleh terang sepanjang malam. Tapi larangan ini tetap ada.
Mungkin tak sepopuler dulu, tapi masih dibisikkan di teras rumah, di warung
kopi, di telinga anak-anak yang terlalu riang selepas magrib.
Masih
banyak yang merasa gelisah saat mendengar siulan di malam hari. Bukan karena
mereka percaya sepenuhnya, tapi karena naluri mereka tahu ada sesuatu yang tidak
beres. Kadang naluri lebih jujur daripada pikiran.
Kamu
boleh menyebutnya mitos. Tapi mitos yang bertahan selama berabad-abad biasanya
punya akar yang dalam. Mungkin bukan di tanah, tapi di rasa. Karena manusia
tidak hanya hidup di dunia nyata. Mereka juga hidup dalam rasa takut, dalam
kehati-hatian, dalam upaya untuk memahami hal-hal yang tidak terlihat.
Generasi yang Melupakan Suara Malam
Anak-anak
zaman sekarang tumbuh bersama layar dan notifikasi. Mereka kenal bunyi nada
dering, bukan suara malam. Larangan bersiul terdengar seperti guyonan. Seperti
dongeng usang yang tak layak dipercaya.
Tapi
jika kamu berhenti sejenak dan mencoba mendengar malam seperti dulu, kamu
mungkin akan merasakan sesuatu. Kamu akan tahu bahwa larangan itu bukan tentang
takut, tapi tentang tahu diri. Malam adalah waktu yang lembut tapi juga
misterius. Dan tidak semua suara cocok mengisi kekosongannya.
Larangan
itu adalah pelajaran tersembunyi tentang bagaimana menghormati ruang dan waktu.
Bukan peraturan. Ia adalah rasa. Rasa bahwa tidak semua harus diisi. Tidak
semua harus diusik.
Kamu Harus Memahami, Meski Tak Percaya
Kamu
tidak harus percaya bahwa bersiul bisa memanggil makhluk halus. Tapi kamu bisa
percaya bahwa malam punya nadanya sendiri. Dan nadanya tidak membutuhkan
tambahan.
Kamu
bisa belajar bahwa larangan-larangan lama menyimpan makna yang lebih dalam. Tak
lahir dari kekosongan. Ia muncul dari kebutuhan manusia membangun batas. Untuk
merasa aman. Untuk tetap waras dalam dunia yang tidak selalu bisa dijelaskan
dengan angka.
Kalau
kamu bersiul dan tidak terjadi apa-apa, bukan berarti larangannya salah. Bisa
jadi yang tak terjadi itu adalah hasil dari pagar yang sudah ditanam sejak
lama.
Bayangkan,
malam terus bergulir. Angin tetap menyusup. Dedaunan masih bergoyang pelan.
Jangkrik belum lelah bernyanyi. Dan larangan itu , jangan bersiul di malam hari, tentu yang yang
tidak tampak masih bergaung di celah-celah yang tak terlihat.
Kamu
boleh percaya. Boleh tidak. Tapi satu hal pasti: siulan bukan hanya tentang
bibir. Ia adalah getar. Dan getar, seperti pintu, bisa terbuka ke mana saja.
Jadi,
jika malam datang, biarkan hening mengambil tempatnya. Diamlah sejenak.
Dengarkan. Karena tidak semua suara perlu keluar. Dan tidak semua malam ingin
disentuh.
Tidak ada komentar untuk "Dilarang Bersiul di Malam Hari!"