Dua Kebijakan Bikin Gaduh Rakyat, Koruptor Jangan Sampai Lepas Donk!

Dua Kebijakan Bikin Gaduh Rakyat, Koruptor Jangan Sampai Lepas Donk!
Dua Kebijakan Bikin Gaduh Rakyat, Koruptor Jangan Sampai Lepas Donk! (Ilustrasi) 

SastraNusa.id - Belakangan ini muncul sederet kebijakan yang terasa semakin menjauh dari nalar publik. Seperti rekening pribadi yang tidak aktif selama tiga bulan akan diblokir secara otomatis oleh sistem perbankan. Belum reda pro-kontra soal itu, kebijakan berikutnya pun mengundang gejolak, yakni tanah yang tak digarap selama dua tahun bakal disita oleh negara. Apakah pada polemik ke dua ini berlaku pada rakyat kecil?

Sekadar himbauan saja, bahwa kebijakan tanah ini berlaku pada tanah yang berstatus Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, yang umumnya dimiliki oleh perusahaan atau badan hukum. Untuk tanah milik pribadi dengan Sertifikat Hak Milik, aturan ini tidak berlaku otomatis. Meski begitu, sebagian masyarakat terlanjur khawatir dengan kebijakan ini.

Pasalnya isu ini, memang merujuk pada kebijakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021, yang memperbolehkan pemerintah menetapkan sebagian tanah sebagai tanah terlantar jika tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya dalam jangka waktu tertentu. Landasan hukumnya mencakup Undang‑Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan peraturan pelaksana lain seperti Permen ATR/BPN.

Antara Kepastian Hukum dan Keresahan Sosial

Aturan tersebut utamanya berlaku untuk tanah yang dimiliki badan hukum, namun rasa khawatir tetap meluas. Apalagi, penyitaan tanah ini dianggap terlalu tegas jika dibandingkan dengan proses hukum kasus besar lainnya. Penyitaan memang tidak serta-merta terjadi begitu tanah dibiarkan dua tahun. Pemerintah masih harus melalui prosedur panjang, termasuk evaluasi awal dan pemberian tiga surat peringatan.

Rentang waktu totalnya bisa mencapai hampir dua tahun, yaitu sekitar 580 hari. Sebenernya setiap surat peringatan, memberi kesempatan bagi pemilik untuk memberikan klarifikasi atau mulai memanfaatkan tanahnya kembali. Meski pemerintah menjamin bahwa pemilik tetap bisa mengajukan ganti rugi, rasa tidak percaya telah terlanjur berkembang di tengah masyarakat.

Sementara itu, peraturan pemblokiran rekening pun tak kalah menyulut kontroversi. Begini, rekening yang tidak ada transaksi selama tiga bulan disebut-sebut akan diblokir otomatis oleh sistem. Sebagian orang menganggap kebijakan ini seperti jebakan administratif. Kekhawatiran makin meluas karena tidak semua rekening digunakan untuk aktivitas harian. Ada rekening yang dikhususkan untuk menabung, menyimpan uang pensiun, atau dana darurat.

Sementara sampai hari ini terkait pemblokiran rekening ini sudah capai ribuan akun. Salah satu dampak negatif dari kebijakan ini sudah mulai terlihat, seperti beberapa unggahan yang viral di media sosial terkait rekening mereka yang diblokir.

Kontras dengan Hukuman Koruptor

Ketika rakyat disodori peraturan yang ketat dan konsekuensi administratif yang besar, masyarakat kemudian menoleh pada kasus-kasus korupsi yang hukumannya jauh dari kata tegas. Di media sosial, kerap muncul perbandingan antara prosedur penyitaan tanah atau pemblokiran rekening dengan hukuman bagi koruptor.

Padahal, korupsi telah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah. Namun vonis yang dijatuhkan sering kali ringan. Tidak jarang seorang koruptor hanya mendapat hukuman penjara di bawah lima tahun. Bahkan, beberapa kasus besar justru berujung pada pengurangan masa tahanan yang dianggap mencederai keadilan publik.

Kasus demi kasus yang melibatkan pejabat negara justru terlihat seperti pertunjukan formalitas belaka. Saat vonis sudah dibacakan, misalnya, publik tak merasa puas karena hukuman tersebut dinilai tidak setimpal. Kok gitu? Sebab demikian, uang hasil korupsi kadang belum seluruhnya dikembalikan, namun pelaku tidak mendapat masa hukuman yang seharusnya diterima.

Revisi Aturan Tak Menyentuh Inti Masalah

Ironisnya, aturan yang menjerat pelaku korupsi tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, upaya pemberantasan korupsi justru mengalami kemunduran. Kewenangan lembaga antirasuah yang pernah disegani seolah-olah telah dikurangi. Tentunya ini membuat optimisme publik terhadap keadilan hukum makin luntur.

Sementara lucunya lagi, dengan dalih untuk mencegah aksi judol, rakyat kecil bisa terkena dampak hanya karena tak menggunakan rekeningnya selama tiga bulan. Kontras semacam ini, justru membuat persepsi hukum terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Rasa ketidakadilan ini, tentu menjadi bahan diskusi hangat di ruang-ruang publik. Bukan semata karena ingin membela pelanggar administratif, melainkan karena berharap keadilan bisa ditegakkan tanpa pandang bulu. Sudah bukan rahasia pribadi, dari unggahan di media sosial, rakyat menuntut agar pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi juga dihukum luar biasa, bukan justru dilindungi lewat celah aturan.

Mengembalikan Marwah Keadilan

Jika kebijakan administratif bisa begitu tegas diberlakukan, maka seharusnya semangat itu juga ditujukan untuk menegakkan hukum dalam kasus korupsi. Sebab, kepercayaan masyarakat pada hukum tidak dibangun dari narasi, melainkan dari tindakan nyata. Begini saja, hukum itu bukan sekadar pasal-pasal saja loh! Tetapi, cermin dari nilai keadilan itu sendiri.

Artinya, pemerintah perlu menimbang ulang setiap kebijakan yang menyangkut kehidupan publik. Di samping itu, untuk kasus korupsi sudah waktunya semua pihak menunjukkan komitmen nyata. Tidak hanya dengan pidato atau jargon antikorupsi. Tetapi dengan vonis tegas, pemiskinan pelaku, atau pengembalian kerugian negara hingga tuntas.

Melakui hukum diberlakukan tegas untuk semua pihak, maka kepercayaan publik akan pulih dengan sendirinya. Dengan itu juga, keadilan yang merata bukan hanya menjadi slogan semata, melainkan realitas yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Dan hanya dengan itulah, negara bisa berjalan dengan wibawa dan integritas.

Dua kebijakan yang mengatur tanah dan rekening memang lahir dari regulasi yang sah. Namun jika dibandingkan dengan ringannya hukuman koruptor, maka pertanyaan publik sangat beralasan. Bukan hanya soal rasa keadilan, tapi juga tentang arah moral penegakan hukum di negeri ini. Jangan sampai rakyat kecil dibebani aturan berat, sementara penjarah kekayaan negara justru melenggang ringan di atas hukum.*

Red.

Tidak ada komentar untuk "Dua Kebijakan Bikin Gaduh Rakyat, Koruptor Jangan Sampai Lepas Donk!"